Thursday, December 4, 2014

Isu-Isu Kritis dalam Perlindungan Sosial untuk Perempuan

Pemerintah Jokowi JK telah melaunching tiga kartu sakti yang menjadi bagian dari perlindungan sosial warga negara. Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah dibagikan pada masyarakat yang kurang mampu, meskipun dalam pelaksanaannya masih menuai kontroversial, diantaranya adalah. 

Pertama, definisi perlindungan sosial sangat berasosiasi dengan bantuan sosial, bantuan tunai langsung dan program jaminan kesehatan dan dukungan pendidikan, yang kesemuanya ditargetkan pada keluarga miskin. Ini sebenarnya bertentangan dengan semangat dari UUD 1945 yang secara jelas mengatakan bahwa kesejahteraan dan keadilan sosial ditujukan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Penyempitan definisi Perlindungan Sosial yang hanya mengerucut pada keluarga miskin, sangat berpotensi rawan terhadap pengabaian hak-hak kelompok rentan seperti disabilitas, LGBT, minoritas agama, dan yang tidak dalam kategori miskin. Misalnya saja korban kekerasan terhadap perempuan yang tidak semuanya masuk dalam kategori miskin. Tetapi mereka sangat membutuhkan perlindungan sosial dalam hal akses terhadap fasilitas rehabilitasi dan recovery, dimana para korban sangat membutuhkan pelayanan pemulihan gratis, dukungan jangka panjang agar para korban menjadi mandiri secara ekonomi dan diterima kembali oleh masyarakat secara luas. 

Kedua, definisi keluarga yang mengacu pada UU Perkawinan dimana keluarga nuclear modern menjadi acuan dipandang terlalu sempit untuk mewadahi konsep perlindungan sosial. Keluarga yang terdapat dalam teks UU Perkawinan terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Sementara secara antropologi Indonesia memiliki praktek budaya yang unik, dimana konsep extended family begitu kuat terefleksi dalam kehidupan sehari-hari di Sumatera Barat, Kalimantan, papua dsb. Di masyarakat tidak jarang kita juga dihadapkan pada realitas bahwa keluarga yang terdiri dari ayah dan anak, ibu dan anak , nenek dan cucu, atau hanya tinggal anak saja karena kecelakaaan. Ini semakin dikuatkan dengan penolakan pemerintah Indonesia terhadap istilah various form of families pada Konferensi Asia Pacifik terkait dengan Review Beijing+20: Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, yang baru-baru ini diselenggarakan oleh UNESCAP di BAngkok 17-20 November 2014. Penolakan ini lebih dilandasi pada kekhawatiran memberikan legitimasi pada bentuk keluarga homoseksual. 

Ketiga, sistem ekonomi neo liberal tidak sesuai dengan perlindungan sosial. Menurut Wiko Saputro dari Prakarsa, selama pemerintah Jokowi JK belum mengubah sistem ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dengan sistem ekonomi yang berkeadilan sosial, dimana daya jangkau masyarakat menjadi basis penentuan harga-harga barang pokok, bukan pasar. Ekonomi yang berkeadilan sosial juga tidak hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga distribusi yang merata, dimana pengakuan kelompok-kelompok rentan menjadi prasyarat penting. Ongkos perlindungan sosial untuk semua cukup besar, konsekuensinya pemerintah haruslah memberlakukan pajak progresif pendapatan dan barang-barang mewah. Saat ini menurut data Susenas Pendapatan negara hasil dari penarikan pajak masih sangat rendah yaitu 12% dari GDP, ini jauh lebih rendah dari negara miskin dimana penarikan pajak sampai 14%.

Keempat, perlindungan sosial diterapkan tanpa pemberdayaan masyarakat. Hampir semua program perlindungan sosial diwujudkan dalam bentuk bantuan sosial dan bantuan langsung tunai. Disatu sisi ini akan lebih mudah dimanfaatkan oleh masyarakat langsung, tetapi di sisi lain menciptakan ketergantungan baru bagi keluarga miskin. Disamping program juga tidak sustain karena yang disasar bukan perluasan sumber-sumber kehidupan masyarakat dan keberlanjutan pemanfaatan sumber-sumber penghidupan masyarakat.***

No comments:

Post a Comment