Tuesday, November 12, 2013

Reconciliation or Repentance?; Reflection of Shia-Sunni Peace Process in Indonesia

Reconciliation or Repentance?; Reflection of Shia-Sunni Peace Process in Indonesia
6 November 2013, Menteri Agama, Surya Darma Ali melakukan kunjungan ke Rusun Jemundo untuk mengajak pada pengungsi Shia pulang kembali ke kampung halaman mereka di Dusun Blu'uran, Desa Nangkernang, Sampang Madura. Alasan yang dipakai oleh menteri Agama adalah seruan dari Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono yang mengharapkan proses perdamaian dan pengembalian warga Shia ke kampung halaman. Tetapi Menteri Agama lupa kalau Presiden SBY tidak pernah memberikan syarat untuk proses pemulangan warga Shia ke Sampang. Lantas mengapa Menteri Agama begitu ambisius untuk melakukan pertaubatan pada warga Shia?

Apakah ada perspektif yang tidak duduk pada Menteri Agama tentang substansi dar rekonsiliasi itu berbeda dengan pertaubatan? Dalam rekonsiliasi itu mensyaratkan sebuah kondisi penerimaan yang utuh dimana kedua belah pihak harus sama-sama menyadari bahwa perbedaan Shia dan Sunni ini tidak masalah dari kaca mata Islam maupun konstitusi negara Indonesia. Sehingga yang didorongkan adalah bagaimana orang-orang yang menolak warga Shia bisa dicerahkan untuk kembali membaca Konstitusi 1945 yang dimiliki Indonesia yang secara tegas mengakui perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan. Juga bisa dilihat di ajaran-ajaran Islam yang memberikan perlindungan pada perbedaan. Bahkan berbeda secara keyakinanpun. 

Saya rasa jika proses perdamaian ini dilumuri oleh sikap politis menteri agama yang tidak tegas karena takut berkurangnya dukungan untu Pemilu 2014, maka tentu saja proses rekonsiliasi yang diharapkan juga sulit untuk terjadi. Syarat pertaubatan (repentance) itu sendiri sudah bermasalah. Ini mengindikasikan bahwa Menteri agama tidak memahami tentang sejarah Islam itu sendiri dimana keberadaan Shia memang sudah ada sejak dulu dan berkembang di beberapa negara seperti Iran, sebagian Irak, Pakistan dan negara-negara Islam lainnya. Jika ini ditolak, maka dengan sendirinya, publik bisa menilai kapasitas menteri agama diragukan sebagai seorang menteri, karena pemahaman yang kurang dalam terhadap Islam itu sendiri. 

Kedua, saya juga mengkritik tim rekonsiliasi yang tidak independen keberadaannya dalam menegakkan kebenaran atas nama Islam. Tim yang dipimpin oleh Prof. Abd A'la seharusnya bisa menunjukkan idependensinya dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai tim rekonsiliasi. Tim harus steeril dari pengaruh pamahaman yang menyudutkan salah satu pihak. Dengan begitu, Presiden seharusnya bisa memberikan kewenangan pada tim untuk bisa memaksimalkan desain rekonsiliasinya yang tentu saja akan berpihak pada keduanya. Karena judulnya rekonsiliasi maka tentu saja pilihan-pilihan pendekatan harus mengarah pada rekonsiliasi bukan perpecahan. 

Pemerintah Propinsi Jawa Timur juga harus menghormati proses rekonsiliasi yang dipercayakan pada tim dan tidak menggunakan cara-cara non prosedural seperti menteror warga shia yang tinggal di Rusun sejak beberapa bulan ini, dengan mengancam pemindahan ke Asrama Haji. Saya mendapatkan posting dari Sejuk, sebuah aliansi jurnalis yang pro pluralisme bahwa PemProv Jatim sengaja melakukan show of force dengan mendatangkan kepolisian dan truk kosong untuk mengangkut pada warga shia ke Asrama Haji Sukolilo untuk dicerahkan sebelum dikembalikan ke Sampang. 

BAgaimana sebuah perdamaian akan terjadi jika semua pihak merasa berhak menggunakan otoritasnya dalam menentukan penyelesaian masalah dan tidak menghormati keputusan Presiden untuk menyerahkan pada Tim Rekonsiliasi. Saya berharap Tim Rekonsiliasi bersikap tegas untuk mengembalikan proses perdamaian ini pada arah yang benar. *** 

Sumber foto dari link ini. 


No comments:

Post a Comment