Sunday, April 3, 2016

APF on SDGs 2: Reclaiming CSO’s Space in the SDGs

Ruang partisipasi masyarakat sipil semakin mengecil. Pesan ini sangat menguat dalam dua hari terakhir konferensi Asia Pacific Civil Society on SDGs yang diselenggarakan atas kerjasama antara institusi PBB dan CSO regional yang bergabung dalam Asia PAcific Regional CSO Engagement Mechanism (AP-RCEM). Mengecilnya ruang keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan tidak hanya terjadi di tingkat regional dan global, tetapi juga sangat nyata dirasakan di kawan-kawan CSO yang bekerja di level nasional. Bentuk penyempitan peran CSO bisa berbeda-beda. Misalnya di Kamboja, pemerintah memberlakukan pengetatan pada ijin buat NGO dengan berbagai cara. Untuk model usaha kecil, registrasi akan disetujui jika ada sejumlah uang sebagai modal awal ada di rekening organisasi tersebut. Media koran dan TV disensor ketat. Saat ini hanya media elektronik termasuk media sosial yang memiliki kebebasan untuk berekspresi. Tetapi jika ada ekspresi di media online yang dianggap pemerintah “berbahaya” maka konsekuensi penjara akan diterima oleh orang tersebut. Di Pakistan, situasi jauh lebih buruk ketika rezim hasil perkawinan antara militer dan politisasi agama bukan saja menghilangkan ruang partisipasi CSO tetapi juga membungkam suara rakyat. Perwakilan CSO dari Pakistan yang saya tidak bisa sebutkan namanya disini, menuturkan bahwa salah satu aturan tergila yang sekarang sedang diberlakukan adalah terkait dengan tanah dan investasi dimana pemerintah bisa mengambil tanah masyarakat baik berbentuk hutan maupun bukan hutan. Jika petani melawan maka cap “teroris" akan dilekatkan sebagai alasan untuk “mengamankan”. 

Negara yang dikatakan demokratis seperti Philipina juga melakukan model pengecilan ruang CSO melalui persyaratan ketat registrasi, tidak menerima masukan dari CSO, atau lebih memberikan space pada sektor privat untuk membicarakan pembangunan. Bentuk lain dari pengecilan ruang partisipasi CSO adalah memperbarui ijin setiap tahun dengan menambah persyaratan. Kondisi ini juga terjadi di negara-negara seperti Fiji, Bangladesh, Thailand, India, China dan berbagai negara, termasuk Indonesia dengan bentuk berbeda-beda. Termasuk dalam mekanisme PBB dimana keberadaan CSO semakin dibatasi, terutama dalam “closed negotiation”. Forum CSW 60 yang baru saja diselenggarakan di New York tanggal 14-24 Maret juga mengindikasikan adanya upaya untuk menyingkirkan CSO dan NHRI dalam ruang-ruang negosiasi. Tampaknya ini sangat berat dalam pelaksanaan SDGs dimana prinsip “No One Left Behind” bisa saja ditafsirkan sesuai dengan selera pemerintah. 

Dari dialog dengan beberapa agensi PBB seperti UNESCAP, UNEA, UN DESA memberikan kesan bahwa ruang partisipasi sangat kontestasi. Ini karena suara konservatif juga mendapatkan ruang yang sama di dalam proses pengambilan keputusan. Jika demikian tentu saja kekuatan negara-negara yang diharapkan bisa memenangi “battle” di negosiasi. Namun ini tidak mudah. Negara-negara dalam kategori Least Developed Country (LDC), sangat tergantung dengan negara-negara yang lebih kuat. Bagaimana upaya untuk merebut kembali ruang partisipasi CSO bisa dilakukan? 

Pertama, melalui perumusan indikator SDGs. Setelah Agenda 2030 disahkan September 2015, maka kewajiban pemerintah nasional menurunkan dalam bentuk Rencana Aksi Nasional (RAN) dimana 169 target diturunkan dalam bentuk indikator yang lebih tajam dan realistik menjawab persoalan di tingkat nasional. Meski demikian ukuran ideal sebuah indikator harus dipastikan ada. Kate Lappin, direktur eksekutif APWLD, menjelaskan bahwa saat ini masih banyak indikator-indikator kunci yang masih diperdebatkan seperti perpajakan, hak atas tanah, terkait agraria, hak dan kesehatan reproduksi dan seksual. Dengan metode World Cafe, peserta diberikan ruang untuk memberikan masukan usulan indikator. Hasil secara keseluruhan usulan indikator akan dibagikan. Beruntung sekali Gerakan Perempuan Peduli Perempuan (GPPI) telah melaunching buku indikator gender yang bisa diakses di link ini. Sehingga memudahkan untuk mengusulkan di tingkat regional. 

Kedua, mempertajam prioritas isu di Asia Pasifik. Tidak mengikuti order 17 goal, tetapi beberapa isu yang dianggap sangat krusial di tingkat Asia Pasifik adalah Hak dan kesehatan reproduksi, tanah dan energy, sistem ekonomi global, konflik dan bencana, disabilitas, perempuan, dan NGO. Hasil diskusi sedang dikompilasi oleh panitia. Tetapi dalam hal konflik dan bencana dimana saya menghadiri, isu yang mengemuka adalah perubahan policy dari disaster management ke disaster risk reduction, implementasi RAN 1325, pendekatan terintegrasi pada bencana dan konflik. 

Ketiga, membangun strategi kolektif untuk mengawal implementasi SDGs di tingkat regional dan nasional. Peserta berdikusi dalam kelompok kerja bertema yaitu SRHR, Trade and investment, Environment, Macroeconomic Policy, Land and Energy, and monitoring-Review-accountability. Dari diskusi yang ada, ada lima area penting yang akan dilakukan secara kolektif AP-RCEM baik diitingkat regional maupun di tingkat lokal yaitu; pertama, sosialisasi tentang susbtansi SDGs pada akar rumput dengan menggunakan pendekatan yang relevan dan dilakukan oleh organisasi nasional; kedua, memperkuat baseline data akar rumput untuk memperkuat advokasi, karena data nasional sering berbasis pada statistik dan dianggap kurang menangkap fenomea gerakan akar rumput. Kebutuhan data ini menuntut AP-RCEM membuat sebuah sistem yang bisa mengkompilasi data dengan mudah. Data base juga dimaksudkan untuk melakukan mapping lembaga yang bekerja dengan menggunakan framework SDGs. 

Keempat rancangan mekanisme keterlibatan CSO dalam SDGs baik di tingkat regional. Di tingkat nasional, keterlibatan CSO menyesuaikan dengan model yang dikembangkan oleh negara masing-masing. Tetapi platform regional bisa menjadi “ruang exchange” model-model di nasional. 

Kelima, mempertmukan kebutuhan capacity building di berbagai isu. Terutama isu transformasi struktural seperti sistem ekonomi global dan skill engement dengan stakeholders kunci. Kelima, review dan monitoring mengarah pada pembuatan laporan bayangan (shadow reporting) dimana CSO bisa melahirkannya. 

Keenam, melakukan advokasi kolektif pada forum-forum regional dan global. Ini juga harus ada upaya menghubungkan antara apa yang dilakukan di tingkat nasional dengan kawan-kawan yang ada di regional dan global. 

Ketujuh, melakukan kampanye kolektif terkait isu-isu yang masih kontroversial seperti perpajakan, kespro, hak atas tanah, kriminalisasi pekerja HAM, TPP-WTO-neoliberalisme, keterlibatan CSO dan sebagainya.

Forum menghasilkan sebuah statement bersama yang akan disampaikan pada pertemuan ESCAP pada tanggal 3-5 April 2016. Secara lengkap statement bisa diunduh di link berikut. 

No comments:

Post a Comment