Saturday, March 1, 2014

Interest-Based Approach untuk Minoritas Agama: Teori v.s Realitas

Interest-Based Approach untuk  Minoritas Agama: Teori v.s Realitas
Refleksi adalah bagian penting pembelajaran. Terutama bagi pekerja lapangan seperti saya, memiliki waktu khusus untuk melakukan perenungan dan memikirkan strategi baru untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggara HAM, khususnya kasus Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB). Paramadina didukung oleh TAF mengundang saya dan beberapa kawan untuk merefleksikan kerja-kerja advokasi KBB. Ditemani oleh tiga akademisi berpengalaman pada isu ini, Rizal Panggabean (MPRK-UGM), Ihsan al-Farizi (Paramadina) dan Zainal Bagir (CRCS-UGM), refleksi menjadi menarik dengan munculnya beberapa wacana pendekatan penyelesaian konflik.

Rizal Panggabean mengelaborasi tentang tiga macam pendekatan penyelesaian konflik yang berbasis pada kekuasaan (power-based), hak (rights-based) dan kebutuhan (interest-based). Yang dimaksudkan dengan pendekatan kekuasaan (power based approach) adalah menggerakkan  segala daya upaya yang dimiliki  dengan memanfaatkan ketertundukan pada struktur, atau mengkompetisikan segala bentuk kekuasaan yang dimiliki. Tidak menutup kemungkinan penggunaan represi, ancaman, intimidasi, win-lose, yang justru memperparah pendekatan.


Pendekatan berbasis hak (rights-based approach) adalah model penyelesaian masalah yang ditopang oleh aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku. Penggunaan instrument HAM sebagai alat justifikasi pelanggarana HAM sekecil apapun. Biasanya ini dipakai untuk menyelesaian konflik sektarian, kasus penodaan, konflik tempat ibadah yang biasanya menimbulkan polarisasi atau pro dan kontra. Pendekatan alternative yang bisa dipakai juga adalah Interest-based approach (IBA) yaitu sebuah model pendekatan yang bebasis pada kebutuhan pihak-pihak yang bertikai sehingga bisa dicari jalan keluarnya dengan menggunakan model dialog. Pendekatan ini mengharuskan sebuah kerja keras kreatif karena penyelesaian konflik adalah space untuk kedua belah pihak memberdayakan.

Menurut Rizal Panggabean, Interest-Based Approach ini sangat cocok untuk menyelesaikan persoalan terkait dengan pelanggaran hak-hak minoritas agama, tidak bisa secara kaku menggunakan satu pendekatan saja. Ini dianggap alternatif karena membuka ruang untuk mengakomodasi kearifan lokal. Rizal menekankan bahwa pendekatan ini dipilih oleh kedua belah pihak yang sedang bertikai dan mulai membuka dialog-dialog untuk penyelesaian. Namun, kemudian muncul pertanyaan terkait dengan definisi korban yang sangat specific menunjuk pada orang-orang yang terkena dampak langsung di sekitar peristiwa, sementara orang di luar dari setting kejadian dianggap bukan korban dan kemudian tidak terlalu PD untuk memberikan komentar.

Concern lain adalah definisi interest, yang tentu saja memiliki gradasi yang berbeda, karena interest bagi pihak-pihak yang berkonflik tentu disandarkan pada pemenuhan HAM. Sebenarnya pemenuhan HAM ini adalah termasuk ases pada kebutuhan dasar manusia terkait dengan akses adminduk, kesehatan dan pendidikan, tetapi uniknya kita selalu melihat HAM dari versi yang “keras” terkait dengan hak-hak kewarganegaan, sehingga seringkali justru tuntutan praktis terkait dengan kebutuhan kebutuhan dasar, kurang mendapatkan perhatian. Padahal ini yang praktis membuat korban pelanggaran HAM bisa survive. Di level mana negosiasi interest itu seharusnya diletakkan? Mana yang lebih dulu pemenuhan kebutuhan dasar hidup atau kemerdekaan berekspresi? Tentu saja menurut saya ini tidak bisa dibedakan karena keduanya harus dipenuhi sebagai elemen enabler untuk hidup. Tetapi tentu pada tataran praktis tidak mudah menemukan common interest tersebut. Dibutuhkan sebuah intensitas dialog sampai menemukan sebuah kesepakatan yang berbasis pada  kebutuhan bersama. Tapi tentu saja penggunaan pendekatan interest bukan hanya tunggal, tetapi tentu saja kedua pendekatan lain bisa dimanfaatkan dalam takaran tertentu.

Tantangan dalam pendekatan ini adalah pada elemen pemberdayaan dan tidak ada proses top down. Dalam konteks Sampang. Beberapa initiative perdamaian yang dimunculkan banyak dimunculkan oleh pihak ketiga. Misalnya Islah perdamaian, kemudian pengupayaan pulang ke kampung halaman, yang kemudian harus dijegal oleh alotnya ijin para pengungsi Sampang untuk diberangkatkan ke Pesantren Kyai Nur Iskandar untuk “belajar” aqidah.  Proses yang terbuka ini agak ironis kalau dilihat dari sudut pandang bahwa masih sulit untuk meminta Siti Rohmah untuk mengikuti pelatihan, masih sulit mengajak beberpa perempuan Syiah untuk belajar di luar kelompoknya. Artinya bahwa kemungkinan segala bentuk upaya untuk menyelesaikan persoalan, lebih banyak dilakukan oleh pihak ketiga, sementara justru pihak pertama dan kedua yaitu orang Syiah dan sunni tidak terlalu banyak membuka ruang-ruang pemberdayaan. Karena proses dialog tidak diisi dan dimanfaatkan dengan baik, justru mereka hanya dilibatkan dalam keputusan final.

Bagaimana dengan perempuan? Persoalan pelanggaran HAM ini sebenarnya bagian dari menciptakan “jendela” kecil buat perempuan minoritas yang mengalami diskiriminasi berlapis. Sayangnya “jendela” kecil ini belum maksimal dimanfaatkan. Ketika AMAN Indonesia melakukan pendampingan dengan YAKKUM dan Muhammidyah, “jendela kecil” itu dimanfaatkan untuk memaksimalkan peran perempuan dalam mengelolah bantuan pengungsi. Dan saat itu cukup efektif. Tapi tentu saja kita perlu membuka lebar-lebar jendela itu agar perempuan minoritas bisa dengan mudah mendapatkan ruang pembelajaran untuk transformasi korban ke survivor. Ini harus juga melibatkan kawan-kawan NGO yang bekerja dalam pemberdayaan korban untuk juga secara sengaja dalam kebijakannya memperhitungkan quota perempuan minoritas. ***


No comments:

Post a Comment