Monday, June 2, 2014

Feminist Resistance: Non Violence Action for Development Justice (#APFF2014)

Feminist Resistance: Non Violence Action for Development Justice
Khek Chanreasmey (dipanggil Resmey), seorang aktifis pembela hak-hak tanah dan perumahan ari Kamboja. Resmey memulai aktifismenya karena program pembangunan urban yang dijalankan oleh pemerintah pada tahun 2007 melintasi rumahnya. Dia melawan. Anggota komunitas Boeung Kak di Phon Penh, ibu kota negara Kamboja. “Ini tanah saya. Ini kehidupan saya. Dan tak satupun orang berhak mengambilnya dari kami. Maka Kami akan tetap melawan”, begitu kuatnya tekat ibu beranak satu ini, mendorong dia untuk mengorganisir anggota komunitas lainnya untuk secara kolektif melakukan perlawanan pada Pemerintah Kamboja. Dia dan beberapa anggota komunitas dipenjara karena dianggap melawan pemerintah. Setelah melakukan penggalangan dukungan nasional dan internasional, akhirnya pemerintah Kamboja komitmen untuk memberikan 12,44 hektar tanah untuk dibangun perumahan.

Cerita perlawanan non kekerasan yang disuguhkan dalam Panel kedua Asia Pacific Feminist Forum (APFF) di Chiangmai pada 31 May 2013 yang diselenggarakan oleh APWLD, juga disampaikan oleh  Helen Hakena dari Papua Nugini yang melawan perusahaan pertambangan di daerahnya. Perlawanan Helen juga dimulai ketika perusahaan Tambang di negaranya mulai melakkan ekspansi dan menimbulkan kerusahan lingkungan. Dengan kondisi hamil 6 bulan, Helen mengorganisir perempuan untuk melawan perusahaan tambang. Mereka menggunakan simbol baju hitam untuk melakukan aksi protes. Salah satu strategy menghindari dari tangkapan militer mereka menggunakan konsep collective leadership. “who are the leaders?,” tentara bertanya pada kerumunan perempuan perempuan yang protes. Maka serempak perempuan dalam kerumunan tersebut menjawab “we are all the leader,” (while standing up).
Dua cerita diatas menyakinkan pada saya bahwa faktor yang mendorong kedua feminist di atas melakukan perlawanan adalah karena mengancam kehidupan. Bukan saja kehidupan pribadinya tetapi kehidupan masyarakatnya. Dalam kaca mata feminist, kehidupan sangat dekat dengan perempuan karena mereka yang secara emosional bersentuhan dengan tanah, rumah, dan keselamatan anggota keluarganya. Mempertahankan rumah adalah mempertahankan keberlangsungan kehidupan seluruh anggota keluarga. Pada cerita Helen dan Reasmey, perlawanan tanpa kekerasan menunjukkan keberhasilan yang luar biasa. Dan pioneer-pioneer perlawanan tanpa kekerasan adalah perempuan.
Pengorganisasian komunitas bukanlah pilihan. Tetapi jalan satu-satunya untuk memenangkan pertarungan dengan penguasa. Jika pemerintah memiliki otoritas struktur, dan perusahaan memiliki otoritas keuangan, maka rakyat (perempuan) memiliki kebersamaan. Melawan secara kolektif akan membantu perempuan untuk memperkuat leadership mereka, menghindari pecah belah dari lawan, karena tidak semua anggota komunitas mau mendukung perjuangan mendapatkan hak-haknya. Konsisten untuk terbuka dalam distribusi informasi dan melakukan pendekatan door to door adalah cara jitu untuk mempertahankan kekompakan penduduk Boeung Kak.
Cerita tentang perlawanan perempuan akan struktur yang tidak adil juga terjadi di Philippines, melalui presentasi Vernie Yocogan Diano, Perempuan Minoritas Kankanaey Bontoc yang saat ini direktur eksekutif Cordillera Women’s Education Action Research Center. Jika April lalu pada kunjungan saya ke Manila mendengarkan bahwa reformasi tanah dengan kebijakan memberikan sertifikasi tanah pada rumah tempat tinggal di Phillipines dianggap sukses, Vernie perwakilan dari kelompok minoritas justru memberikan kritik pedas untuk pemerintah Philipina yang dianggap tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Misalnya 66% tanah di kampungnya justru dipakai untuk industri komersial yang tidak menguntungkan masyarakat adat.  Maka satu-satunya cara yang dianggap cukup mumpuni untuk melakukan perlawanan adalah mengorganisir masyarakat, terutama perempuan. Juga memperkuat jaringan masyarakat adat dan memberikan ruang pada Perempuan untuk mengambil ruang-ruang politik untuk perubahan yang lebih baik.
Model lain perlawanan tanpa kekerasan juga dicontohkan oleh Khadijah, seorang pekerja perempuan sebuah pabrik garmen di Bangladesh yang terpaksa migrasi ke kota karena minimnya kondisi keuangan orang tua. Khadijah banyak mendapatkan pelecehan dan kekerasan selama bekerja di pabrik. Ini yang mendorong Khadijah untuk membentuk organisasi buruh agar buruh perempuan bisa berbicara lantang tentang penindasan yang dihadapinya. Akibat aksinya ini Khadijah akhirnya dikeluarkan dari tempat kerjanya. Dia lalu memutuskan untuk fulltime melakukan pengorganisasian buruh. Menurutnya dari 4000 pabrik yang ada Bangladesh, hanya ada 200 organisasi buruh. Dia berharap kasusnya tidak menimpa buruh perempuan yang lainnya, karena perjuangan kaum buruh itu bukan untuk keluar dari pabrik, tetapi memperjuangkan standard kelayakan dan perlindungan keselamatan buruh.
Mereka memang bukan orang berani. Tapi mereka sadar bahwa mereka melakukan hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dalam hidup mereka. Ketakutan yang begitu mencekram, dijadikan kekuatan untuk mendorongnya melewati batas-batas norma “menjadi perempuan” yang ditegaskan oleh budaya lokal. Dalam konteks situasi darurat perjuangan hak-hak kehidupan masyarakat, sering peran perempuan bisa diterima dan dimaklumkan. Tetapi ketika kondisi darurat itu telah usai, mengapa kepemimpinan perempuan sering dipersoalkan.  ***

No comments:

Post a Comment