Saturday, May 31, 2014

Asia Pacific Feminist Forum; Reframing Feminist Vision

Asia Pacific Feminist Forum; Reframing Feminist Vision
“My name is Ruby, from Indonesia and I am feminist”. Anda bisa bayangkan ungkapan saya tersebut saya lontarkan di sebuah workshop “Women and Family” di Iran, yang diselenggarakan oleh Universitas Tehran. Banyak orang masih sangat takut dengan feminist karena diasosiasikan dengan melawan laki-laki, terlalu bebas, dan perempuan yang tidak bisa diatur. Ini sangat wajar karena feminisme mempengaruhi banyak perempuan untuk berpikir beyond the box dan mempertanyakan relasi kuasa di ruang yang paling rahasia yaitu keluarga. Keluarga yang dianggap tempat paling pribadi, justru oleh feminist dijadikan basis pembebasan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Suasana pembebasan dan perlawanan para feminist, saya rasakan sangat kuat di Konferensi Asia Pacific Feminist Forum (APFF) yang diselenggarakan oleh Asia Pacific Women, Law and Development (APWLD) di Chiangmai. 300 feminist dari negara-negara di Asia Pacific melakukan refleksi dan memperbaharui komitmen mereka sebagai feminist melalui ruang-ruang refleksi, debat dan percakapan informal.


Plenari “Feminist Vision; Framing Stratgies, Analysis and Resistnace in the current political, economic and social movement” diletakkan sebagai pembuka konferensi untuk mengangkat pengalaman feminist antar generasi terkait dengan globalisasi, militerisme, fundamentalisme dan patriarki. Kate Lappin, direktur APWLD, memberikan gambaran krisis dunia yang mengaharuskan para feminist untuk memikirkan ulang strategy terbaru melawan institusi patriaki. 85 orang di dunia ini menikmati separuh dari sumber daya di dunia, sementara ada 1,8 miliar orang di dunia yang hidup miskin. Menurut ONHCR, Sepertiga dari penduduk dunia dipaksa untuk pergi dari tanah kelahiran mereka, yang biasanya dipanggil Internally Displaced People (IDPs). Catatan Oxfam tahun 2001, ada 33 juta hektar tanah dijadikan lahan komersial dan memaksa jutaan keluarga pergi.

Perjuangan feminist menurut Kate dijegal oleh globalisasi, militerisme, fundamentalisme dan patriaki dalam menurunkan angka ketimpangan. Ini karena nilai-nilai yang disebarkan oleh ketiga institusi patriaki ini dianggap lebih populis dan mudah diterima oleh banyak orang karena instan dan tidak sulit karena hanya mengikuti pola yang sudah ada. Namun demikian, masih ada peluang untuk bergerak yaitu pada momentum global dimana negara membincang tentang agenda pasca MDGs. APWLD sebagai gerakan feminist mengadvokasi development Justice yang terdiri dari lima komponen yaitu redistributive justice, social justice, economic justice, environmental justice, dan accountability to people.

Judy M. Taguiwalo, Chairperson, Committee on Women-alliance of Concerned Teachers (ACT) mengaku dirinya yang sudah bergelut dengan aktifisme menentang perang Vietnam, implerialisme merasa menemukan identitas sebagai feminist menggiringnya pada sebuah kepercayaan diri yang luar biasa. Menurutnya Era Abad 21 ini adalah era Asia, dimana Asia akan menjadi sentral gravitasi ekonomi dunia. Sesuai dengan ramalan Hillary Clinton “the 21st Century the world’s strategic economic center of gravity will be in the Asia”.

Tin TinNyo, General Secretary, Women’s League of Burma, sangat jelas menggambarkan bagaimana fundamentalisme merasuk dan mempengaruhi negara. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan negara yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Aturan hukum terkait dengan larangan menikah beda agama dianggap sebagai upaya untuk mendiskriminasikan salah satu etnik yang tinggal di Myanmar. Terutama yang merasakan dampaknya adalah perempuan. Melalui gerakan WLB memperjelas positioning feminist dalam membela yang lemah.

Isu lingkungan juga menjadi perhatian besar saat ini gerakan feminist. Mulai peminggiran peran perempuan dalam managemen sumber daya alam, tergerusnya lahan-lahan pertanian mereka oleh industri komersial, dan tercemarnya sungai karena perusahaan yang tidak mempertimbangkan penyelamatan lingkungan. Kesemua ini ada hubungannya dengan situasi politik, economic dan sosial yang cukup jelas memperlihatkan koalisi mesra kapitalis, fundamentalist dan militer untuk memperkuat nilai-nilai patriaki. Lalu siapa kawan kita (baca: Feminist)? Anda yang sepakat dengan adanya ketidakadilan di muka bumi ini dan perusakan lingkungan kita, maka anda adalah kawan kami. Karena kita sama-sama memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. ***



No comments:

Post a Comment