Thursday, February 26, 2015

Amplifying People-Centered Diplomacy of Indonesia in The 59 CSW on Beijing +20


People-Centered Diplomacy. Secara sederhana diartikan diplomasi yang berbasis pada kepentingan rakyat. Dengan Nawacita yang pertama “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara”, maka diplomsi internasional Indonesia saat ini berpijak pada upaya melindungi bangsa dan memberikan rasa aman bagi setiap warga negara. Ini artinya Indonesia telah mengakhiri model diplomasi pemerintahan sebelumnya ‘Zero Enemy and Million Friends’ .Ini adalah angin segar bagi masyarakat sipil yang sedang menjalankan advokasi internasional, karena ruang dialog akan terbuka lebar untuk mendorongkan isu-isu prioritas anak bangsa agar bisa didengungkan lebih keras lagi di level internasional. 
Tampaknya, people-centered diplomacy belum begitu terlihat dalam forum multilateral dimana Indonesia diminta untuk memainkan peran penting di Asia Pasific. Pada Konferensi Asia Pasific tentang Review Beijing +20, yang diselenggarakan oleh UNESCAP di Bangkok pada tanggal 17-20 November 2014 lalu, belum sepenuhnya menjalankan people-centered diplomacy seperti yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo, khususnya jika isu-isu krusial menyangkut diversitas dalam bentuk-bentuk keluarga yang ini bertentangan dengan budaya Indonesia yang mengenal multi form of families seperti extended family, keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarga, keluarga tanpa orang tua, dan sebagainya. Kedua, isu hak-hak seksual, masih dipahami secara sempit oleh delegasi pemerintah Indonesia hanya pada sexual expression and gender identity (SOGIE), padahal hak seksual itu secara lebih lengkap didefinisikan sebagai berikut:


 “Sexual rights protect all people's rights to fulfil and express their sexuality and enjoy sexual health, with due regard for the rights of others and within a framework of protection against discrimination." (WHO, 2006a, updated 2010)

Menggarisbawahi outcome document konferensi Asia Pacific yang dikeluarkan oleh UNESCAP pada tanggal 24 November 2014, States member, termasuk Indonesia bersepakat untuk memberikan concern pada isu kekerasan pada anak perempuan, termasuk perkawinan dini dan secara paksa, serta layanan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja. Ini adalah angin segar yang akan diteguhkan kembali komitmen bangsa Indonesia untuk mengakhiri praktek perwakinan anak, yang banyak menyumbangkan pada Angka Kematian Ibu (AKI) dan generasi yang tidak sehat seperti yang dilaporkan oleh WHO: “Adolescent pregnancy remains a major contributor to maternal and child mortality, and to the cycle of ill-health and poverty” (WHO, fact sheet, September 2014). Belum diterimanya judicial review UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana masyarakat sipil mengajukan penambahan usia menikah anak perempuan dan laki-laki diatas 18 tahun karena pertimbangan kematangan psikologis dan alat-alat reproduksi, serta kesempatan berkarir.

Indonesia secara tidak lansung bersepakat mendukung  penguatan kerangka kerja legal dan kebijakan untuk perlindungan pekerja migrant dan keluarganya, termasuk dalam menyediakan akses termudah bagi mereka untuk mendapatkan pinjaman dan layanan dari institusi keuangan. Artinya bahwa pemerintah Indonesia telah siap untuk memperbaiki hukum nasional dalam hal perlindungan hak-hak buruh migrant dan pekerja di sektor informal. Meskipun pada kenyataannya isu perlindungan buruh migrant tidak ada dalam statemen resmi negara di konferensi asia pacific di Bangkok tahun lalu. padahal 9 dari 13 foto perempuan migrant yang diadvokasi oleh PBB adalah buruh migran perempuan Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga diminta untuk berkomitmen pada pemenuhan kesehatan reproduksi dan seksual dan pemenuhan hak-hak reproduksi, termasuk memperkenalkan human sexuality di sekolah dan menghilangkan aturan hukum yang masih memberikan hukuman pada remaja atu perempuan yang melakukan aborsi.  Demikian cuplikan lengkapnya”

“We also note the need for greater progress in relation to the respect, promotion and protection of sexual and reproductive health and reproductive rights for all, including access to comprehensive sexual and reproductive health information and services, access to age-appropriate, comprehensive evidence-based education for human sexuality, and the removal of legal, structural, economic and social barriers, including considering the review and repeal of laws that punish women and girls who have undergone abortions. We further note the need to end child, early and forced marriage and unwanted pregnancies among women and girls in the region (halaman 7).

Dalam rangka persiapan menghadiri  forum PBB the Commission on the Status of Women (CSW) ke 59  yang akan dilaksanakan pada tanggal 9-20 Maret 2014, akan melakukan review global Beijing Platform for Action selama 20 tahun. Begitu pentingnya momentum ini bagi nasib perempuan dunia, termasuk dalam melihat tingkat keseriusan pemerintah Indonesia dalam menerapkan people-centered diplomacy untuk melihat persoalan gender, pembangunan dan perdamaian. 

Gerakan Perempuan Peduli Indonesia untuk Beijing +20 telah menjajaki posisi Indonesia dimana isu-isu safe abortion, various form of families, sexual rights, masih velum jelas mencerminkan keberpihakan pada masyarakat. Lantas, apakah dengan diplomasi baru Pemerintah Jokowi-JK mampu mengubah posisi Indonesia di mata dunia dalam hal komitmen negara pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Fakta bahwa tingginya AKI di Indonesia, salah satunya hasil dari diplomasi sebelumnya dengan konsep "zero enemy and million friends". Lantas, apakah para diplomat negeri ini akan benar-benar memikirkan rakyat? Kita lihat nanti pada tangal 9-20 Maret. ***

No comments:

Post a Comment