Sunday, April 12, 2015

CSW 59: Mengawali Diplomasi Sensitif Gender

Dialog dengan Menteri Yohana dan PTRI di New York
Ini adalah laporan final perjalanan menghadiri sidang PBB Commission on the Status of Women (CSW) sesi ke-59 di New York pada tanggal 9-20 Maret 2015. Ada 12 delegasi masyarakat sipil yang tergabung ke dalam GPPIB (Gerakan Perempuan Peduli Indonesia untuk Beijing +20), baik yang menjadi Delegasi Resmi Negara (Delri) ataupun perwakilan CSO secara kolektif mendorongkan keterbukaan kepada Delegasi pemerintah RI untuk membahas sikap politik Indonesia terhadap hasil Political Declaration CSW 59. Secara lengkap aktifitas saya secara pribadi sebagai bagian dari anggota Koalisi GPPIB. Untuk memberikan gambaran seutuhnya tentang apa yang terjadi selama CSW 59 dan hasilnya, laporan ini disusun sebagai berikut; pertama, Gambaran Umum tentang CSW 59; kedua, Posisi Indonesia; ketiga, Isu-isu prioritas; keempat, Nothing About Us “Without Us”; dan terkahir adalah pembelajaran. 

GAMBARAN UMUM CSW 59
Perlindungan HAM Perempuan dan Anak Perempuan menjadi topik utama sidang PBB pada Commission on the Status of Women sesi 59. Sekjend PBB, Ban Ki-moon mengatakan bahwa tidak ada satu negarapun yang mampu mencapai kesetaraan gender di dunia ini. Pesimisme ini sangat beralasan karena komitmen beberapa negara terhadap penegakan HAM perempuan dan anak mengalami kemunduran. Ini bisa dibaca dari perubahan hasil dokumen CSW yang biasanya berupa agreed conclusion, kini hanya berbentuk political declaration. Ini mengindikasikan sulitnya diantara negara anggota PBB untuk mencapai kesepakatan pada substansi mendalam 12 isu kritis yang diusung oleh Beijing Platform for Action (BPFA). Misalnya saja pada Review Beijing +20 di tingkat Asia Pasifik yang diselenggarakan oleh UNESCAP pada 17-20 November 2014, dimana Indonesia, Iran, Pakistan, tidak menyepakati penggunaan diversities in family (keberagaaman dalam keluarga), sexual rights (hak-hak seksual), SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identities and Expression). Di tingkat global, isu-isu ini tentu akan lebih banyak lagi negara-negara yang pro dan kontra terhadap substansi dari BPFA itu sendiri.
Kejutan lain dalam CSW 59 adalah pengesahan Political Declaration pada hari pertama pembukaan CSW 59, yang dinilai banyak kalangan adalah kemunduran. Tradisi inklusif dimana masyarakat sipil terlibat secara terbuka dalam pembahasan outcome document, secara sistematis dihilangkan. Negosiasi antar negara terkait dengan political declaration dilakukan pada bulan Februari 2015 dalam closed negotiation, dimana masyarakat sipil tidak dilibatkan didalamnya. Salah satu staf Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI),Masni Eza menginformasikan bahwa perubahan prosedur forum banyak dipengaruhi oleh usulan dari UN Women. Sampai laporan ini dituliskan, penulis belum mendapatkan konfirmasi dari UN Women terkait dengan perubahan dalam prosedur forum.  Meskipun UN Women telah memberikan ruang bagi CSO untuk memberikan masukan pada political declaration     jauh sebelum sidang dimulai, tetapi ini dirasa kurang efektif karena yang dibutuhkan keterbukaan pembahasan political declaration, sehingga semua pihak yang terlibat dalam CSW 59 baik dari pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta bisa mendapatkan informasi yang sama tentang bagaimana respon negara-negara anggota PBB. Pembahasan secara terbuka juga membuka peluang besar bagi masyarakat sipil untuk mengetahui posisi setiap negara dalam merespon isu-isu kritis dan bahasa yang dipakai di dalam political declaration. Ini akan mendorong proses dialog yang lebih terbuka antara delegasi pemerintah dan masyarakat sipil. 
Tidak seperti review Beijing +20 di tingkat Asia Pasifik dimana setiap bahasa yang dipakai untuk mengikat komitmen negara pada ke 12 isu kritis yang ada harus mendapatkan kesepakatan, di Review Global komitmen negara-negara anggota PBB hanya sebatas komitmen normatif dengan menggunakan bahasa yang sangat general. Misalnya Gender Equality and the Empowerment of Women, ini nyaris bisa diterima oleh semua negara anggota PBB. Tetapi ketika ada usulan tambahan bahasa Human Rights of Women and Girls sebagai bagian dari frase, maka pro dan kontra segera mengemuka. Mengapa banyak negara tidak menyepakati penambahan bahasa Human Rights of Women and Girls? Saya rasa lebih pada konsekuensi bahwa dengan penambahan bahasa baru ke dalam frase lama, maka konsekuensi pemenuhan HAM akan sangat kuat. Meskipun dokumen Beijing +20 ini tidak mengikat (non legal binding), tetapi secara normatif ini mengikat bagi setiap negara anggota PBB untuk menerapkannya. Ini justru menjadi aneh, negara seperti Indonesia justru menginginkan tidak adanya penambahan bahasa baru karena dianggap akan berdampak serius. Padahal di dalam negeri, UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahuan 2000 begitu kental memberikan perlindungan HAM pada warga negara Indonesia. Indonesia juga telah meratifikasi Human Rights Declaration dan diturunkan ke dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Indonesia juga telah meratifikasi CEDAW, ICCPR, CRC , Konvensi ILO tentang Buruh Migran dan Keluarganya, Konvensi Disabilitas yang adalah sebuah upaya untuk penegakan HAM itu sendiri. Jika pada akhirnya Indonesia bisa menyepakati dokumen final dari Fasilitator closed negotiation tentang penggunaan bahasa Human Rights, tetap saja ini menyisakan pertanyaannya terhadap posiitioning arah diplomasi Indonesia.
Dengan berbagai upaya, akhirnya CSW 59 bisa menyepakati Working method, yaitu prosedur forum yang baru yang akan diberlakukan pada tahun 2016. Dalam dokumen terakhir disepakati bahwa CSO menjadi bagian dari delegasi CSW, CSO dilibatkan dalam semua forum membahas agenda CSW. Sayangnya, tidak begitu jelas apakah CSO juga akan dilibatkan secara partisipatif dalam pembahasan agreed conclusion, karena paragraph terkait dengan isu ini, dapat ditafsirkan ganda. Berikut cuplikannya: 

“OP 9 Also decides that the outcome to the annual discussions on the priority theme will be in the form of short and succinct agreed conclusions, negotiated by all Member States, which shall focus on action- oriented recommendations for steps and measures to close remaining gaps and challenges and accelerate implementation, to be taken by Governments, relevant intergovernmental bodies, mechanisms and entities of the United Nations system and other relevant stakeholders” 

Jika dibaca secara seksama, keterlibatan masyarakat sipil diharapkan pada pelaksanaan agreed conclusion, bukan pada pembahasan agreed conclusion. Sehingga penting bagi CSO untuk memastikan bahwa working method pada CSW ke 60 tahun depan, benar-benar memastikan inklusivitas semua forum. 

Isu penting lain yang juga menjadi catatan saya adalah maraknya forum-forum di side even yang justru kontraproduktif dengan pemajuan HAM perempuan dan anak perempuan. Misalnya saja kelompok vatikan (The Holy See) begitu terstruktur memaparkan hasil studi ilmiah mereka tentang dampak dari aborsi sehingga ini yang dijadikan alasan mengapa the holy see menolak isu safe abortion. Pembahasan gender harmoni juga cukup banyak baik secara terbuka menggunakan terminologi gender harmoni dimana Yayasan Gender Harmoni dari Indonesia merupakan salah satu motornya. Side even terkait dengan keluarga sebagai pelanggeng peran gender juga begitu marak. Bukan saya anti keluarga, tetapi pembahasan tentang keluarga dalam gerakan gender harmoni adalah upaya melanggengkan kebenaran tentang pembagian peran suami dan istri di dalam keluarga. 

POSISI INDONESIA; Mengawali Diplomasi Sensitif Gender

It is understood that Russia, the Holy See (which has a seat on the UN as a non-member permanent observer state), Indonesia, Nicaragua and the Africa group of countries have tried to limit references in the text to human rights and to remove mention of the role feminist groups play in advancing gender equality.  (dikutip dari link berikut http://www.theguardian.com/global-development/2015/mar/09/un-declaration-step-backwards-for-womens-rights-csw )

Liputan media diatas cukup mengejutkan delegasi CSO, apalagi arah diplomasi luar negeri Indonesia saat ini adalah people-centered diplomacy, dimana kepentingan negara harus disandarkan pada kepentingan masyarakat. Pada tanggal 11 Maret 2015, perwakilan CSO akhirnya berdialog dengan PTRI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak di kantor PTRI di New York.

Pemberitaan dari theguardian.com diatas mendorong delegasi masyarakat sipil Indonesia yang hadir dalam sidang CSW 59 untuk membangun dialog intensif dengan perwakilan pemerintah RI seperti KPPPA, Kemenlu, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York untuk menjelaskan posisi Indonesia yang sebenarnya. Selama proses sidang, dialog konstruktif CSO  yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Peduli Indonesia dan Beijing +20 dengan pemerintah terjadi dua kali, diluar rapat kordinasi. Dialog pertama terjadi pada 11 Maret yang dihadiri oleh  perwakilan pemerintah yaitu Masni Eriza, KPPPA oleh Menteri Yohana Yambise, Deputi Mudjiati dan Deputi Sulikanti, dan dari masyarakat sipil adalah ketua Koalisi Rita Kalibonso, Budi Wahyuni dan Venny dari KOMNAS Perempuan, Maria Ulfa dari KPAI, Listyowati Kalyanamitra, Ruby AMAN Indonesia, Elin Institute Perempuan, Ninuk WidayntoroYayasan Kesehatan PErempuan, dsb. Agenda dialog membahas pemberitaaan dari theguardian.com dimana Indonesia dituding menolak referensi Human rigths dalam deklarasi. Tudingan ini dibantah oleh PTRI bahwa Indonesia tidak menolak referensi Human rights, tetapi memilih sepakat dengan draft lama yaitu tidak ada referensi baru human rigths dalam dokumen.

Dialog kedua terjadi pada 16 Maret 2015, dihadiri oleh Wakil pemerintah yaitu Masni Eriza dari PTRI, Danti Anwar dari KPPPA, Anisa Farida dari Kemlu, dengan perwakilan CSO dan NHRI. Agenda adalah mengklarifikasi posisi Indonesia di negosiasi Working Method. Indonesia akhirnya memilih mendukung draft dari Fasiltiator CSW 59 karena dianggap cukup kompromis. Artinya Indonesia tidak lagi satu klaster dengan Iran, Rusia, China dan Kelompok Afrika.

Dari kedua dialog yang terjadi selama proses advokasi, semuanya lahir dari keinginan delegasi CSO yang hadir. Satu-satunya forum yang diprakarsai oleh pemerintah adalah rapat kordinasi yang lebih memfokuskan pada persiapan tekni yang lebih bersifat perkenalan delegasi dan penyiapan materi laporan. Terobosan yang diambil oleh para aktifis perempuan ini memaksa pemerintah Indonesia untuk mengakhiri diplomasi “senyap” dimana keterlibatan masyarakat sipil nihil. 

Jika memang Indonesia ingin memainkan peran sebagai mediator dalam perundingan, mengapa dalam konteks penyetujuan memasukkan kata human rights dalam political declaration Indonesia “oppose” terhadap gagasan tersebut? Bukankah Indonesia telah menyepakati Deklarasi HAM, bahkan di dalam UUD negara kita pemenuhan HAM menjadi komitmen negara, dan bahkan Indonesia telah ratifikasi CEDAW, ICCPR, CRC dan sebagainya. Jika memang alasan Indonesia dengan menjadi “bridger” dengan membangun argumentasi sepakat dengan referensi lama (tanpa kata human rights), mengapa “ingin mematikan tikus harus membakar lumbung padi”. Padahal Indonesia sangat bisa menempatkan diri secara elegan dan secara terang-terangan mendukung pemajuan HAM perempaun dan anak perempuan, karena maintream forum juga bernada sama. 

ISU-ISU KRITIS
Diskusi tentang isu-isu kritis dalam CSW 59 ada pada panel dan rountable discussion dan juga side-side even baik yang diselenggarakan oleh negara maupun oleh masyarakat sipil dan juga sektor swasta. Pembahasa isu yang dilakukan dalam Panel dan Rountable Discussion hanya dihadiri oleh Delri dan non Delri. Setiap negara bisa memberikan tanggapan pada diskusi panel dan rountable. Draft tanggapan telah disiapkan oleh Kemlu dalam sebuah bendel berjudul “bahan pertemuan” yang diberikan untuk Delri pada saat meeting kordinasi tanggal 9 Maret 2015. Perwakilan pemerintah biasanya yang memberikan tanggapan pada diskusi dengan membaca draft dari Kemlu atau menyuguhkan draft baru seperti yang dilakukan oleh perwakilan BAPPENAS. Ibu Menteri Yohana juga merevisi draft dari Kemlu jika dirasa terlalu panjang atau tidak diperlukan.
Sayangnya mekanisme “boleh mengajukan draft baru” belum terinformasikan ke semua delegasi, sehingga kadang delegasi hanya membaca saja draft yang ada yang bisa saja tidak kuat substansinya. Ke depan, ada baiknya semua draft yang ada harus benar-benar telah dikordinasikan dengan pihak kementerian substansi yaitu KPPPA yang juga akan melakukan kordinasi dengan kementerian lainnya sesuai dengan bidang yang ada. 

Side even baik yang diselenggarakan oleh negara maupun oleh CSO bisa dijadikan ukuran sejauh mana perdebatan isu di tingkat negara dilakukan. Bahkan banyak delegasi sengaja menghadiri side even CSO karena ingin mendengar langsung apa yang menjadi concern besar CSO dalam 12 isu kritis BPFA. Pemerintah Indonesia sendiri membuat dua side even yaitu  Islam dan Hak-hak Perempuan kerjasama dengan KOMANS Perempaun dan Musawah, dan satu lagi tentang nasionalisme. Side even Islam dan Hak-Hak PErempuan mendapatkan sambutan luar biasa karena posisi Indonesia dianggap penting untuk memberikan opini publik bahwa Islam dan HAM Perempuan tidak bertentangan. Side even ini tergolong paling sukses karena mampu mengubah image Indonesia dari yang dianggap penolak referensi HAM menjadi negara yang mendukung HAM, dengan memberikan jastifikasi agama dalam pandangan progresif. 

Cuplikan side even yang kami hadiri bisa dlihat pada cuplikan.

NOTHING ABOUT US “WITHOUT US”

1.15 AM, pada 18 Maret 2015 negosiasi tertutup baru berakhir. Draft dokumen terakhir yang kami terima dari Women Caucus menunjukkan capaian yang tidak berarti. Dari 37 paragraph yang dibahas di dalam closed negotiation, hanya satu paragraph yang telah mencapai kesepakatan, berikut kutipannya:

Recalling its resolution 2013/18, in which the Council decided that the Commission on the Status of Women should review the functioning of its methods of work, adopted by the Council in its resolution 2006/9 and confirmed in its resolution 2009/15, with a view to further enhancing the impact of the work of the Commission 

Ke 36 sisa paragraph yang lain belum mencapai titik sepakat, ini karena negosiasi terkait dengan penggunaan bahasa human rights, partisipasi CSO belum bisa diterima  oleh Rusia, China dan Group Afrika. Juga sebagian yang sudah menerima masih belum bisa menerima penggunaan bahasa human rigths dan partisipasi CSO ke dalam semua paragraph yang relevan seperti Iran. 

Agreed conclusion disepakati sebagai model outcome untuk CSW 60, dimana semua negara harus sampai pada konsensus baik isu maupun working method. Ini adalah sinyal baik, sehingga proses negosiasi bisa dijalankan dengan maksimal, dan berharap dengan kehadiran CSO.
Dalam hal partisipasi masyarakat sipil dalam proses perumusan agreed conclusion, beberapa paragraph dibawah ini memberikan signal baik, seperti;

PP7. Recognizing the importance of non-governmental organizations, as well as other civil society actors, in advancing the implementation of the Beijing Declaration and Platform for Action and, in this respect, the work of the Commission, AD REF

OP 18 Decides, in view of the traditional importance of non-governmental organizations in the promotion of gender equality and the empowerment of women and girls, that, in accordance with Economic and Social Council resolutions 1996/6 of 22 July 1996 and 1996/31 of 25 July 1996, such organizations should be encouraged to participate, to the maximum extent possible, in the work of the Commission and in the monitoring and implementation process related to the Fourth World Conference on Women, and requests the Secretary-General to make appropriate arrangements to ensure full utilization of existing channels of communication with non-governmental organizations in order to facilitate broad-based participation and dissemination of information; AD REF

OP 19 Also decides to strengthen existing opportunities for non-governmental organizations, in accordance with ECOSOC resolutions 1996/6 and 1996/31, to contribute to the work of the Commission, including through allocating time for them to deliver statements on themes relevant to the session, during panels, and interactive dialogues and at the end of the general discussion, taking into account geographic distribution; AD REF

OP 21 Encourages all Member States to consider including in their delegations to the Commission technical experts, planning and budgeting experts and statisticians, including from ministries with expertise relevant to the themes under consideration, as well as parliamentarians, members of National Human Rights Institutions, where they exist, and representatives of non-governmental organizations and other civil society actors, as appropriate; AD REF 

Catatan penting dari paragraph tersebut diatas adalah: 
Pertama, Keterlibatan CSO/non-goverment organization dalam forum CSW diharapkan pada forum diskusi publik, panel diskusi, rountable diskusi. Bahkan partisipasi CSO ke dalam kerja-kerja komisi dibuka luas.

Kedua, CSO dan NHRI bisa masuk ke dalam delegasi CSW, termasuk di dalamnya orang-orang yang dipandang ahli untuk menjelaskan sesuatu seperti ahli teknis, budget, statistik dan termasuk ahli isu perempuan. Tetapi kata “as apropriate” cukup mengkhawatirkan dipakai untuk menghalangi kelompok perempuan progresif justru tidak dilibatkan dalam delegasi.

Ketiga, CSO/NGO juga diberikan kesempatan untuk memberikan statemen pada forum-forum Diskusi Panel, Rountable Discussion dimana suara CSO bisa mempengaruhi audience, tapi tidak dipembahasa agreed conclusion, yaitu dokumen outcome CSW hasil konsensus dari negara-negara anggota PBB. Pada pembahasan agreed conclusion, CSO penting terlibat baik itu pembahasan terbuka maupun tertutup. Terbuka artinya CSO punya suara, tertutup artinya hanya sebagai advisor. 
Keempat, keterlibatan CSO dalam pembahasan agreed conclusion masih belum eksplisit. Bahkan paragraph dibawah ini bisa dibaca bahwa keterlibatan CSO hanya pada implementasi kesepakatan saja bukan pada pembahasan agreed conclusion. Jika ini benar, maka tentu ini setbacks. 

“OP 9 Also decides that the outcome to the annual discussions on the priority theme will be in the form of short and succinct agreed conclusions, negotiated by all Member States, which shall focus on action-oriented recommendations for steps and measures to close remaining gaps and challenges and accelerate implementation, to be taken by Governments, relevant intergovernmental bodies, mechanisms and entities of the United Nations system and other relevant stakeholders”

Padahal justru keterlibatan CSO dalam pembahasan agreed conclusion sangat crusial.  Bisa saja yang terlibat adalah CSO regional atau internasional, bukan NGO nasional langsung. Secara implisit bisa dibaca bahwa member state akan melakukan konsultasi di tingkat nasional dan hasilnya bisa dibawa ke negosiasi. Tentu harapan ini adalah harapan kita semua, tetapi pada kenyataannya mekanisme ini tidak efektif dilakukan oleh Kementerian substanasial maupun teknis yang terkait dengan CSW. Jika paragarph tersebut diterjemahkan tekstual, maka bisa saja ini sebagai jastifikasi bahwa CSO tidak perlu dilibatkan dalam pembahasan agreed conclusion, terutama dalam closed negotiation. Tapi tafsir bisa juga berbeda, misalnya merujuk pada paragraph OP 19 diatas dimana keterlibatan CSO dalam semua level pengambilan keputusan telah menjadi tradisi PBB. Yang jelas ini terbuka untuk ditafsirkan.

Nothing About Us “Without Us”. Seruan CSO ini disampaikan persis pada saat negosiasi dimulai terkait dengan working method pada 18 Maret 2015. Ini untuk mengingatkan pada sekretariat PBBdan juga negara anggota PBB bahwa keterlibatan substansial CSO sangat penting.

PEMBELAJARAN TERBAIK
Minggu pertama sidang CSW 59 bukan saja shock terapy buat delegasi Indonesia, baik secara substansi maupun secara prosedur UN yang memerlukan perhatian khusus. Subtansi negosiasi adalah wewenang dari Kementerian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sehingga dengan kewenangan ini diharapkan KPPPA bisa membuka konsultasi seluas-luasnya untuk mendengar dari masyarakat sipil terkait dengan perkembangan isu. Ini bisa didasarkan pula pada laporan Pemerintah dan NGO untuk implementasi Beijing +20, Kertas posisi NGO  dan bahan-bahan yang lain. KPPPA harus bisa membuat final draft bersama dengan KOMNAS Perempuan, KPAI dan organisasi Perempuan, feminist group dan human’s rights defenders. Bahwa kemudian Kemlu dan PTRI akan menyesuaikan bahasa, tetapi tidak berarti hilang subtansi. DIsinilah proses cross check final document harus dilakukan, sehingga dokumen yang disampaikan dalam forum CSW 59 memang dokumen yang sudah dikonsultasikan dengan sungguh-sungguh. 

Prosedur CSW yang selalu berganti sesuai dengan kesepakatan forum pada pembahasa Working Method,  harus bisa ditransfer pada kementerian subtansial (KPPPA) oleh Kemlu, termasuk melibatkan Kementerian terkait dan juga CSO. Ini penting agar Delri sejak awal aware bahwa dengan working method tertentu maka strategi intervensi forum juga harus disesuaikan. Pengetahuan tentang working method masih dikuasai oleh Kemlu. Ini sangat terlihat bahwa perwakilan Kemlu lebih memahami pola kerja UN, tetapi bagaimana pengetahuan ini bisa ditransfer pada sektor lain? Tentu harus dicarikan mekanismenya sehingga setiap siapapun yang diutus mewakili Indonesia akan mendapatkan pembekalan yang cukup baik secara substansi maupun secara pengetahuan working method forum-forum UN. CSO secara nature memang mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan akuntable terhadap setiap proses pengambilan keputusan. CSW 59 kali ini menjadi ajang pembelajaran bagi pemerintah dan masyarakat sipil. Meskipun proses kordinasi kurang detil, tetapi ruang dialog selalu ada bagi kawan-kawan CSO untuk bertanya lebih mendetil dengan PTRI terkait posisi Indonesia pada negosiasi substansi maupun working method. Ini penting diapresiasi, karena informasi yang keluar dari PTRI menjadi referensi kami, delegasi CSO untuk bisa dicross check dengan referensi lain dari masyarakat sipil atau sumber-sumber lainnya. 

Catatan saya untuk masyarakat sipil, pertama, dibutuhkan sebuah tim yang kuat yang benar2 menguasai substansi dan working method dari CSW sehingga kita tahu belantara UN dan sekaligus menguasai substansi. Tim memang harus dibagi jelas fungsinya baik sebagai drafter document, lobby, resource mobilizer, outreach dengan NGO regional dan global, sehingga sejak awal sudah familiar dengan ini. Kedua, donor  harus mau mengeluarkan uang yang cukup untuk mendukung advokasi karena keberhasilan advokasi yang dilakukan oleh CSO juga akan dinikmati oleh donor. CSO harus jadi prioritas penyaluran dana oleh donor, karena sumber dana negara tidak bisa diakses oleh CSO. Bahkan status Delri yang disandang oleh CSO tidak serta merta berdampak pada dukungan financial, padahal secara substansi yang melakukan advokasi detil adalah CSO. Ketiga, Engagement dengna KPPPA dalam konteks kemitraan equal, sebagai kementerian substansi BeijingPlatform for Action, KPPPA harus banyak didampingi secara subtansi dan pemahaman terhadap working method UN, sehingga delegasi KPPPA juga akan confident terhadap keputusan. Contoh keputusan tidak menghadiri Gender Harmoni memberikan efek kuat bahwa pada peneguhan perspektif Pemerintah Indonesia yang kontra pada Gender Harmoni.

***

Cuplikan Side Even di CSW 59

Economic Sustainabilty in the Perspective of Human’s Rights
Sudahkah pendekatan HAM dipakai dalam pembangunan ekonomi? Sebuah side even bertajuk Economic Sustainability in the Perspective of Human Rights diselenggarakan oleh PWESCR memberikan penekanan pada pentingnya human’s rights menjadi indikator pembangunan ekonomi dengan memperhatikan kelompok rentan seperti perempuan di sektor informal dan anak perempuan yang sering menjadi korban pembangunan ekonomi yang berorienasi pada pertumbuhan income saja, penguatan subsidi bagi perempuan kepala keluarga. Perjuangan special temporary measurement atau dikenal quota 30% tidak puas dengan mendapatkan kursi buat perempuan, tetapi memastikan visibilitas agenda perempuan di parlemen sangat penting. Di Panel ini ada Patricia Blankson Akakpe- NetRights Ghana, Shirley Pryce-Jamaica Household Worker Union, Priya Tangaradja-Women Action Network Srilangka, Monica Nevelle-De La Mujer, and Ruby Khalifah-AMAN Indonesia.

Female Genital Mutilation 
FGM/FGC/FC adalah salah satu bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Baik itu yg dilakukan secara simbolik maupun dengan memotong klitorisnya. Tanpa ada persetujuan korban FGM/FGC dilakukan pada anak mulai umur 0 tahun sampai 8 tahun. FGM/FGC/FC terjadi tidak hanya di negara-negara timur tengah, tetapi juga di negara asia seperti Indonesia,Iran dan Irak ini masih terjadi. Ajaran agama Islam dan tradisi menjadi alasan mereka tetap melakukan FGM/FGC, yang sebenarnya tidak ada manfaatnya bagi perempuan. 
Orchid project sebuah NGO international di London Inggris mempunyai fokus isu pada kampanye anti FGM/FGC/FC mengadakan sebuah panel side event di csw 59 ttg FGM/FGC/FC tanggal 9 maret 2015 dengan narasumber Listyowati/Rena Herdiyani (Kalyanamitra-Indonesia), Hannah Wettig (WADI- Stop FGM Middle East, Jerman) dan Rayehe Mozafarian (Reseachcer dari Iran). Panel ini cukup banyak dihadiri peserta sekitar 50 orang. 

Economic Empowermet to Achieve sustainable Development Goals 
Workshop ini diselenggarakan oleh United Nations Office of Information and Communication Technology, Journalists and Writers Foundation, dengan mengangkat pentingya technologi untuk pemberdayaan perempuan, cara baru menghitung cost VAW dengan indikator peace, dan mendengarkan pengalaman dari Nigeria yang menggugat kecilnya kepemilikan rekening bank perempuan di Nigeria yaitu 15%. Teori agency dan structure juga menjadi titik analisis dimana aksi volunterism bisa dipakai untuk membuka ruang publik buat penguatan peran perempuan. 

Child, Early and Forced Marriage; Indicator for Progress 
Beberapa Panelis yang bicara dalam workshop ini adalah UNICEF, Europian Council (Sera), Zambia, International Care India (Archana Dwivedia), Yordania (Salan Kanaan), Kenya (Hope). Secara umum semua pembicara menjelaskan bahwa di negara mereka maslaah dengan perkawinan anak, prosentasinya bervariasi dari 15-40 persen, dan negara mereka memiliki kebijakan untuk menghentikan perkawinan anak, namun dengan tantangan masing-masing yang mereka hadapi seperti pendidikan, kemiskinan, konflik dan sebagainya yang berakar pada ketimpangan gender belum bias menghentikan perkawinan anak. Indikator pembangunan bisa dipakai untuk mengakhiri perwakinan anak dan menawarkan usi perkwainan minimal 20 tahun. Ada Call for Action di global untuk mengakhiri perwakinan anak. 

National Action Plan as a Tool to Address Sexual Violence 
Resolusi 1325 tentang Perempuan sudah ada di berbagai negara. di Asia, Afghanisan akan segera menjadi negara ke 49. Bisakah NAP dipakai sebagai Tool untuk merespon Sexual Violence? Tentu sangat bisa, tetapi tantangannya adalah konsep keamanan masih diasosiasikan dengan national defence. Jika sexual violence bisa jadi concern Kementerian 
Pertahanan, tentu akan membongkar semua perspektif. Di UN sendiri kordinasi antar badan susah. Gender Expert yang untuk isu security tidak menguasai gender based violence. Framework 1325 tidak harus dibaca kaku. Review penting tapi kerja lebih penting. Workship ini diorganisir oleh Inclusive Security. 

UN Women Breakfast Meeting 
Lokakarya Implementing the Beijing Platform for Action diorganisir oleh UN Women dengan pembicara DirekturUNESCO, Direktur UNFPA, Direktur UNICEF, Ketua CSW 59, Senior Director for Gender World Bank yangdifasilitasi Direktur UN Women. Direktur UN Women menekankan pentingya memasukkan gender equality dalam Post MDGs dan harus masuk dalam political declaration. 
Ibu Kanda dari Thailand sebagai Ketua CSW 59 menekankan pentingkan political will anggota PBB untuk melakukan apa yang mereka sepakati.Perlu adanya sinergi antara badan-badan PBB yang perlu diperkuat. Resolusi 1325 masih jauh dari tujuannya, penjaga perdamaian perempuan belum mendapat tempat yang semestinya dan perempuan masih dilihat victim. UNICEF menekankan pentingnya keterlibatan CSO dan perlindungan anak perempuan dengan menjamin pendidikan. UNESCO menekankan bahwa penting punya goal ambisius, tapi juga diimbangi dengan implementasi.Diharapkan generasi saat ini bisa menjadi generasi yang mengurangi kemiskinan secara drastis dengan sistematis. PBB harus menjalan mandat dengan benar. 

Financing for VAW
Lydia Apazer, AWID (Asociation of Women in Development) menegaskan bahwa ODA untuk VAW sangat rendah. Fund untuk gender equality banyak diberikan ke organisasi regional dan sedikit yang menetes ke organisasi perempuan. Ke depan alokasi budget untuk VAW harus dimainstreamkan pada alokasi yang lain karena persoalan VAW adalah universal. DOnor juga diminta flexible untuk kegiatan protection of HRDs. Kritis pada donor, jangan hanya peduli pada program, tapi orang yang menjalankan program perlu diperhatikan. Laskmi Puri dari UN Women mempertegas bahwa ke depan UN women akan memberikan banyak porsi budget untuk grass root organisasi. Dengan mekanisme dan standard proposal yang sama? 

Women and Health
Beberapa pakar dr Uni Eropa, Amerika, UNFPA dll memberikan pandangan ttg kondisi kesehatan perempuan yg lebih difokuskan pada anak perempuan. Dalam panel ini hadir juga beberapa anak remaja laki-laki dan perempuan yg kemudian mereka memberikan pernyataan. Isu FGM dan pernikahan anak menjadi 2 isu utama karena semua panelis bicara isu ini. Dimana FGM dan pernikahan anak masih terjado dan sangat merugikan kesehatan anak perempuan. Kurangnya infprmasi, pendidikan dan akses pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja menjadi evaluasi setiap panelist. Hak anak harus dipenuhi yaitu hak atas tubuhnya.

Nationalism
Dalam panel ini dipaparkan tentang hasil penelitian mereka ttg nationality/statelessness di beberapa negara yaitu Nepal, Madagaskar, Indonesia. Indonesia menjadi best practise bagi negara  lain karena keberhasilan masyarakat sipil dalam melakukan advokasi revisi UU Kewarganegaraan tahun 2006 dimana sejak itu perempuan dapat menurunkan kewarganegaraannya kepada anak. Dalam panel ini yang menjadi narasumber Dimiirtri (ERT), Zahra(insititute statelessness), Noelle (coalition of constitutional equality), Jacqui Hunt(equality now) dan Rena (Kalyanamitra).

Discriminatory Law 
Panel ini diselenggarakan oleh Equality Now dan UN Women.2 artis dunia menjadi campaigner utk bicara discriminatory laws yaitu Jane Fonda dan Sarah John.Isu yang di angkat oleh 2 artis yang sudah terlibat dalam kegiatan masyarakat sipil ini adalah peraturan2 yang masih mendiskriminasikan perempuan yang masih menempatkan perempuan pada posisi dibawah laki-laki yaitu poligami, FGM, pernikahan anak, partisipasi perempuan di ruang publik, kebebasan perempuan memilih pekerjaan. Beberapa negara menjadi konsen dalam panel ini seperi Afrika, Middle East dan Southeast Asia.

Feminist and Resistance
Workshop yang diselengarakan oleh FRIDA dan RESURJ.Side mengambil tema Young Feminist Activists: Facing the Fire, Strategies of Resistance at the Local, Regional and Global Level”, berubah menjadi ajang pembantaian kelompok feminist. Isu kontroversial safe abortion yang sedang dibahas kemudian mendapatkan respon sinisme dari beberapa audien. Dalam waktu singkat Panelis diberondong pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan bahwa safe abortion tidak tepat. Berikut cuplikan statementnya;
"we shouldn't be rationally constructing these decisions [in the UN, about the right to safe abortion]," "if we discuss controversial subjects [like the right to safe abortion] at the UN we will lose respect for the system," and that Guttmacher and the WHO cannot be trusted, that the Declaration of Human Rights declares marriage is only between a man and woman…(quoted from audience named Stefano Gennarini, Rebecca Oas, and Ryan Bomberger.)

Gender Harmony
Pada workshop yang bertajuk “Gender Harmony and Women’s Empowerment Beyond Beijing +20, juga digelar CSW 59 dan diprakarsai oleh Dr. Erna Suryadi, dirktur Gender Harmoni Foundation Indonesia. Sejak ada Pressure dari CSO Indonesia, KPPA tidak merespon undangan mereka bahkan perwakilan dari KemenInfo yang dijadualkan bicara juga akhirnya membatalkan. WUNRN (WOmen UN Research) bukanlah badan UN, sehingga even mereka bukan bagian dari formal UN. Tapi karena menggunakan nama UN maka orang terkecoh. Panelis juga mendapatkan respon tegas dari audien krena dianggap menggunakan metodologi lemah. KPPPA sangat baik merespon cepat masalah ini dan segera menarik diri dari forum ini karena dianggap kontra produktif.

Islam and Women’s Rights 
Islam dan Human’s Rights sangat sejalan. Zainah Anwar membuka presentasinya dalam side event bertajuk Searching Common Ground: Islam and Women Human’s Rights yang digelar kerjasama PTRI, KOMNAS Perempuan dan Musawah, sebuah jaringan global Islam dan Hak Perempuan. Zainah yakin bahwa Islam and women human’s rights are compatible, adalah harga mati. Mengapa prakteknya berbeda? Ini karena yang diyakini adalah ideologi bukan prinsip besar Islam. Ruhaini memberikan contoh reform terjadi di Indonesia yang didukung oleh gerakan feminis progresif terkait dengan mekanisme di peradilan agama yang lebih progresif. Ziba sangat yakin bahwa Islam bukan ideologi, Islam adalah prinsip. 
Sesi serupa juga diselenggarakan pada hari Sabtu, 14 Maret 2015, dimana Ziba Mir Husaini, Marwan dan Nani Zulminarni membedah hasil penelitian Musawah tentang Qiwamah dan Wilayah, sebagai basis teori utuk melihat peluang perempuan reclaim hak-hak mereka. Penelitian ini menggunakan method story tellling dari pengalaman perempuan mengalami kekerasan dan bagaimana agama dipakai untuk menjastifikasi.

Women and Poverty : Economic Empowerment 
Even digelar oleh organisasi dari India yang memiliki sejarah panjang inovasi pemberdayaan ekonomi bagi kelompok perempuan miskin.  Pembicara aktivis2 perempuan yang sudah sangat senior namun memiliki semangat yang tak pernah kendor.  Untuk mengatasi kemiskinan dengan pemberdayaan ekonomi mereka menawarkan pendekatan yang holistik  mulai dari akses kredit hingga konsep ekonomi kolektif, keterlibatan perempuan dalam pengambil keputusan dan politik serta menghitung biaya ekonomi aktivitas domestik perempuan; terasa sangat kontras dengan pembicaraan di dua sesi sebelumnya.  India memang progresif dalam hal menggugat relasi kuasa gender dan kelas.  Yang menarik sharing dari negara Karibia yang katanya paska Beijing telah menghitung dan memasukkan nilai kerja domestik perempuan dalam GDP negara, satu kebijakan makro luar biasa.  Sebagai konsekwensinya kontribusi perempuan sangat diperhitungkan dan mengangkat posisi politik mereka.   Selain itu disoroti juga siapa sesungguhnya kelompok perempuan yang paling rentan dalam hal ini yaitu perempuan tua yang hidup sendiri- perempuan kepala keluarga.  Dan pendekatan khusus harus diberikan pada mereka.

Marginalized Women and Girls 
Panel diskusi ini mengangkat isu kelompok marginal dimana pembangunan di banyak tempat meninggalkan mereka. Isu disabilitas, perempuan kepala rumah tangga, dan idengenous women menjadi common issue di berbagai negara. Kebijakan terkait dengan kelompok disabilitas telah dibuat di berbagai negara, misalnya Uganda dimana untuk memastikan quota disabilitas di dalam parlemen mereka membuat disabiity council, dimana mereka akan melakukan advokasi kebijakan disabilitas. Hanya perwakilan CSO , Australian Lesbian Medical Association, yang mendorongkan pentingnya pengakuan hak-hak lesbian karena kelompok ini banyak yang mendapatkan diskriminasi, dibunuh, dipenjara karena berbeda orientasi seksualnya. Sayangnya Indonesia justru menyoroti tentang traffiking, MMR, VAW dan sedikit bicara anak jalanan dan neglected girls. Sementara persoalan minoritas agama, indegenous women, disabilitas, elderly, dan sebagainya belum jadi sorotan. 

Beijing +20; Broken Promises, the Need of Accountability 
Panel yang diselenggarakan oleh APWLD , Asia Pacific Women Law and Development menekankan pada pentingya akuntabilis negara untuk menjalankan kerangka Beijing Platform for Action. Kate Lapin dari APWLD menegaskan bahwa mengikuti proses negosiasi bahasa sangat melelahkan, karena setiap negara memiliki tafsir dan standard pemenuhan sendiri. Maka penting bagi CSO mengambil fokus lain yaitu memastikan akuntabilitas pemerintah. Helena dari Kenya memberikan contoh bagaimana akuntabiltias pemerintah pada situasi pasca konflik, misalnya ketegangan ex combatan dengan pemerintah, perempuan korban tidak mendapatkan restitusi, karena proses paska konflik yaitu recovery, rehabilitation, disamarment, tidak berjalan dengan baik. Di Nepal, Ranu mencatat bahwa pelaksanaan RAN 1325 tidak memberikan perhatian pada korban kekerasan seksual, dan mekanisme peradilan belum maksimal dijalankan. Kasus Philipine menyorot pemerintah Philipine yang lebih memberikan kemudahan pada investor ketimbang memastikan perlindungan hutan dan indegenous women. Pertambangan telah banyak merusak kehidupan indegenous women, tetapi akses keadilan buat mereka masih terus diperjuangkan. 

Copenhagen Meeting Beijing 
Deklarasi Copenhagen lair pada tahun 1995 berisi tenrtang perempuan dan kemiskinan, dimana diperlukan pemberdayaan perempuan dan anak. Meskipun spirit dokumen sama denga Beijing, tetapi tidak ada koneksi langsung, sehingga dibutuhkan CSO untuk menjembatani kedua deklarasi penting ini. Jembatan yang bisa dibuat adalah meletakkan fokus kampanye pada anak perempuan terutama pada usia 10-14 tahun karena mereka sangat rentan terhadap kekerasan 
seksual, drop out dari sekolah, kehamilan tidak diinginkan, dipaksa menikah oleh orang tua dan sebagainya. Menyelamatkan fase belajar anak perempuan, akan banyak menyelamatkan hidup perempuan. 

Beijing +20; Research on Sexual Violence 
Side event yang diselenggarakan oleh Endevour Forum, sebuah kelompok konservatif yang didukung vatikan. Temuan riset mereka tentang Aborsi berdampak pada kanker payudara. Aborsi juga dianggap berkontribusi pada kerusakan mental pada ibu. Pentingnya untuk memperhatikan well-being perempuan. Olehkarenanya gerakan aborsi aman dianggap mencederai well- being perempuan dan menimbulkan banyak kerusakan mental
perempuan. Kelompok ini sangat menentang adanya aborsi aman karena melanggar takdir kehidupan. 

Women, Peace and Security 
Workshop diselenggarakan oleh international Alliane of Women, bertujuan memperkenalkan General Recomendation 30 pada CEDAW kepada audiense sebagai instrumen penting untuk memperjuangkan perempuan di daerah konflik. Keberadaan UNSCR 1325 memang telah menjadi framework bersama pada aktifis perempuan dan perdamaian, dan menurut survey yang ada resolusi ini tetap hidup karena kerja kerasa CSO dalam menurunkannya ke dalam RAN. Tetapi di banyak negara RAN 1325 belum begitu maksimal diimplementasikan karena dianggap tidak mengikat. Maka keberadaan GR 30 dari CEDAW memberikan alterantif mekanisme agar pemerintah mau merespon persoalan perempuan dalam konflik .Tantangannya adalah mempertemukan kelompok perempuan yang bekerja untuk konflik dan perdamaian, dengan kelompok review CEDAW 

The Re-Making of Social Contract 
Workshop ini diselenggarakan oleh DAWN (Development Alternatives with Women for a New Era) membuat refleksi bersama tentang komplesitas interpaly ekonomi, politil, ekologi dan sosial, yang menjadi tantangan pada abad 21. Politik mengendalikan banyak hal, sehingga banyak membawa konsekuensi subordinate, opresi, exploitasi, esklusi sosial kelompok minoritas. Kekuatan militer masih populer dipakai oleh penguasa, dan secara gradual diprivatisasi oleh perusahaan-perusahaan untuk mengamankan praktis bisnis yang abai pada kemanusiaan dan lingkungan. Sementara itu human rights belum menjadi basis dari pembangunan, secara bersaman akuntabiitas sektor swasta juga belum menjadi wacana penting dalam pembangunan yang bisa dikuatkan untuk mendukung pundi pembiayaan pembangunan kita.Dimana CSO? Kita perlu lebih cermat menghadapi situasi yang ada dalam negri dan menurut saya CSOs perlu merapatkan barisan, memberi kekuatan pada satu sama lain sehingga dapat membuat strategi baru. 
***


No comments:

Post a Comment