Dialog dan mediasi bukan menggunakan akal, tetapi hati dan cakra (intuisi sebagai manusia). Begitu pesan yang ingin disampaikan oleh Mediation Beyond Borders, sebuah network global para mediator yang didirikan tujuah tahun lalu. Ratusan mediator dari berbagai belahan benua berkumpul dalam sebuah perhelatan bertajuk Dangerous Dialogue, Courageous Conversation, pada tanggal 23-25 April 2015. Tiga hari konferensi di Hotel Mariot Bucharest, Romania, adalah forum mediasi dan dialog pertama kali yang pernah saya hadiri. Biasanya mediasi dan dialog disuguhkan dalam kerangka peacebuilding atau resolusi konflik. Konferensi ini kelanjutan dari International Training on Mediation, yang diselenggarakan pada tanggal 20-22 April 2015. Jika pada training, kami mendapatkan teori dasar tentang dialog dan mediasi, maka konferensi ini memberikan kesempatan kami untuk exposure pada pengalaman lembaga masyarakat sipil yang telah mempraktekkan mediasi, baik menggunakan nilai-nilai budaya maupun agama.
Meplasis, adalah salah satu lembaga masyarakat sipil di Yunani yang pernah menyelenggarakan dialogue dengan silent majority dengan jumlah 1000 peserta. Mereka mengangkat isu relasi antara immigran dengan orang lokal. Dialogue dilakukan karena tingginya kasus ketegangan antara immigran dengan orang lokal. Beberapa steps yang dilakukan adalah, (1) Persiapan dialog meliputi persiapan fasilitator dialog dan peserta dialog. Persiapan fasilitator adalah rekrutmen para volunteer yang memiliki kapasitas memfasilitasi dialog. Fasilitator diorientasi dengan konsep reflective structured dialog, yaitu sebuah metode dialog yang mengunakan pendekatan sistem terapi keluarga, dimana active listening sangat dibutuhkan. Struktur dialog reflektif ini memberikan peluang besar buat semua pihak berbicara dengan porsi yang seimbang dan “memaksa” semua pihak untuk mendengarkan dengan seksama setiap narasi yang keluar dari peserta dialog. Persiapan Peserta meliputi rekrutmen peserta, dimana panitia menelpon satu persatu orang untuk diundang dalam dialog, bahkan volunteer juga mendatangi satu persatu pihak yang akan hadir dalam dialog, memastikan bahwa mereka bersedia hadir. Peserta dari berbagai macam background profesi diundang, tetapi mereka diminta hanya akan bicara sebagai individu manusia (seorang ibu, bapak, anak, kakek/nenek). Ini untuk menghadirkan dialog yang menggunakan hati dan intuisi sebagai manusia. Peserta yang dianggap divider tidak dihadirkan karena dikhawatirkan akan spoiling proses dialog.
(2) Pada saat dialog. Metode yang dipakai adalah reflective structured dialog dimana beberapa elemen penting harus ada yaitu: (a) penjelasan tentang tujuan dialog dan aturan main dalam dialog (b) membuat kesepakatan bersama untuk mensukseskan dialog. Kesepakatan yang dimaksudkan adalah sebuah komitmen bersama yang harus dipatuhi untuk mencapai understanding dalam dialog. Beberapa contoh kesepakatan sebagai berikut; tidak mengeluarkan statemen yang menghakimi, menghormati apapun yang keluar dari narasi seseorang, mendengarkan sunguh-sungguh, berbicara dibatasi waktu, kerahasiaan, dan sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan peserta dialog.
(3) Pasca Dialog. Jika ada dialog terjadi sebuah progress untuk mencapai kesepakatan, maka bisa dikombinasikan dengan mediasi, sehingga peserta bisa sampai pada sebuah solusi. Jika tidak sampai pada sebuah kesepakatan solusi, maka tidak masalah, karena melalui dialog yang baik understanding diantara peserta akan terjadi.
Hibrid model. Sebuah pendekatan yang mengkombinasikan reflective structured dialog dengan teks-teks agama. Pengalaman Interfaith Mediation Center (IMC) sebuah lembaga yang berfokus pada penyelesaian konflik di Nigeria Utara, mencobakan kombinasi penggunaan teks-teks agama Islam dan Kristen untuk mengembalikan relasi masyarakat yang retak karena perang kebencian. Beberapa pendekatan diambil seperti: (1) interfaith dialogue, dimana fokus dialog lebih pada relasi sosial bukan pada teologi yang jelas berbeda antara Islam dan kristen. (2) Membaca Qur’an dan Berdoa dengan nyanyian, juga dipakai sebagai bagian dari proses dialog, dimana setiap komunitas diberikan keleluasaan untuk memperkuat spiritualitas mereka masing-masing dengan mempraktkkan tradisi berdoa mereka dan memahami makna dari isi teks yang dibacakan (3) Training mediation, communication untuk semua key people yang baik itu youth, perempuan dan kelompok agama. Training ini dianggap penting dalam upaya power balancing, dimana sebuah prasyarat dialog harus kedua belah pihak harus memiliki power yang sama. (4) Interfaith media program, dimana pertanyaan-pertanyaan seputar relasi sosial dalam agama dibuka di sana sehingga setiap orang bisa mengakses dari sini. Radio dan website dipakai untuk dialog dengan publik yang lebih luas. (5) Institutionalized Citizen monitoring, adalah sebuah program early warning system berbasis masyarakat, dimana orang-orang yang dilatih dan tersebar di berbagai desa akan memberikan laporan deteksi dini terhadap apa yang terjadi di komunitas masing-masing. laporan ini yang akan ditindaklanjuti oleh IMC.
Dialog with Art. Adalah ekspresi dialog dengan menggunakan seni ekspresi tubuh seprti membuat patung, puisi, surat dan sebagainya. Dialog model seperti ini juga dikembangkan dalam bentuk play back theater atau street theater. Prakteknya banyak menggunakan ekstrepsi tubuh yang intinya mengekspresikan kebebasan dari formasi 1 orang, 2 orang atau 5 orang. Misalnya instruktor bertanya “apa yang jadi concern kita terkait dengan peace” lalu setiap orang bia mengekspresikan dengan pose berbeda2 menggunakan tubuh. Intruktor meminta kita saling bertanya dengan kawan pasangan kita, lalu setlah itu diminta membuat puisi untuk teman pasangan interview. Ini sangat pas untuk dipakai game atau role play sebelum masuk presentasi materi.
***
No comments:
Post a Comment