Wednesday, November 11, 2015

Konstitusi, Perempuan dan Hukum Diskriminatif

36 perwakilan perempuan petani, buruh rumahan, pekerja rumah tangga, buruh gendong, aktifis perdamaian dan pembela HAM perempuan dan anak diterima oleh Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo pada siang jam 13.30 WIB di kantornya hari ini, 9 November 2015. Para perempuan yang tergabung dalam Jambore Perempuan, mewakili Aceh, Sumatera Utara (Deli Serdang), Sumatera Selatan (Palembang, Ogan Ilir), Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat (Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Pangandaran, Bandung, Cianjur, Cirebon), Jawa Tengah (Semarang, Magelang, Demak, Salatiga, Grobogan), Jawa Timur (Lamongan, Sumenep, Probolinggo, Malang, Kab. Malang, Madura),  DI Yogyakarta (Kota Yogyakarta, Gunung Kidul), Sulawesi Selatan (Makassar. Tujuan menemui Menteri Dalam Negeri adalah untuk membeberkan fakta-fakta lapangan tentang situasi perempuan di berbagai sektor informal, kekerasan terhadap perempuan  akibat pemberlakuan hukum syariah di Aceh, dan kondisi pluralisme Indonesia yang tergerus dengan penyebaran fundamentalisme dan berdampak pada akses layanan publik perempuan minoritas dan anak-anaknya. Pertemuan dengan Mendagri adalah puncak dari acara Jambore Perempuan. 

Jambore Perempuan yang dilaksanakan di Wisma Kinasih Depok pada 7-9 November 2015. Didukung oleh Institute for Women Empowerment (IWE), Rahima, Fahmina Institute, Solidaritas Perempuan, JALA PRT, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), MWPRI, Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), Kalyanamitra, CWGI, SPRT Tunas Mulia, SPRT KOY, Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, Solidaritas Perempuan Palembang, Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP)-Makassar, AMAN Indonesia, Perempuan Mahardhika
Dalam diskusi dengan Menteri Cahyo Kumolo, peserta membawa beberapa masalah dan tawaran solusi yang bisa ditindaklanjuti oleh Menteri Cahyo, diantaranya adalah:
Tafsir konservatif terinspirasi oleh kebijakan
Maraknya tafsir konservatif di masyarakat yang menggerakkan tindak diskriminasi dan penyerangan terhadap minoritas. Misalnya penyerangan Ahmadiyah dan Syiah bebrapa kota seperti di Manislor, Majalengka, Tasikmalaya, Sampang, Jember dll.  Salah satu penyubur dari tafsir konservatif adalah kebijakan yang bias terhadap perempuan dan minoritas. Misalnya UU No. 1 tahun 1965 tentang Penodaan Agama, SKB 3 Menteri 2006 dan SKB 2 Menteri 2008 dipakai sebagai legitimasi kasus-kasus penyerangan terhadap minoritas karena “klaim kebenaran tunggal” yang disampaikan dalam teks kebijakan tersebut. Munculnya 389 Perda-Perda diskriminatif sampai pada Oktober 2015 oleh KOMNAS Perempuan. Padahal dalam konstitusi negara kita UUD 1945 pasal 28, negara menjamin kebebasan beragama dan berserikat. Mendagri harus segera melakukan sinkronisasi peraturan nasional dan daerah dengan semangat dan subtansi UUD 1945. 
Ketidakjelasan nasib Pengungsi
Saat ini ada 289 orang perempuan, anak-anak dan laki-laki pengikut Syiah yang masih nunggu kejelasan nasib mereka di Rusunawa Jemundo Sidoarjo sejak 2011. Ratusan pengungsi Ahmadiyah sudah 8 tahun menunggu “tiket” pulang ke kampung halaman. Mereka semua adalah korban tafsir konservatif yang diinspirasi oleh aturan-aturan diskriminatif. Kehidupan mereka berubah drastis. Dulu punya tanah garapan dan pekerjaan tetap, sekarang menganggur dan menggantungkan hidup pada program bantuan sosial pemerintah. Anak-anak tidak bisa sekolah karena cap sesat. Menjadikan satu kelas 1-6 SD di pengungsian dijadikan solusi Pemda, bukan memastikan penerimaan mereka di sekolah. Hidup terekslusi, serba salah, terpenjara, berhimpitan karena sekarang 1 unit dipakai 2-3 keluarga, pekerjaan tidak jelas, ancaman penghentian bantuan sosial, sulit akses kesehatn adalah masalah-masalah yang dihadapi oleh pengungsi, khususnya perempuan dan anak-anak. Solusi yang bisa diambil oleh Mendagri adalah pertama; melakukan kordinasi dengan pihak Kementerian terkait untuk membuat satu kebijakan dan mekanisme penanganan pengungsi yang lebih komprehensif. Kedua, membentuk tim adhoc penyelesaian konflik melibatkan agama dengan melibatkan multi stakeholders yaitu kementerian terkait, NHRI (KOMNAS Perempuan, KOMNAS HAM, KPAI), dan perwakilan CSO, dengan pendekatan berkeadilan gender dan rekonsiliatif. 
Pesantren tak Berbadan Hukum 
Legal dokumen tidak selamanya memberikan kemudahan bagi lembaga kecil yang ingin berkembang. Sejak itu menjadi persyarat, banyak Pesantren kecil tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah karena tidak punya dokumen legal yang diharapkan. Padahal pesantren telah melakukan upaya pendidikan dan pemberdayaan pada murid dan keluarganya. Bahkan dalam upaya menghapuskan ketidakadilan gender, pesantre telah berkontribusi banyak dalam bentuk capacity building. Menteri Cahyo diharapkan bisa menawarkan satu solusi buat lembaga-lembaga kecil agar bisa mengakses bantuan sosial dari pemerintah tanpa diributkan 
Perempuan tidak Terlibat dalam Pengambilan Keputusan
Masih banyak perempuan yang belum terlibat dalam Musrembang. Ini karena proses Musrembang sering mendadak dan dilakukan pada jam-jam rawan perempuan. Kalau tidak terlalu pagi atau terlalu malam. Permendagri tentang PUG perlu didorongkan kembali dan dipastikan bahwa keterlibatan perempuan Musrembang Kecamatan sampai propinsi benar-benar meibatkan perempuan. Keterlibatan perempuan yang juga sangat kecil ada pada pengelolaan sumber daya alam. Banyak perempuan-perempuan Indonesia yang tidak mendapatkan akses akan hak tanah apalagi pengelolaan atas tanah mereka. 472 konflik agraria yang belum tertangani telah berdampak secara berlapis pada perempuan. Menteri Dalam Negeri sudah seharusnya bisa mengeluarkan sebuah kebijakan atau mekanisme yang memastikan assesibilitas perempuan dalam pengelolaan tanah dan SDA. Terkait dengan PUG, Kemendagri bisa memastikan PUG dijalankan dalam Musrembang.
Aceh, Otsus dan NKRI
Perjanjian Helsinki sering dijadikan alasan tidak berdayanya pemerintah Indonesia untuk melakukan intervensi ke Aceh. Telah dilaporkan pelaksanaan Syariah Islam di Aceh telah mengarah pada eksekusi perempuan. Tubuh perempuan dijadikan sasaran atas nama moralitas dan agama. “Saya menyaksikan sendiri hukuman cambuk dijalankan. Dan saya melihat banyak anak-anak juga ada di sana, mereka sebagian tertawa-tawa. Bagaimana nanti mereka besar menjadikan kekerasan sebagai jalan hidup mereka,” tegas Raihan dari Aceh. Dirinya juga mempertanyakan tentang Aceh menjadi bagian dari NKRI, seharusnya dilakukan intervensi karena sudah melenceng dari konstitusi. UU Otonomi khusus Aceh juga harus direview karena ditafsirkan sebagai kedaulatan membuat produk-produk hukum yang tidak sama dengan konsitusi. Misal saja Qanun Jinayat yang bertentangan dengan 10 produk hukum, dipaksa diimplementasikan tanpa uji publik.
Mendagri, Konstitusi, dan Kegamangan 
Secara umum Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo, menunjukkan komitmen dia pada  penegakan konstitusi, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kompleksitas birokrasi membuat penegakan hukum tidak berjalan dengan mulus. Berikut beberapa respon secara detil dari Mendagri merespon aspirasi dari Perempuan peserta Jambore Perempuan;
  • Bahwa pembedaan laki-laki dan perempuan tidak bisa diterima, karena mandat pelaksanaan UU harus melibatkan perempuan sesuai dengan quota yang telah ada 
  • Bahwa SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri merupakan domain Kementrian Agama sehingga yang bisa dilakukan oleh Kemendagri adalah meminta Kemenag untuk melakukan review terhadap kedua aturan tersebut. Saat ini telah dibentuk forum SKB yang bertujuan untuk mengkaji kembali keberadaan dua SKB tersebut. 
  • Kemendagri telah mengembalikan 139 Perda diskriminatif yang dianggap tidak mementingkan kemaslahatan orang banyak. Misalnya Perda Padang tentang aturan berjilbab dan Perda Tangerang terkait dengan jam malam. Tim Kemendagri terus melakukan review terhadap perda-perda yang ada
  • Negara harus melindungi semua warga negara tanpa membedakan latar belakang agama, etnik dan sebagainya. Termasuk untuk pendirian rumah ibadah seharusnya tidak ada masalah karena sudah ada penjaminan terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan. 
  • Kemendagri sudah mulai menyisir semua UU, PP dan kebijakan-kebijakan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila 
  • Jambore Perempuan adalah forum penting untuk mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi buat semua kementerian, maka forum seperti ini harus tetap dijalankan, kalau bisa 2 kali dalam setahun dan Mendagri bisa menyediakan dukungan finansial 
  • Mendagri telah melakukan MoU dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk membuat sekolah-sekolah latihan kerja buat calon TKW yang tidak memiliki skill. Dengan adanya sekolah latihan kerja ini diharapkan semakin lama semakin mengurangi jumlah tenga kerja yang pekerja rumah tangga. 
  • Masalah Aceh, Mendagri telah melakukan sejumlah pendekatan ke Gubernur Aceh. Juga telah menerima berbagai masukan dari kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan. Tetapi masalah Aceh terkendali dengan Perjanjian Helsinki, dimana di dalamnya mengatur kekhususan Aceh. 
  • Pada kasus akses tanah, dalam teks UU Agraria tidak ada pembedaan perempuan dan laki-laki dalam hal kepemilikan tanah, tetapi adat setempat sering kemudian membuat tafsir yang konservatif. 
Sayangnya tidak ada komitmen dari Mendagri untuk melakukan follow up setelah audiensi. Siapa diantara eselon yang hadir yang dipercaya untuk melakukan follow up audiensi dan forum seperti apa yang diharapkan untuk bisa membicarakan lebih lanjut beberapa hal penting seperti keterlibatan CSO dalam forum SKB untuk melakukan review terhadap 2 SKB yang ada. Tetapi bahwa Pak Cahyo mempersilahkan peserta audiensi untuk langsung menghubungi pejabat eselon yang saat itu hadir.*** 


No comments:

Post a Comment