Friday, April 1, 2016

APF on SDGs 1: Development Justice v.s TPP

Sejak disahkan pada September 2015 lalu, Sustainable Development Goals (SDGs) telah resmi menggantikan Millenium Development Goals (MDGs). Asia Pasific Forum on SDGs yang sedang berlangsung di Bangkok kali ini dibuka pada tanggal 31 Maret 2016 dihadiri oleh 139 delegasi dari berbagai negara di Asia. Memastikan prinsip SDGs bahwa “No One Left Behind” dijalankan, forum kali ini dihadiri juga kelompok-kelompok yang selama ini dimarginalkan seperti kelompok indegenous, disabilitas, petani, perempuan dari wilayah konflik, LGBT, dan sebagainya. Ini merupakan forum pertama di Asia Pasifik yang paska adopsi Agenda 2030 tahun lalu di New York. Forum ini terselenggara atas kerjasama sejumlah organisasi PBB seperti UNESCAP, UNDESA,, UNEP, dan Asia Pacific Regional CSO Engagement Mechanism (AP-RCEM), dimana organisasi feminist seperti APWLD leading. Untuk memberikan gambaran apa yang terjadi di lapangan paskah adopsi SDGs, sebuah sesi berjudul Setting the tones; Reality Check memberikan gambaran komprehensif tentang situasi masyarakat sipil dan pemerintah dalam hal mempersiapkan perangkat implementasi di tingkat nasional.  Beberapa nara sumber dihadirkan untuk memberikan pemantik diskusi paralel Viva Tatawaqa, DIVA, FIJI, Malu Martin mewakili isu HIV/AIDS, Prernamingan Bomzan, LDC Watch Nepal, Anselmo Lee, KoFID-ADN. Ada empat hal penting yang digarisbawahi dalam sharing di sesi ini yaitu;


Pertama, isu-isu prioritas yang dibawah oleh masyarakat sipil (CSO) saat ini menjadi wacana yang juga didiskusikan dalam pertemuan politik menteri. Misalnya isu keadilan iklim (climate justice), polusi, mengelolah keberagaman, sampah kimia, upaya untuk scale up konsep pembangunan berkelanjutan. Secara isu, ada banyak masukan dari masyarakat sipil yang diterima dalam proses negosiasi diantaranya adalah misalnya penggunaan bahasa universal pada konsep “universal social protection”, transformative, akuntabilitas, mekanisme monitoring, inklusif dan integral, juga mendorongkan mekanisme keterlibatan CSO di segala level pengambilan keputusan terkait dengan pelaksanaan SDGs. Meski demikian di dalam negosiasi politik isu-isu terkait dengan LGBT, politik obat untuk HIV, kesehatan dan hak reproduksi dan seksual juga masih menimbulkan kontroversial di kalangan diplomat. Termasuk indonesia. Disinilah prinsip “No One Left Behind” ditantang kesungguhannya dalam hal implementasi.

Kedua, ruang partisipasi CSO yang mengecil dalam upaya mengawal implementasi SDGs di tingkat nasional. Testimoni dari berbagai negara seperti Korea Selatan, China, Pakistan, Bangladesh, dan Philipines, mengindikasikan bahwa pemerintah nasional sedang mempersiapkan mekanisme yang dianggap tepat secara diam-diam. Belum ada pembicaraan terbuka dengan masyarakat sipil untuk menentukan mekanisme nasional yang lebih akuntable. Termasuk Indonesia yang saat ini sedang menggodong Peraturan Presiden tentang implementasi SDGs dimana konsep “joint-committee” yang pernah di-sounding oleh jaringan INFID dan didukung oleh GPPI, ditafsirkan dalam bentuk sharing sterring committee dan working group dimana perwakilan multi-stakeholders akan ada di sana. Tetapi challenge terbesar adalah bagaimana membuat pelaksanaan SDGs ini berbeda dan transformatif.

Ketiga, mekanisme nasional pelaksanaan SDGs belum siap. Begitu kesimpulan sementara yang bisa saya sampaikan mendengarkan update dari berbagai negara di Asia Pasifik. Meski demikian, beberapa negara secara sukarela mengajukan diri untuk membuat review  satu tahun implementasi SDGs diantaranya adalah Philipina, Korea Selatan, China, Kolombia, Mesir, Firlandia, Perancis dan sebagainya bisa dicek di link sebagai berikut https://sustainabledevelopment.un.org/hlpf. Survey yang dilakukan oleh IGES yang dilakukan di Asia Pasifik menujukkan anstusiasme kuat keinginan partisipasi CSO baik dalam mekanisme pemerintah nasional maupun mekanisme PBB dimana UNESCAP dan UNEP beroperasi. Simon Olsen, IGES menjelaskan bahwa pelaksanan SDGs harus berbeda dari MDGs, usulan untuk monitoring ditingkat regional, shadow reporting dari CSO, dan pembiayaan buat CSO untuk bisa berpartisipasi dalam forum politik PBB. Masalah pendanaan CSO pada advokasi ini juga disorot di beberapa nara sumber karena pada kenyataannya badan PBB masih sangat terbatas mengeluarkan dukungan finansial pada CSO.

Kempat, Sebuah forum bernama High Level Political Forum (HLPF) adalah mekanisme  sentral yang ada di PBB untuk melakukan follow up dan review agenda 2030 yang telah diadopsi pada 25 September 2016 saat UN summit SDGs. Forum ini diadopsi oleh deklarasi menteri yang diharapkan bisa secara efektif memberikan kepemimpinan politik, guidance dan rekomendasi untuk pelaksaan SDGs. Secara lengkap bisa dicek di website www.sustainabledevelopment.un.org. Untuk memastikan keberadaan CSO dalam diskusi politik ini, maka UN membentuk Major Group yang terdiri dari organisasi reigonal dan global yang bekerja untuk pengawalan SDGs. Sayangnya Major Group yang terdiri dari berbagai stakholders belum ada ditingkat nasional. 

Kelima, adalah masalah Means Of Implementation (MOI), dimana ada tiga hal penting yang disoroti yaitu uang, teknologi dan data. RanjaSengupta, Third World Network menjelaskan bahwa ada proses paralel yang terjadi untuk membahas tentang financing development. Konferensi internasional ke tiga tentang financing development diselenggarakan di Adis Ababa pada tanggal 13-16 July 2016 dimana menghasilkan kesepakatan tentang pembiayaan pembangunan, dokumen bisa dibaca di link ini http://www.un.org/africarenewal/sites/www.un.org.africarenewal/files/N1521991.pdf. 

Sementara pada SDGs, goal 17 secara fokus membahas tentang mekanisme MOI yang mencakup tentang keuangan, teknoologi, penguatan kapasitas, perdagangan dan isu sistemik seperti koherensi antar dokumen kesepakatan, partnership multistakeholders, data dan monitoring dan akuntabilitas. Pembahasan tentang MOI juga dicantolkan dalam target 1.a, 1b, 1 c. pada goal 1. Tantangan terbesar dalam MOI adalah keterlibatan sektor private dalam pembangunan berkelanjutan. CSO masih melihat keterlibatan sektor private harusnya tidak mengganti bahasa yang dipakai dalam SDGs. Singkat kata, keterlibatan private sektor jika tidak hati-hati akan melemahkan pelaksanaan SDGs. Keberadaan Trans-Pacific Partnership (TPP) harus dilihat secara kritis, karena agenda kedaulatan rakyat dan resilient kontradiktif dengan agenda TPP yang mengarah pada free trade. 

Hal lain yang juga sangat penting adalah Science, Technology and Innovation (STI), karena ini berdampak untuk menurunkan ketimpangan. Teknologi memang bukan solusi dari masalah kemiskinan dan ketimpangan. Tetapi teknologi sebagai alat untuk mempercepat upaya penurunan ketimpangan. Dalam SDGs, ada 9 Goal dari 17 yang ada, dan 69 target yang secara eksplisit mendorong penggunaan teknologi. Ini artinya upaya untuk pengurangai kemiskinan dan ketimpangan harus dilakukan dengan menggunakan teknologi. Gab antara dunia pertama dan ketiga sangat terlihat pada penggunaan teknologi.  Techonology Facilitation Mechanism (TFM) yang disepakati di Adis Ababa merekomendasikan tiga hal penting yaitu; mensinergikan inter agencies yang ada di PBB, ada kolaborasi penggunaan STI, dan online gateway untuk informasi seputar STI. KArena telah disepakati bahwa TFM adalah mekanisme multistakholders, maka diharapkan kesepakatan yang dibuat oleh New York sejalan dengan di tingkat regional. 

Membumikan Development Justice (Workshop Paralel)

Workshop paralel dibuka dengan presentasi dari Eni, international migrant worker, untuk menegaskan kembali konsep development justice, hasil rumusan APWLD mencakup 5 prinsip yaitu: Pertama, Redistributive Justice terkait dengan sumber daya, kekayaan, kekuasaan dan kesempatan pada semua orang. Kedua, Ecnomic Justice terkait dengan upaya membangun ekonomi yang bisa mengangkat martabat hidup, memberikan pekerjaan, livelihood, tanpa eksploitasi orang dan alam. Ketiga, Social and gender justice bertujuan mengurangi kekerasan terhadap permepuan, marginalisasi dan ekslusi. Penting untuk menghilangkan budaya patriaki dan pengaruh fundamentalisme. Keempat, environmental justice yaitu mengenali sejarah pertanggungjawaban negara dan kelompok elit di dalam negeri terkait dengan produksi, konsumsi dan ekstraksi yang mengarah pada pelanggaran HAM, pemasan global, konflik dan bencana. Kelima yaitu Accountbaility to people terkait dengan sebuah tata kelolah yang demokratik dan adil. 

# Economic Policies in Asia and Pacific: Who Sets the Rules?
TPP lebih berbahaya dari WTO. Begitu kesimpulan dari workshop 1.5 jam yan diselenggarakan di ruang Walamphu hotel Novou city, dimana perwakilan peserta yang concern pada trade dan ekonomi. Saya sudah mendengar tentang TPP. Secara singkap TPP adalah sebuah perjnjian dagang dimana 12 negara trans pasifik menandatangani pada tanggal 4 Februari 2016 di Auckland, New Zealand,setelah 7 tahun melakukan negosiasi. concern TPP adalah pada kebijakan publik yang pertumbuhan ekonomi. Yang bahaya dalam TPP adalah pertama, salah satunya adalah pada bagian memperkecil halangan perdagangan salah satunya adalah pungutan, juga investor-state dispute settlemtn mechanism (ISDSM), dimana perusahaan bisa memperkarakan negara karena dianggap merugikan. Ini lebih para dari WTO yang hanya menyepakati bahwa hanya state yang bisa memperkarakan state atas kebijakan perdagangan yang dianggap menghalangi. Sehingga mekanisme People Tribunal tidak berlaku. 

Kedua, status TPP legally binding atau mengikat secara hukum. Dibandingkan dengan SDGs yang tidak mengikat maka tentu saja sangat memungkinkan kesepakatan SDGs digilas oleh TPP jika sebuah negara sudah menandatanganinya. Ketiga, TPP berkonsekuenses pada perubahan hukum nasional karena kesepaktan “removing barrier” (menghilangkan penghalang). Misalnya negara seperti Philipina dimana dalam konstitusi memperbolehkan kepemilihan aset asing sampai 40%, kini ada wacana akan diubah menjadi 100%. Isu lain yang akan terdampak besar adalah standard keselamatan pangan, perlindungan lingkungan, hukum nasional perburuhan,  dan Internet. Secara sederhana teman-teman bisa melihat video ini untuk memahami TPP  https://www.youtube.com/watch?v=DnC1mqyAXmw 

Keempat, pengurangan subsidi pada petani kecil dan pelaku bisnis kecil. Saat ini Brasil secara tegas menolak TPP, tetapi presure dari berbagai pihak terus terjadi. Bagaiaman dengan indonesia? Yang jelas TPP bertentangan dengan Nawacita, tetapi Prsiden Jokowi telah mengekspresikan ingin bergabung. Meskipun belum bergabung secara resmi, tetapi indonesia sudah mengarah pada pilihan berbahaya. Begitu seriusnya dampak TPP pada pencapaian SDGs, tentu penting gerakan masyarakat sipil untuk mendorong penolakan TPP? ***

No comments:

Post a Comment