Tuesday, June 4, 2013

Kepemimpinan Perempuan dalam Transformasi Konflik : Sebuah Refleksi

Tulisan ini saya angkat dari pengalaman lapangan bekerja dengan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia yang melakukan penguatan kapasitas kepemimpinan perempuan dan organisasinya di akar rumput di tiga kota yaitu Jakarta (Pondok Bambu dan Cakung Barat), Bogor (Loji) dan Poso (Malei Lage dan Pamona) dengan menggunakan framework transformasi konflik miliknya John Paul Lederac. Untuk mendapatkan sebuah hasil optimal sesuai dengan  kepentingan tulisan ini, saya ingin mengambil pengalaman para ibu di Poso yaitu di salah satu desa bernama Malei Lage, kabupaten Poso. Pemilihan Malei Lage memang disengaja karena tingkat diversitas masyarakatnya, pengalaman unik membangun kembali relasi antara muslim dan Kristen pasca konflik, juga tentang perjuangan mengikis distrust, dendam, keraguan dan bahkan perpecahan. Yurlianti,  perempuan Kristen sederhana meniti perubahan dirinya dari ordinary women to extra ordinary women. Proses menjadi extra ordinary woman inilah yang ingin saya bagi untuk pembaca Suara Rahima, karena mengajarkan bagaimana kepemimpinan perempuan dalam situasi pasca konflik. Lebih jauh, tulisan ini akan menyuguhkan bagaimana kerangka kerja transformasi konflik bekerja dalam konteks kepemimpinan perempuan. Sebelumnya, saya ingin pembaca mengenal framework transformasi konflik dan bagaimana aplikasinya ke dalam konteks kepemimpinan perempuan melalui diskripsi cerita tokoh bernama Yurlianti atau Mama Monica.  

Transformasi Konflik; Sebuah Kerangka
John Paul Lederach, seorang Profesor di International Peacebuilding di Universitas Notre Dame, Indiana. Perjumpaan saya dengan beliau pada tahun 2006 membawa pada kesimpulan bahwa beliau adalah aktifis dan akademisi yang handal dalam bidang konflik resolusi dan peacebuilding. Keterlibatannya dalam proses perdamaian di konflik Somalia, Irlandia Utara, Nikaragua, Kolombia dan Nepal, menginspirasi munculnya teori tranformasi konflik, yang kemudian dikembangkan dalam program di universitas. Secara singkat, Lederach memaknai tranformasi konflik sebagai berikut:

Conflict transformation is to envision and respond to the ebb and flow of social conflict as life-giving opportunities for creating constructive change processes that reduce violence, increase justice in direct interaction and social structures, and respond to real-life problems in human relationships. 

Untuk memudahkan kita mencerna apa maksud dari definisi yang diberikan Lederach, saya rasa kita bisa menggunakan analog bahwa transformasi konflik itu sama seperti perjalanan hidup menjadi manusia yang menggunakan 3H 1L (Head, Heart, Hand and Legs) untuk mencapai tujuan. Tujuan perubahan itu ada empat macam yaitu individu, relasional, kultural dan stuktural. Saya lebih mudah menjelaskan tentang perubahan itu menggunakan formulasi sederhana yaitu Head, Heart, Hand dan Legs.


Head. Adalah cara berpikir kita tentang bagaimana memandang konflik. Cara pandang ini sangat berpengaruh pada cara kita memperlakukan konflik. Konflik bukanlah statis. Mereka ibarat bagian dari bumi dimana ada gunung-gunung, lembah, sungai dan pepohonan menjadi elemen keindahan bumi itu sendiri. Di dalam konflik, tentu kita menemukan masa harmonis, masa berselisih, masa bersitegang, masa saling bunuh, cooling down dan bahkan sampai pada gencatan senjata. Memahami konflik sebagai bagian dari dinamika kehidupan manusia memaksa kita untuk berpikir cara-cara inovatif yang bisa menggiring masyarakat pada proses transformasi konflik. Ini yang mungkin oleh Lederach disebut sebagai transformational perspective (transfomasi individu), sebuah cara pandang yang berorientasi mengubah. Dalam menjalankan ini dibutuhkan sebuah kapasitas cara berpikir yang memandang konflik adalah fenomena alam dan berani menggunakan kapasitas tersebut dalam kerja-kerja pembangunan perdamaian. 

Heart. Merupakan pusat kehidupan dari tubuh kita. Kita menemukan emosi, intuisi dan kehidupan spiritual dalam hati kita. Dari hatilah kita menjalin hubungan dengan manusia lainnya dan juga alam. Dari hatilah kita merasa tersakiti dan kemudian memutus hubungan dengan orang lain. Hati adalah pusat kita merasakan pergeseran rasa kita dalam merespon ajakan untuk berkonflik atau sebaliknya. Pondasi damai di masyarakat ditanam dengan hati yang memberikan kesempatan hidup bagi orang lain. Secara akademisi Lederach menyebutnya sebagai transformasi relasional, dimana sebuah perubahan itu terjadi pada orang-orang dekat kita.

Hand. Tangan menyimbolkan kerja. Makna yang dikandung adalah bahwa perdamaian harus dibuat. Ini adalah perwujudan dari head dan heart dalam sebuah aksi nyata di masyarakat. Ini yang Lederach maksudkan sebagai transformasi budaya. Yaitu, sebuah proses sosial mengubah relasi-relasi di masyarakat. Ini adalah pekerjaan yang panjang karena sangat berhubungan dengan dinamika perasaan manusia. 

Yang terakhir adalah legs and feet, atau kaki. Kaki bisa dimaknai disini sebagai pijakan atau tanah tempat berpijak. Sama seperti tangan kita, kaki akan membumikan gagasan dan keberpihakan kita untuk membangun perdamaian dalam sebuah bentuk nyata. Target penting dalam sebuah proses transformasi konflik adalah mengurangi kekerasan dan merengkuh keadilan bagi siapapun. Ini bisa dimulai ketika relasi dengan diri sendiri dan dengan orang lain terbangun dengan setara, terbuka dan bermartabat. Transformasi structural inilah yang diharapkan Lederach bisa melengkapi perubahan individu, relasional dan budaya. Jadi, sebuah transformasi konflik itu terjadi jika ada perubahan pada diri kita, keluarga dan orang terdekat kita, masyarakat dan struktur di masyarakat.

Kepemimpinan Perempuan dalam Transformasi Konflik
Saya ingin menjelaskan bagaimana framework ini bekerja dalam kepemimpinan perempuan, melalui diskripsi cerita pengalaman seorang perempuan dari Poso yaitu Yurlianti atau biasa dipanggil Mama Monica. Cerita yang saya suguhkan ini tentu saja hasil dari rekaman AMAN Indonesia selama melakukan pengorganisasian dan pendampingan di Poso. Cerita yang dikonstruksi oleh penulis bersumber pada data otentik laporan lapangan, observasi penulis di lapangan ketika melakukan monitoring dan juga hasil evaluasi lembaga.   
Mama Monica Punya Cerita
Mama Monica, begitulah Ibu Yurlianti dipanggil keseharian. Salah satu perempuan inspirasional dari Malei Lage yang mengalami transformasi dari ordinary woman menjadi extra ordinary woman (perempuan biasa menjadi luar biasa). Keaktifannya dalam mengikuti program penguatan kapasitas perempuan untuk perdamaian yang dilaunching oleh AMAN Indonesia sejak tahun 2008, memanen buah manis. Transformasi pada dirinya bermula pada sebuah training dimana pertama kali dia diperhadapkan secara fisik dengan perempuan muslim dari kampungnya sendiri. “Apakah kalau saya menegur, mereka akan membalas? Jangan-jangan kita dijebak di markas muslim? Gimana caranya saya menyapa mereka? Segudang pertanyaan ini berseliweran di kepalanya manakala dia mengetahui kenyataan bahwa dia harus satu ruangan dengan perempuan-perempuan muslim. Senyap pada awalnya, namun beberapa saat kemudian cair oleh game dan diskusi kelompok yang memaksa setiap orang untuk berinteraksi intensif secara fisik dan non fisik. Bukan saja kekakuan yang meleleh, dendam yang terpendar tetapi juga prasangka mulai terkikis oleh niat tulus untuk hidup damai dengan tetangga. Sebuah babak baru perubahan dibentangkan.

Dengan keyakinan mendalam akan sebuah perubahan, Mama Monica memutuskan bergabung dengan kelas regular yang sejak awal pembentukannya disebut sekolah perempuan perdamaian (SP). Ini adalah proses penempaan perspektif, sikap dan tingkah laku seorang pemimpin perempuan untuk menjalankan misi transformasi konflik. Tugas belajar yang paling berat adalah transfer pengetahuan kepada suami, anak dan tetangga terdekat. Tujuannya adalah memperbaiki relasi kuasa di dalam rumah dan disekitar rumah. Mama Monica seringkali membiarkan buku catatan dan bahan-bahan belajar tergeletak di ruang tamu agar sang suami penasaran dan membuka-buka isi catatannya. Dengan begitu dialog dimulai. Anak adalah target perubahan yang relatif mudah karena nilai baru yang didapatkan dari SP langsung diterapkan dalam  pola didik yang baru yaitu dialogis dan tidak menggunakan kekerasan. Perubahan cara berpikir tidak cukup. Organisasi perempuan yang ada di kampungnya, tidak menawarkan warna baru dalam berorganisasi, selain menciptakan ketergantungan pada yang kuat. “ Kami ingin mandiri dan berkembang,” kata mama Monica. Tidak ada pilihan kecuali membangun organisasi perempuan yang kuat di Malei Lage agar kepentingan taktis dan strategis perempuan bisa terkomunikasikan dengan pemangku kepentingan.

Setelah dua tahun belajar perspektif perdamaian dan perempuan, SP mentransformasi diri menjadi sebuah organisasi perempuan bernama Sekolah Perempuan Sintuwu Raya (SPSR). Mama Monica dipercaya sebagai ketua oleh para ibu dari  kelompok Kristen dan muslim. Perimbangan komposisi perempuan muslim dan Kristen di dalam struktur organisasi menentukan berhasil tidaknya proses rekonsiliasi diantara mereka. Sebut saja Ibu Ana, seorang muslim,  menganggap kepemimpinan itu adalah kemampuan yang tidak ada hubunganya dengan ajaran agama. 

Dengan kendaraan organisasi SPSR, Mama Monica mendorong PKK di tingkat desa lebih aktif dengan sumber daya manusia yang lebih maju, yaitu partisipan SP. Dia juga mendorong kerjasama dengan organisasi-organisasi di lokal agar pesan perdamaian bisa dibumikan. Antusiasme warga ditunjukkan dengan keterlibatan mereka pada training masal membuat piring lidi, sebuah media yang dipilih oleh SPSR untuk memperkuat relasi antar warga Kristen dan Muslim. Kini, SPSR dibawah kepemimpinan Mama Monica menunjukkan bibit-bibit kemandirian organisasi secara keuangan. Saat ini raturan piring lidi telah diproduksi dan dipakai oleh warga Malei Lage dan juga restoran-restoran di wilayah propinsi Sulteng. Suami Mama Monica menjadi salah satu trainer membuat piring lidi. Juga aktif mendukung istrinya dalam menjalankan tugas-tugas SPSR.

SPSR juga menjadi “konsultan” PKK untuk memajukan kapasitas kepemimpinan PKK dan program-programnya.  Intervensi SP bukan saja memperkuat skill kepemimpinan perempuan di SPSR, tetapi juga di organisasi lain seperti Aisyiah, PKK dan Wiyah melalui keterlibatan intensif  kerjasama program. SPSR juga mengusulkan perbaikan fasilitas pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk menjadi prioritas di Musrembang tahun ini. Ini dilakukan karena SPSR memandang pendidikan anak sangat penting, dan sejak dini penting diperkenalkan perbedaan di sekitar anak-anak agar terbiasa berintegraksi dengan perbedaan. Berkembangnya SPSR dan organisasi perempuan lainnya, memberikan perubahan yang penting pada jumlah perempuan yang terlibat di dalam pengambilan keputusan strategis di Malei Lage. Perwakilan perempuan semakin banyak di forum-forum desa termasuk Musrembangdes. Menurut pengakuan Mama Monica, jika ada urusan terkait dengan perempuan dan perdamaian, Kepala Desa sudah langung menghubungi SPSR.

Dari cerita Mama Monica di atas, saya ingin menyampaikan bahwa kepemimpinan perempuan itu memiliki agenda transformasi yang koheren, seperti kepala, hati, tangan dan kaki. Yang sangat mendasar dari sebuah perubahan adalah cara pandang baru terhadap konflik. Konflik adalah natural. Karena sifatnya natural, maka perlu dikelolah. Hati adalah pusat mengelolah konflik, karena hati yang mengarahkan bagaimana kita membangun relasi dengan orang lain. Perubahan cara berpikir Mama Monica karena pengaruh dari SP, tidak lantas akan menciptakan sebuah perubahan. Komitmen perubahan individu dia tidak akan bermakna apa-apa, jika tidak dipantulkan pada orang-orang disekitarnya yaitu suami dan anak.

Kepemimpinan perempuan membutuhkan wadah yang kondusif untuk mengakomodasi “ambisi baru” dari diri perempuan pemimpin. Wadah terdekat adalah keluarga. Ketika suami dan anak-anak Mama Monica menyediakan diri untuk berubah, bukan tindakan alamiah. Tetapi dari sebuah upaya Mama Monica yang tersistematis untuk mensituasikan suami untuk membaca buku catatannya yang sengaja digeletakkan di atas meja. Juga perubahan pada anaknya, yang menjadi tidak tergantung pada figur ibu, juga berkat pola asuh baru dan pengalaman mandiri yang diciptakan oleh Mama Monica ketika dirinya diharuskan menghadiri kegiatan di luar desanya. Ini butuh kelapangan hati dan keberanian diri untuk memulai. Semua aksi ini akan bisa dilakukan jika kepala berubah dan hati berubah.

Kepemimpinan perempuan harus dipraktekkan. Wadah efektif kepemimpinan perempuan di masyarakat adalah organisasi. Secara sederhana ketrampilan mempengaruhi orang lain haruslah teruji, dan berorganisasi adalah pilihan cerdas menempa skill tersebut. Begitu pula pemahaman tentang demokrasi, keadilan gender, toleransi menghargai perbedaan dan segudang prinsip-prinsip abstrak yang tidak mudah dihidupi oleh seorang pemimpin tanpa organisasi.  Organisasi akan menempa seorang calon pemimpin dengan cara learning by doing. Artinya bahwa menjadi pemimpin membutuhkan wadah yang kondusif untuk secara bertahap berani mencoba dan berani gagal untuk menemukan bentuk ideal dari seorang pemimpin dan sebuah organisasi yang sehat. Interaksi Mama Monica untuk menguatkan ikatan antar organisasi perempuan seperti PKK, Aisyiah dan Perempuan Wiyah adalah upaya sinergi untuk menggalang solidaritas perempuan Malei Lage untuk mempromosikan perdamaian di keluarga dan masyarakat. Kedekatan dengan Kepala Desa dan memposisikan SPSR sebagai mesin kader dan konsultan adalah upaya menyusup untuk melakukan perubahan struktural. Disamping secara formal menghadiri Musrembang sebagai organisasi yang mewakili perempuan selain PKK. Ini semua terjadi, karena “kaki” pemimpin perempuan menjalankan fungsinya sebagai connector dengan lembaga-lembaga lainnya. 

Yang paling membedakaan kepemimpinan perempuan di wilayah konflik dan non konflik adalah pada elemen rekonsiliasinya. Bagi wilayah yang sudah pernah mengalami konflik kekerasan seperti Poso, memori tentang damai sudah tertutupi dengan memori kekerasan. Rasa tidak percaya, prasangka dan  kekerasan mengisi hampir seluruh relung ingatan masyarakat pasca konflik. Bukan berarti bahwa perdamaian mustahil. Residu perdamaian di dalam alam bawa sadar warga ini yang harus dibangkitkan kembali dan diterjemahkan ke dalam bahasa aksi. Ini dibutuhkan sebuah ketrampilan kepemimpinan perempuan yang mampu melakukan perubahan pada diri, keluarga, masyarakat dan kebijakan. ***


 Bagian akhir tulisan ini tentang aplikasi framework transformasi konflik ke dalam kepemimpinan perempuan akan dipublish di majalah Swara Rahima dengan judul Mama Monica Punya Cerita: Belajar Kepemimpinan Perempuan dari Malei Lage



No comments:

Post a Comment