Friday, June 27, 2014

Revolusi Mental Pemuda: Subyek atau Obyek Perubahan?

Revolusi Mental itu miliknya Komunitas. Sepenggal kalimat ini saya kutip dari salah satu peserta Talkshow tentang Visi dan Misi Capres dan Cawapres di UIN Syarifhidayatullah yang diselenggarakan oleh Pemberdaya Muda kerjasama dengan Jurusan Pemberdayan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah. Si Penanya menggunakan referensi Karl Max dan sejarah China yang memberikan justifikasi Revolusi Mental itu sangat mirip dengan diusung oleh komunis. Anick H. Tohari, pengarang buku "Kuburlah Kami Hidup-Hidup", menekankan bahwa konsep Revolusi Mental yang dibawah oleh Capres No. 2 mungkin saja berbeda dengan cara kita memberikan interpretasi. Sehingga terlalu sederhana kemudian memberikan justifikasi bahwa dengan mengusung revolusi mental lantas ini dalam rangka membangkitkan kembali PKI. 


Any Rufaedah dari ASEAN Youth Assembly juga memberikan penekanan bahwa karakter anak muda yang mudah terbawa emosi sering tidak memikirkan dampak jangka panjang. Karakter ini yang kemudian harus diantisipasi dengan membuka semua ruang kemungkinan untuk mempelajari seluk beluk dari kedua Capres dan Cawapres yang ada, sehingga kita tahu sekali kualitas pilihan kita. Dalam kaca mata spikologi sosial, kecenderungan manusia itu memilih yang sangat dekat dengan karakter dirinya. Ini kemudian yang juga membuat blocking mental ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa pilihannya ternyata kurang memiliki kualitas yang cukup. Kalau dilihat dari visi dan misi, Prabowo lebih menempatkan Pemuda sebagai obyek intervensi dan Jokowi lebih melihat pemuda sebagai Subyek pelaku perubahan.

Talkshow  2.5 jam ini, dihadiri oleh sebagian besar mahasiswa jurusan PMI. Meskipun tidak kurang dari 40 orang yang hadir dalam diskusi kali ini, ke enam nara sumber yang diundang diantaranya adalah Wati Nilamsari (Kajur PMI), Mahmudah (Dosen UIN), Ruby Kholifah (Mewakili Indonesia Beragam), Any Rufaedah (ASEAN Youth Assembly) dan Anick Tohari (Pengamat Politik). Gagasan dialog tentang visi dan Misi Capres dan Cawapres muncul dari keprihatinan kita melihat bahwa wacana yang diusung oleh kedua Capres dan Cawapres banyak berorientasi pada isu-isu besar, dimana isu Pemuda kurang mendapatkan tempat yang cukup. 

Wati Nilamsari selaku Kanjur PMI, Fakultas Da'wah menyayangkan keterlibatan beberapa dosen dalam arus kampanye hitam yang menghujat calon nomer 2 yaitu Jokowi-JK. Menurutnya ini sudah tidak sehat. Seorang dosen harusnya bisa memberikan tauland yang baik bagi mahasiswanya terkait dengan partisipasi politiknya. Bukan sebaliknya melontarkan kata-kata yang kotor dan tidak baik di dunia media sosial. Maka, talkshow kali ini adalah momentum tepat buat dosen UIN untuk menyalurkan gagasan-gagasannya mengapa mendukung Capres dan Cawapres tertentu. 

Senada dengan Nilam, Mahmudah, salah satu dosen pendukung Jokowi-JK juga meyakini bahwa revolusi mental yang dimaksudkan oleh Jokowi adalah upaya mengubah karakter bangsa. Ini karena pendidikan memang harus berorientasi pada pembentukan karakter bangsa. Kalau suntikan dana untuk pendidikan memang sudah selayaknya, tetapi memberikan perhatian pada perkembangan MANUSIA Indonesia. Itu yang menurutnya luar biasa.

Ruby Kholifah, perwakilan Indonesia Beragam meyakini bahwa revolusi mental justru harus dikembalikan pada praktek keseharian yang kecil-kecil. Tidak usah jauh-jauh, UIN sebagai institusi belajar Islam dan menyakini bahwa kebersihan itu bagian dari Iman, tetapi tidak tercermin dari prilaku mahasiswanya, dimana sampah bertebaran di mana-mana. Belum lagi tidak terawatnya WC, mushola, dan tempat wudhu seharusnya bisa mencerminkan ajaran Islam. Ini contoh kecil saja betapa memang mental orang Indonesia bermasalah. Bahkan mungkin tidak nyambung antara apa yang dipelajari di Agama dengan apa yang dipraktekkan dalam keseharian. 

Debat juga menyoroti isu-isu krusial seperti kesehatan reproduksi dan seksual yang selalu dibicarakan dengan curiga. Ruby mengingatkan bahwa dunia anak muda berbeda dengan orang dewasa saat ini. Mereka disebut Blue Generation, yaitu sebuah generasi yang sangat dekat dengan teknologi yang menembus batas. Akses begitu terbuka, sehingga ini bisa membentuk cara berpikir dan karakter anak muda yang berbeda. Olehkarenanya penting ada pendidikan seksualitas di sekolah sebagai upaya membentuk karakter anak yang bertanggungjawab. Pernikahan dini dan kematian ibu melahirkan juga diungkap oleh nara sumber agar pemerintah juga memperhatikan pentignya usia yang cukup matang untuk memasuki usia pernikahan. 

Menjamurnya gerakan anak muda, tidak lepas dari dorongan dan fasilitasi orang dewasa, karena pada dasarnya gerakan perubahan tanpa pemuda tentu tidak jalan. Sudah saatnya pemuda menjadi subyek aktif dalam menjalankan perubahan. Olehkarenanya tentu Pemuda harus cerdas memilih mana Capres dan Cawapres yang lebih akan mendorong Pemuda sebagai Subyek BUKAN Obyek. ***

No comments:

Post a Comment