Eleanor Roosevelt pernah bilang bahwa Human rights start close to home. Tampaknya ini yang menginspirasi Ban Kin-moon sekretaris general PBB untuk tetap berkomitmen sejak awal ingin mempromosikan kesetaraan gender dalam PBB. Dalam pidato pembukaannya di sindang PBB pada Commission on the Status of Women (CSW), yang dibuka pada tanggal 14 Maret 2016, menekankan kembali pentingnya perwakilan perempuan dalam parlemen dan kabinet. Menurut Ban Kin-Moon, saat ini masih ada lima negara yang tidak memiliki keterwakilan perempuan dan tujuh negara yang tak satupun perempuan ada di kabinet. Sayangnya beliau tidak menyebutkan siapa-siapa saja yang ada disana.
Komitmen sekjed PBB telah dibuktikan dengan mengangkat 150 asisten Sekjed dan staf yang bekerja dibawah Sekjed PBB. Dalam pidatonya Sekjed juga memberikan perhatian pada persoalan extrimisme. Saat ini PBB sedang menyiapkan The UN Plan of Action to Prevent Violent Extremeism yang telah menyiapkan usulan untuk memberikan ruang pada perempuan untuk terlibat respon global dan juga memastikan bahwa dalam upaya mengkonter terorisme dan violent extremism tetap menggunakan human rights sebagai kerangka acuan.
Sidang yang rencananya akan berakhir pada 24 MAret 2016 diharapkan bisa melahirkan sebuah kesepakatan yang biasa disebut agreed conclusion, yaitu sebuah dokumen konsensus yang berisi kesimpulan dan rekomendasi ke depan untuk pelaksanaan Women’s empowerment and the links to SDGs. Saat pertemuan informal untuk pembahas agreed conclusion sudah dimulai sejak awal dan akan berlanjut pada senin depan, 21 Maret 2016.
Dengan keterbatasan saya sebagai perwakilan masyarakat sipil, bukan Delri, saya ingin memberikan sedikit gambaran pada teman-teman bagaimana dinamika politik di seputar sidang CSW 60 di New York. Saya akan menggunakan basis dokumen seperti zero draft document agreed conclusion, catatan notulensi dan review Kaukus HAM Perempuan, dan pembacaan terhadap perkembangan isu dari side event. Sekedar catatan saja bahwa saat ini masih dilakukan negosiasi sehingga posisi negara bisa berubah.
Dari dokumen yang saya sebutkan diatas, ada tendensi banyak negara untuk mengurangi bahasa human rights dalam teks agreed conclusion. Alasan mereka bervariasi, dari yang dianggap pengulangan, mubazir karena dalam kata pemberdayaan perempuan itu sendiri sebenarnya mengandung HAM Perempuan atau memang secara tegas menolak seperti Vatikan. Negara seperti the holy Sea (Vatikan), Rusia Federation, Chile, Yemen, termasuk USA sepakat mengurangi kata human rights dalam dokumen. Misalnya saja pada paragraph 7 dibawah ini:
PP7. The Commission welcomes the commitments to gender equality, and the empowerment of all women and girls [and their human rights] in the 2030 Agenda for Sustainable Development. It recognizes that women and girls play a vital role as equal agents of development and [reaffirms] that realizing gender equality and the empowerment of [all] women and girls is not only a goal in itself but will make a crucial contribution to progress across all Sustainable Development Goals and targets. [The achievement of full human potential and of sustainable development is not possible if one half of humanity continues to be denied its full human rights and opportunities]. [5./first part merged with 4.2.]
Dalam merespon paragraph 7, negara seperti Vatikan menolak penggunaan human rights tetapi bisa menerima istilah gender equality and empowerment of women and girls. Posisi ini sama dengan USA dan Rusia Delegation.
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak seperti tahun lalu, kini Indonesia banyak terlihat diam dan tidak secara tegas berafiliasi pada kelompok tertentu. Seperti biasa, Indonesia tidak perna menjadi “suara panutan” dalam diplomasi luar negerinya, sehingga yang terlihat cenderung datar. Namun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan CSW 59 dimana sikap Indonesia sangat terlihat condong pada negara-negara yang konservatif seperti vatikan, rusia, India dan Iran. Tapi tentu praktek people-center diplomacy masih jauh panggang dari api.
Dalam pembahasan zero draft agreed conclusion, Indonesia lebih cenderung pada “zona aman”, tetapi lebih terkesan konservatif. seperti negosiasi pada paragraph 4 dibawah ini:
PP4. The Commission reaffirms the [international] commitments to [realize] gender equality and the empowerment of [all] women and girls [and their human rights] made at relevant United Nations summits and conferences, and their review conferences, [including the International Conference on Population and Development and its Programme of Action and the outcome documents of its review conferences], [the Third UN World Conference on Disaster Risk Reduction], the United Nations summit for the adoption of the post-2015 development agenda, the Third International Conference on Financing for Development and the 21st session of the Conference of the Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change, [as well as other meetings including, inter alia, the Global Leaders’ Meeting on Gender Equality and Women’s Empowerment held on 27 September 2015 and the High-Level Review of Security Council Resolution 1325 of 13 October 2015]. [3.]
Indonesia termasuk negara yang tidak menyetujui penggunaan kata “internasional” dalam paragraph ini, bersama dengan Chile dan Iceland tetapi bersebrangan dengan group Afrika. Termasuk dalam hal penerimaan sederet list konvensi dan resolusi untuk memperkuat posisi paragraph 4, Indonesia masih dalam posisi yang tidak membahayakan.
Debat lain yang juga cukup seru dalam proses negosiasi adalah terkait dengan penjelasan harmful practices dimana beberapa negara termasuk Indonesia, berkeinginan untuk menghilangan penjelasan dalam kurung. Bisa dicek di bagian yang ditebalkan. Negara seperti Iran, Guyana, Trinidad dan Tobago juga mengamini penghapusan ini. Dampak yang serius akan dihadapi jika penjelasan ini dihapuskan adalah kesulitan mencarikan cantolan pada advokasi terkait dengan isu-isu tersebut. Sehignga baik negara dalam hal ini kementerian pemberdayaan perempuan kehilangan mekanisme untuk memastikan isu bisa diadvokasi dengan serius. Berikut cuplikan dari para 13.
PP13. The Commission strongly condemns all forms of violence against all women and girls. It expresses deep concern that discrimination and violence against women and girls continue to occur in all parts of the world, across the life cycle, and in all spheres including the home and the workplace; and that all forms of violence against women and girls, including harmful practices [such as child, early, and forced marriage], female genital mutilation, so-called honour crimes and femicide, are impediments to the development of their full potential as equal partners with men and boys in all aspects of life, as well as obstacles to the achievement of the Sustainable Development Goals and the full realization of all human rights of all women and girls. [7.5. and 8.5. merged with 5.8.]
Kemungkinan besar Indonesia akan mengambil posisi yang aman dan tidak membuat aliansi yang fix tetapi juga tidak menciptakan maintream sendiri. Alasan lain yang sangat mungkin adalah agreed conclusion dianggap sangat politis sehigga tidak bisa dijadikan pegangan. Kemungkinan perubahan sikap di masa lain juga sangat besar. Atau mungkin juga karena isu perempuan tidak terlalu dianggap penting dalam konsep diplomasi Indonesia di tingkat global?
Tampaknya negosiasi akan alot memasuki pada bagian subtansi isu dimana perdebatan sebelumnya terkait dengan various form of families, sexual reproductive rights, feminisme, dan keterlibatan CSO dalam method of working dalam CSW akan dimunculkan lagi. Tentu saja kunci ada pada master dokumen penting sebelumnya yaitu SDGs dan Beijing Plaform for Action yang selalu menjadi standard tinggi untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tentu saja kami berharap sekali posisi Indonesia sedikit saja lebih progresif. Pendekatan baru tentang diplomasi berbasis warga berharap benar-benar tercermin dalam negosiasi di CSW 60 kali ini.
Tampaknya negosiasi akan alot memasuki pada bagian subtansi isu dimana perdebatan sebelumnya terkait dengan various form of families, sexual reproductive rights, feminisme, dan keterlibatan CSO dalam method of working dalam CSW akan dimunculkan lagi. Tentu saja kunci ada pada master dokumen penting sebelumnya yaitu SDGs dan Beijing Plaform for Action yang selalu menjadi standard tinggi untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tentu saja kami berharap sekali posisi Indonesia sedikit saja lebih progresif. Pendekatan baru tentang diplomasi berbasis warga berharap benar-benar tercermin dalam negosiasi di CSW 60 kali ini.
Are Religion and women’s Rights Compatible?
Perdebatan tentang apakah agama dan hak-hak perempuan cocok, tampaknya akan terus hidup. Pasalnya telah banyak narasi yang diproduksi untuk memberikan gambaran tentang peran perempuan dan laki-laki dalam konteks masyarakat beragama. Telah banyak pembelajaran terbaik dan cerita sukses yang ditorehkan oleh banyak para perempuan aktifis untuk membunyikan agama menjadi lebih humanis dan ramah pada perempuan. Pentingnya agama dalam konteks pemberdayaan perempuan dipotret oleh bebreapa side event yang saya hadiri dalam dua hari ini. Ijinkan saya memberikan summary atas side even yang diselenggarakan oleh CSO, lembaga penelitihan dan juga agensi PBB sendiri.
Side Event Indonesia: “ Indonesia’s perspective in addressing one of the key challenges to ensure the implementation of Sustainable Development Goals fully benefits women and girls”
Bagaimana secara melibatkan tokoh agama dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan? Kita semua tahun bukan hanya Indonesia yang memiliki regulasi banyak untuk melindungi permepuan, tetapi mengapa kekerasan masih terjadi? Bagaimana para tokoh ulama terlibat dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan?
Meskipun tidak terlalu menghebohkan, side event Indonesia yang bertajuk “Indonesia’s perspective in addressing one of the key challenges to ensure the implementation of Sustainable Development Goals fully benefits women and girls” yang diselenggarakan pada tanggal 17 Maret 2016 tetap mendapatkan sambutan yang sangat baik oleh peserta sidang Commission on the status of Women (CSW) ke 60. Kerja bareng antare elemen pemberbedayaan perempuan. pemerintah yang dalam hal ini adalah KPPA, KPRI, KOMNAS Perempuan dan Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) ini secara eksplisit menjelaskan bahwa pekerjaan menghentikan VAW dan pemberdayaan perempuan secara umum memang tidak bisa hanya menjadi satu sektor saja. Ada empat perspektif yang diangkat oleh side even ini yaitu;
Perlindungan perempuan; yang disampaikan oleh Ibu Venesa, salah satu deputi KPPA yang bertanggungjawab pada perempuan dan anak dalam kondisi khusus (cek lagi). Selain menyoroti berbagai tantangan tentang VAW dimana kekerasan seperti child marriage, FGM, sexual violence against children, kekerasan perempuan di wilayah konflik, beliau juga memberikan penekanan pada intevensi negara yang secara serius mengaddress VAW isu dan menjadikan isu ini prirotias. Ibu venesa juga menyoroti tentang Selain itu kampanye tentang He for She, menjadi bagian dibanggakan oleh pemerintah.
Penguatan peran tokoh agama dalam upaya ending VAW yang disampaikan oleh Yuni Chudaefah dari KOMNAS Perempuan memberikan penekanan posisi agama yang bermata ganda, sebagaiconnector dan juga sekaligus sebagai divider. 359 perempuan meninggal per 100.000 angka kelahiran. Child marriage, FGM adalah buah tafsir konservatif agama . Maka penting menggunakan agama sebagai cara untuk fixing the problem. Beberapa strategi dan pendekatan diantaranya adalah memproduksi teks, memaknai ulang keadilan bagi korban, menggunakan konstitusi untuk melawan tafsir kebencian. Pesantren dan ulama adalah elemen penting yang terlibat dalam upaya ending VAW di Indonesia.
Peran parlemen dalam memproduksi hukum yang melindungi perempuan. Ratu Hemas memberikan penekanan pada produk hukum yang diskriminatif berpotensi dalam menghalangi implementasi SDGs. Kecenderungan produk hukum yang “tangkap tangan” bagi yang berkhalwat merugikan banyak pihak.
Terakhir adalah peran aktif gerakan perempuan yang dipresentasikan oleh Rita Kolibonso, ketua GPPI memaparkan runtutan bukti keterlibatan perempuan dalam berbagai perhelatan agenda global dan nasional. CSO secara aktif memberikan akses layanan pendampingan kasus, kesehatan dan juga pemberdayaan pada korban. Upaya enggement CSO dengan pemerintah untuk mengawal SDGs dikonkritkan dengan adanya buku indikator gender dalam SDGs.
Tantangan terbesar adalah efektifitas pelaksanaan regulasi perlndungan perempuan dan anak. Tentu saja panjangnya list UU dan aturan-aturan yang mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, harus mampu memperbaiki kehidupan perempuan. Evidence based policy harus diperkuat. Pentingnya kiranya membuat studi serious tentang dampak dari setiap aturan. dan gerakan melibatkan laki-laki dalam upaya pemberdayaan perempuan tidak diragukan lagi urgensinya. Kampanye global He for She dimana Indonesia terlibat didalamnya diharapkan bisa mendorongkan planet 50-50.
Side Event “ Women’s Social Lives and Changing Values in the Middle East”
“Penelitian ini berdampak pada perubahan cara pandang saya terhadap Islam. Saya mengajar disebuah univsersitas di Jepang, dimana rata-rata anak-anak didik saya berpikiran buruk terhadap Islam. Melalui penelitian ini, saya bisa memberikan bukti nyata bahwa Islam agama yang peaceful, tetapi banyak ditafsirkan salah oleh orang-orang yang memiliki otoritas keagamaan.” Begitu Dr. Kaiko Kakaki, salah satu panelis dalam diskusi 2 jam ini merefleksikan tentang perubahan dalam dirinya dan orang-orang sekitarnya.
Workshop ini menyuguhkan tiga pendekatan dalam melihat kehidupan sosial perempuan Timur Tengah yang kesemuanya didasarkan pada hasil studi selama 6 bulan. Metodologi yang dipakai adalah studi antropologi, dimana ke tiga nara sumber tinggal dan menyelami kehidupan perempuan di Timur Tengah. Ada tiga aspek yang ingin ditonjolkan dalam workshop ini yaitu perubahan cara pandang para tokoh agama melalui studi teks, Subyektifitas perempuan dalam memaknai kata Numus (kehormatan), dan Civil Feminism dalam kontek transisi demokrasi di Tunisia.
Dr. Emi Goto, institute of advance sutides on sia university of Tokyo membuka presentasinya dengan pertanyaan reflektif “ Apakah anda pernah bertanya apa itu Islam?”. Pertanyaan ini sangat bisa dijawab oleh buku-buku yang ada di sekitar anda, tetapi banyak orang tetap tidak mengerti tentang islam. Penelusuran Dr. Emi dalam memahami tentang perubahan cara pandang terhadap peran perempuan di publik ditemukan dalam teks-teks buku yang ditulis oleh dua ulama yaitu ZAenab dan Mohammad Al-Ghazali.
Zaenab adalah aktifis perempuan yang menggeluti dakwah. Dia juga bergabung dengan gerakan brotherhood yang menyebabkan dia dipenjara selama 6 tahun. Pada buku awal yang ditulisnya Zarnab menyakini bahwa peran gender itu kodrat Tuhan. Perempuan bertanggungjawab pada rumah tangga, anak. Tetapi kemudian bergeser menjadi double standad dengan memberikan space pada peran perempuan di publik. Berikut cuplikan statmennya,“Women can do anything but cannot interven with duty of mother and wife.”
Sementara Ghazali seorang scholar yang dididik oleh universitas Al-Azhar, pertama kali menulis buku tentang peran perempuan sangat konservatif menegaskan peran binari permepuan dan laki-laki. Cara pandang ini bergeser dalam bukunya bertajuk “Sunnah of Prophet yang diterbitkan pada tauhn 1989. bergeser menjadi lebih moderat dengan mengangkat sura perempuan dan kepemimpinan sosial perempuan yang sebelumnya belum pernah dibahas.
Mengapa mereka berubah? Ditilik dari sejarah Mesir, sejak tahun 1919 peran perempuan dalam mendorongkan nasionalisme telah bergema. Perempuan-perempuan mulai berpikir bagaimana terlibat dalam pengambilan keputusan. Pada tahun 1950, Mesir telah memperbolekan perempuan memilih. Sayangnya pada tahun 1980 gerakan feminisme jatuh seiring dengan menguatnya islam. Perubahan pada kontks sosial, politik dan budaya membuka ruang-ruang tafsir baru terhadap peran perempuan di publik.
Mrs. Kaoro Murakami dari Institute Developing di Jepang membuka menekankan pada pentingnya mendengarkan suara-suara yang berbeda terhadap makna kehormatan atau “honor” atau numus dalam bahasa Turkey. Ini dilandasi pengalaman empirik para honor killing yang serius diadvokasi oleh banyak pihak termasuk PBB. Temuan dari penelitian dia adalah multi voices dari subyektifitas perempuan Turkey dalam memberikan makna pada numus. Bahwa makna numus bukan lagi berasosiasi dengan honor killing. Tetapi perempuan Turkey memaknai numus sebagai; 1) proteksi ekonomi bukan morality; mereka sangat yakin bahwa para suami tidak bisa hanya bicara tentang pelrindunga moral pada perempuan tanpa memperkuat perlindungan ekonomi. 2) Bercermin pada keluarga besar; beberapa permepuan menolak berkerudung karena keluarga suami juga tidak menjalankan. Artinya bahwa perempuan melihat perlindugna tidak pada cara berpakaian. 3) kemandirian perempuan; memiliki income sendiri membuat perempuan tidak takut dicerai karena proteksi ekonomi bagi diri sendiri sudah dianggap jelas.
Subyektifitas perempuan ini tentu bertentangan dengan budaya yang ada. Tetapi perubahan tidak bisa dielakkan karena banyak laki-laki tidak bisa mencukupi kebutuhan para istri mereka. Sehingga ini membuka ruang negosiasi bagi perempuan dan laki-laki untuk menentukan model yang terbaik. “if he only care about moral issues is not normal, but he also care about economic.” Dengan memahami subyektifitas perempuan memaknai numus atau kehormatan, maka akan membantu kita untuk merekonfigurasi kebutuhan perempuan.
Dr. Keiko Takaki, dari Oberlin Universiy di Tokyo mempresentasikan tentang peran perempuan dalam revolusi Tunisia dan transisis demokrasi memberikan gambaran gamblang tentang perubahan di Tunisia dari State feminism atau civil feminism. Turkey adalah satu-satunya negara muslim yang dianggap telah berhasil memodernkan dirinya. Ternyata juga memiliki sejarah perjuangan feminisme yang radikal. Pada tahun 1956, Tunisia melarang poligami dan talak. tunisia juga telah mempromosikan kesetaraan gender dalam pendidikan sejak tahun 1958 dan disusul dengan kesetaraan perempuan dan laki-laki secara eksplisit dalam konstitusi mereka. Juga memberikan hak-hak setara pada kaum buruh dan akhirny adopsi CEDAW pada tahun 1985. Semua yang terjadi lebih didominasi oleh keijakan state dan peran para feminist sangat vital. Pada era transisis, gagasan tentang pentingnya kesetaraan perempuan telah bergeser dari state ke civil. Dr. Koiko memberikan beberapa contoh bagaimana sebuah perubahan besar di Tunisia diforongkan oleh masyarakat biasa dengan menggunakan media sosial. Berikut tuturannya.
Lina Ben Mhenni , lahir pada tahun 1983 adalah seorang bloger perempuan yang tidak menggunakan nama samaran dalam blog dia. Tulisan-tulisannya dimonitor oleh pemerintah Tunisa saat itu, ketika Ben ali sebagai presiden. Dia mempublikasikan kejadian kekerasan oleh pemerintah Tunisia pada saat revolusi tanpa sensor dan berhasil mengkonsolidasi suara-suara protes di Tunisia.
Faiza Skandrani, seorang feminis yang mengkampanyekan tentang perwakilan perempuan dalam politik, yang berhasil membukakan pintu bagi perempuan untuk duduk dalam politik dan pemerintahan.
Khaoula Rachidi, seorang perempuan muda yang berhasil menyelamatkan bendara tunisia ketika sekelompok muslim garis keras ingin menggantinya dengan lambang mereka ketika demonstrasi terjadi pada tanggal 7 Maret. Video amatir yang menangkap kejadian ini kemudian mengunggahnya dalam berita dan tersebar luas.
Keberanian protes juga dilakukan oleh Amina Saboui seorang aktifis muda yang pertama kali muncul dalam sejarah Tunisia, berfoto telanjang dengan tulisan "My body is mine and not the source of anybody's honour" dalam bahasa arab. Untuk memprotes pemerintah dan budaya yang merugikan perempuan.
Contoh-contoh diatas sekelumit dari dimanika feminisme di Tunisia yang tidak lagi menjadi ranah negara untuk memberikan interpretasi tetapi juga masyarakat sipil memiliki ruang tasfisr sendiri terhadap apa itu feminisme. Meski demikian tantangan extrimisme masih kuat di depan mata. Promosi Jihad Al-Nikah tidak sedikit telah mengubah banyak permepuan di Tunisia dan bergabung dengan ISIS.
Tantangan lain yaitu memperluas spektrum persoalan perempuan muslim, sehingga tidak terjebak dalam agama tertentu. Karena pada dasarnya agama bukan satu-satunya faktor atau akar masalah dari ketidakadilan. Termasuk mengeksplorasi bagian dari praktik sufisme dalam islam akan memberikan cara berbeda dalam melihat islam.
Side Event: Faith Movement for Gender Justice
Meskipun telah menunjukkan pukul 6 sore. Antusiasme peserta untuk melihat bagaimana gerakan inter faith perempuan terjadi di belahan dunia, menjadi forum ini penutup menu hari ini yang sangat kaya. Side by Side, sebuah organisasi yang menginisiasi gerakan perempuan inter faith global. Movement ini ditujukan untuk mengangkat lebih keras lagi suara-suara perempuan interfaith yang masih samar-samar. Di inspirasi dari oleh gereja, side by side melakukan konsolidasi di berbagai negara seperti Africa timur, Brasil, Afrika Selatan dan amerika latin. Workshop ini ingin menyampaikan pembelajaran terbaik dari model gerakan perempuan inter faith dari negara Burundi, Srilanka, Barbados, dan Sierra Leon. Saya menyarikan tuturan mereka.
Claudette Kigeme, meninggalkan posisi nyaman dia sebagai pegawai negeri di Burundi, untuk memenuhi panggilan gereja. Banyak mendapatkan reaksi kritik dari orang-orang sekitarnya. Keputusan besarnya mendireksi hidupnya untuk lebih banyak bergaul dengan para perempuan yang dimarginalkan. Banyak perempuan tidak diperhatikan, mereka tidak bisa membaca dan menulis, menjadi korban kekerasan berbasis gender, ditinggalkan oleh suami di rumah sakit karena melahirkan perempuan. Banyak juga para perempuan berumur 32 tahun telah menjadi nenek. Taboo bicara gender, masih kuat di komunitasnya. Claudette sangat yakin bahwa perempuan memiliki kekuatan dan telah membawa dampak sukses dalam kehidupan keluarga, maka penting untuk mentransfernya ke wilayah publik. Melalui pendekatan Kristiani, kini dia bisa bicara tentang gol pembangunan dan memastikan tidak akan ada perempuan yang tertinggal.
Chapa Perere, perwakilan pemuda dari Srilangka yang sedang me-leading sebuah jaringan pemuda interfaith. Baginya identitas tidak tunggal. Sebagai warga Srilanka, perempuan muda dan penganut Budha, menekankan pentingnya memahami agama secara lebih terbuka. Konflik antara dua etnik yang berasosiasi dengan agama, Tamil dan Singgala, sangat berdampak pada cara Chappa menentukan identitasnya. Termasuk memahami tentang budisme sebagai way of life bukan doktrin. Ini yang membawanya untuk melakukan sejumlah intervensi untuk dialog antar agama diantara kalangan anak-anak muda untuk memupuk cara pandang yang inklusif terhadap agama.
Berbeda dengan Jannette atau Jenifer Johnson yang menggunakan radio untuk menyerukan suara-suara perempuan akar rumput. Di radio inilah perempuan bisa berbagi pengalaman terkait keluarga, pengasuhan anak dan juga kekerasan yang dia alami. Data-data yang didapatkan dari siaran radio ini digunakan untuk melakukan advokasi lebih luas.
Ann Kargbo dari Sirreleon menggunakan situasi krisis Ebola sebagai media untuk mempromosikan tafsir agama yang baru dan juga menggerakkan para tokoh agama untuk bisa bersinergi lebih kuat. Misalnya di dalam tradisi gereja, berjabat tangan itu bagian dari budaya, tetapi pada saat krisis terjadi orang takut berjabat tangan. dibutuhkan sebuah pendekatan yang transformatif untuk bisa membimbing orang-orang kembali pada ajaran kristen, tidak perlu dengan kekerasan. Ada banyak orang-orang yang menentang tetapi harus tetap dilakukan. Gereja harus berperan kuat dalam mempromosikan prinsip-prinsip yang baik, tetapi tidak diorientasikan untuk mengontrol.
Tantangan besar dalam menggerakkan keimanan adalah bahwa meletakkan agama sebagai jangkar kita yang setiap saat kita bisa berpegangan. Bagaimana menumbuhkan tradisi berpikir kritis dengan tidak melupakan agama. Tingginya angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak perempuan seharusnya juga mendorong gereja untuk menjawab persoalan-persoalan struktural terkait dengan kekerasan seksual. Intinya karena agama bermata dua, maka tentu selain dia adalah penyebab masalah, agama harus digerakkan untuk menjawab masalah.
No comments:
Post a Comment