Wednesday, March 23, 2016

CSW 60: Is Legal Framework on Women's Empowerment Working Effectively?



Negosiasi hari kedua telah berjalan dengan cukup alot. Ada perkembangan positif dari ruang tertutup ini dimana hanya perwakilan khusus Delri yang bisa hadir dalam forum tersebut. Pertama, KOMNAS PErempuan dimana Yuni Chudaifah dan Indraswari menjadi bagian dari Delri bisa menjadi obsever dalam ruang closed negotiation. Meski belum dengan restu penuh. Sangat berbeda dengan tahun lalu dimana Delri yang non pemerintah, termasuk KOMNAS Perempuan tidak diperkenankan masuk oleh perwakilan diplomat dan PTRI di NEw York, meskipun dinyatakan syah boleh panitia. Kedua, beberapa pembahasan tentang agreed conclusion mengalami pergerakan yang positif meskipun tentu saja masih jauh dari ideal yang diharpkan oleh gerakan perempuan. Beberapa hal yang ingin saya update ke kawan-kawan pembaca blog saya adalah tentang kemajuan perdebatan yang ada di dalam ruang closed negotiation, diantaranya adalah: 

Pertama, Kata “human rights”, yang pada sidang awal negosiasi mengalami pro dan kontra yang kuat dimana posisi Indonesia tidak kuat dan tegas secara subtansi mempertahankan bahasa human rights. Tetapi akhirnya pada negosiasi ke tiga, bahasa human rights relatif bisa diterima. Beberapa negara yang sangat vokal menyuarakannya adalah EU, Argentina, Australia,Philipine, Turkey,Swiserland, Brasil (RtD). Africa Group (RtD), Cuba,Guyana, Colombia-Salvador-mexico. Dan sebaliknya yang menentang dengan berbagai alasan teknis adalah Africa Group, India,Holy See (SRH), Rusia (focus CEDAW but no human rights), USA (no rights to development), Chile, Yemen. Semoga sampai akhir negosiasi yang rencana akan dilaksanakan pada tanggal 23 Maret 2016 pukul 10 pagi, bahasa human rigths masih bisa bertahan. 
Kedua, penjelasan dalam kurung tentang harmful practices seperti FGM, child marriage, forced marriage dalam paragraph 13 akhirnya bisa diselamatkan. Setelah diberikan penjelasan pentingnya mencantumkan listing ini sebagai cantolan advokasi negara dan juga masyarakat sipil, sepertinya perwakilan Indonesia bisa menerima. Ini karena negara dan CSO memiliki cantolan untuk advokasi, dan juga karena Perpu terkait dengan pernikahan anak juga segera akan disahkan.
PP13. The Commission strongly condemns all forms of violence against women and girls. It expresses deep concern that discrimination and violence against women and girls continue in all parts of the world and that all forms of violence against women and girls, including [trafficking, femicide, violent extremism] and harmful practices [such as child, early and forced marriage and female genital mutilation], are impediments to the development of their full potential as equal partners with men and boys in all aspects of life, as well as obstacles to the achievement of the Sustainable Development Goals.
Ketiga, meskipun tidak fokal dalam menekan negosiasi, tetapi posisi Indonesia sudah bergeser dari tahun lalu. Beberapa usulan baik inisiatif sendiri maupun dari masukan NHRI dan masyarakat sipil, bisa diterima oleh forum. Misalnya kata indegenous dan migrant dalam paragraph substansi.Indonesia juga mengusulkan keberadaan NHRI sebagai mekanisme HAM nasional yang penting ada dan memiliki mekanisme sendiri yang beerbeda dengan pemerintah maupun CSO. Berikut paragraphnya;
OP9. The Commission further enhances, in accordance with General Assembly resolution A/RES/70/163, the participation of national human rights institutions fully compliant with the Paris Principles, to allow for their contribution to the work of the Commission and encourages the Secretariat to consider how to enhance their participation, within its existing mandate, for consideration at the 61st Session of the Commission. 
Keempat, perdebatan lain yang juga cukup seru adalah pencantuman refugee pada bagian subsansi humanitarian dimana secara fakta isu ini sangat krusial bagi banyak negara seperti EU, Qatar, Jordan. Sayangnya pada paragraph ini Indonesia tidak berkomentas padahal persoalan refugee baik yang statusnya Internally Displace People (IDPs) atau immigrant merupakan concern bersama. Apalagi Indonesia yang tidak ditunjuk sebagai negeara penerima refugee tapi lebih sebagai negara transit, saat ini telah menerima sejumlah refugee dari Mnyamar, Afghanistan, Iran dan berbagai negara yang sedang dirundung konflik. Sayangnya pada negosiasi tanggal 22 Maret 2016, ada pergeseran penggunaan kata refugee menjadi humanitarian emergencies. Berikut paragraphnya dalam versi 3;
sub13. Ensure that the rights and specific needs of women and girls affected and displaced by humanitarian emergencies, natural disasters, and armed conflicts are addressed in national and international plans, strategies and responses, including disaster risk reduction policies; ensure the participation of women and girls at all levels of decision-making in emergency, recovery, reconstruction, conflict resolution and peace-building processes; provide education for all, especially girls, to contribute to a smooth transition from relief to development and address sexual and gender-based violence as an integral and prioritized part of every humanitarian response; and in this respect, encourages the World Humanitarian Summit to give due consideration to a gender perspective in its deliberations; (informal consultation on how to include migrant women ongoing)
Kelima, paragraf yang ada hubungannya dengan kesehatan juga sedang dibicarakan dalam negosiasi terpisah. Kurang tahu alasannya apa, tetapi tahun lalu isu  hak kesehatan reproduksi dan seksual menjadi perdebatan panjang karena banyak negara termasuk Indonesia menolak kata hak seksual karena membuka peluang buat LGBT. 
Keenam, pencantuman referensi seperti resolusi 1325 women, peace and security, juga sempat ditentang oleh beberapa negara seperti USA, Rusia, dan termasuk Indonesia. Tentu saja alasan macam-macam dari yang substansial maupun teknis. Tetapi akhirnya dalam negosiasi tahap ke tiga isu ini bisa diterima. Meskipun isu ini melekat pada humanitarian tetapi bahwa ada respon humanitarian itu karena ada masalah krisis yang bisa disebabkan dari konflik maupun dari disaster. 
Posisi negosiasi belum fix. Artinya pada negosiasi akhir bisa saja ada perubahan. Tetapi tentu saja perubahan itu tidak akan ekstrim. Terutama mungkin pada pasal-pasal krusial dan yang belum dibahas mendetil seperti isu kesehatan yang tentu saja masih mengandung kontroversial terutama ketika ini masuk pada kesehatan reproduksi dan seksual. Tendensi menghilangkan hak reproduksi dan seksual sangat besar. Termasuk, kecenderungan hanya mempertahankan kesehatan reproduksi saja. Isu aborsi juga tentu akan membuka kontroversial. Berharap Indonesia bisa lebih wise untuk melihat realitas di lapangan dan juga kebutuhan menekan angka kematian ibu (AKI) yang cukup melonjak tinggi saat ini yaitu 359 per 100.000. 
Snapshot Pemberdayaan Perempuan dan SDGs di CSW60
Secara general, agenda pemberdayaan perempuan dalam sustinable development (SDGs) memberikan harapan baru. Apalagi janji SDGs “No one left behind” benar-benar patut untuk dibuktikan menjadi sebuah kenyataan. Bahwa saat ini masih ada penolakan tentang kelompok-kelompok yang sering dimarginalkan seperti LGBT, ODHA, disabilitas, religious minority dan sebagainya, harus membuka mata pemerintah untuk mereposisi sikap masing-masing sesuai dengan mandat dalam SDGs. Termasuk pemerintah Indonesia yang telah bersepakat menerima SDGs pada September 2015. 
Gairah untuk mensukseskan SDGs dan pada saat bersamaan juga sangat khawatir dengan framework baru ini, bisa tercermin dalam side event yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh CSO. Beberapa yang saya ikuti  pada tanggal 21 dan 22 Maret 2016 bisa dilihat dalam summary dibawa ini: 
#  Pastoral Care of Women and Girls Working or Living on the Streets
Side event yang digagas oleh Holy See (Vatikan), Women at the Well, ini cukup menyita perhatian publik. Lebih dari 100 orang hadir untuk mendengarkan pespektif kelompok yang dianggap konservatif ini. Ada tiga nara sumber yang diundang dalam workshop ini yang berbicara dalam konteks berbeda, yang ringkasannya bisa dilihat dibawah ini: 
Lynda Deralove, pendiri Women@theWell bicara bekerja untuk pendampingan seks worker di UK dan menjalankan program konseling dengan 250 perempuan pekerja seks setiap tahunnya, dengan rank usia dari 20-40 tahun. Dalam sesi konseling yang dilakukan oleh Women@thewell terhadap perempuan korban yang didampinginya, menunjukkan bahwa perempuan pekerja seks terpaksa menjalankan pekerjaan ini karena terpaksa.Dengan pendekatan konseling sensitif korban, Lynda menemukan bahwa alasan perempuan terjuan dalam dunia prostitusi lebih karena tidak memiliki lingkungan yang supportif ketika mereka mendapatkan pengalaman kekerasan misalnya perkosaan, Incest, domestic violence, pelecehan,dan lain-lain. Ini menjadi bukti kuat buat WOmen@theWell untuk mengcounter wacana bahwa menjadi seks worker itu adalah pilihan. Hasil study lain juga mendukung argumentasi mereka bahwa 755 perempuan di prostitusi karena mereka terpapar dengan dunia prostitusi sejak kecil (Melrose, 2002), 45% diantaranya memiliki pengalaman kekerasan seksual sejak kecil. 
Prostitusi juga bukan masalah seks. Tetapi persoalan narkoba dimana 68% pekerja seks juga pengguna narkoba aktif, mengalami stres berat dan berbagai bentuk kekerasan. Peraturan negara harus jelas untuk tidak mengkriminalisasi pekerja seks karena mereka menjual seks. Sebagai kelompok gereja penting untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak yang masuk dalam dunia prostitusi. Lynda mengkritik tentang kebijakan saat ini yang lebih condong untuk memberikan pelayanan kesehatan bukan fokus pada penyelamatan perempuan dan anak dari prostitusi. 
Rachel Moran of Dublin Ireland, of SPACE International, sebuah organissi international yang memberikan dukungan pada survivor prostitusi dan mendorongkan kampanye tentang rekognisi bahwa prostitusi adalah eksploitas seksual yang brutal. Rachel terlibat dalam dunia prositusi sejak umur 15 tahun dan berhenti pada usia 22 tahun dan kemudian mengambil studi jurnalisme sebelum memutuskan mendedikasikan dirinya untuk memolong perempuan dan anak perempuan yang hidup di jalanan. Dalam presentasinya, Rachel menegaskan kembali bahwa prostitusi bukan seks dan bukan choice. ini merupakan sindikat perdagangan orang. Kriminalisasi pekerja seks sangat tidak tepat. Rachel justru menawarkan model Swedia yang dinamakan denotic model, dimana pelanggan seks komersial dikriminalisasi bukan pekerja seksnya. 
Kathryn Hodges, Head of the Department of Social Care at Anglia Ruskin University and Chair of the Board of Trustees of Women@theWell. Dalam presentasinya Kathryn banyak mengkritisi kebijakan pemerintah yang lebih condong pada kebutuhan. Karena identitikasi need yang salah, berdampak pada kebijakan yang cenderung mengkriminalisasi prostitusi. Padahal hasil investigasi lembaganya, menunjukkan bahwa pekerja seks membutuhkan “safe space” atau ruang yang aman buat mereka untuk mengatakan yang sebenarnya pengalamannya tanpa ada unsur penghakiman. Berbagai program diciptakan untuk memperkuat posisi pekerja seks diantaranya adalah training tentang kepedulian sosial, perdagangan orang, dan berbagai informasi tentang kesempatan. Katryn juga menggarisbawahi bahwa kriminalisasi pada pembeli jasa bukan pada penjualnya karena supply diggerakkan oleh demand. 
Yang sangat perlu ditekankan disini adalah prostitusi tidak disebabkan oleh kemiskinan secara langung. Tetapi kemiskinan bisa membawa perempuan pada prostitusi. Racheal sangat menyakini bahwa penyebab adanya industri seks atau praktek prostitusi adalah karena adanya demand dari laki-laki. Maka tentu saja Swedish Model sangatlah cocok untuk diterapkan karena lebih secara cepat menyelamatkan banyak perempuan dan anak. Kita bisa bayankan jika orang-orang yang sengaja membeli seks atau mengorganisir bisnis seks dikriminalkan negara BUKAN Pekerja Seks. 
# Countering the influence of religious fundamentalism and extremism on women's human rights, including SRHR
Side Event ini digagas oleh beberapa organisasi regional perempuan yang concern dalam isu fundamenalism, seperti Association for Women's Rights in Development (AWID) as part of the OURs initiative. Workshop yang dihadiri oleh 50 orang lebih ini membahas tentang pengaruh extremisme dan fundamentalisme dalam pemenuhan hak-hak perempuan khusunya SRHR. Empat nara sumber dihadirkan dalam diskusi ini untuk memberikan pemantik pada peserta terkait dengan mengerasnya isu fundamentalisme di berbagai region. Rena from AWID membeberkan penelitian tentang fundamentalisme melihat akar masalah fundamentalisme dan juga taktik yang dipakai oleh kelompok ini untuk mendegradasi isu hak-hak perempuan. Diantaranya adalah isu oralitas, keluarga tradisional, peran gender, memainkan ketakutan dan harapan orang, mengadopsi bahasa HAM tetapi memberikan tasfir yang berbeda. Study yang dilakukan oleh ARROW tentang dampak fundamentalisme pada KESPRO sangat jelas di 4 negara yaitu Mesir, Moroko, Philipine dan Indonesia. Misalnya di Philipine, meskipun UU tentang kesehatan reproduksi disyahkan, tetapi suara geraja katolik ortodok sangat kuat. Mereka dari dulu menyebarkan tentang anti aborsi, anti kontrasepsi dan sebagainya. Dampaknya kita bisa melihat bahwa AKI di Phillipines sangat tinggi yatu 220/100.000 kelahiran. Di Maroko, Aborsi legal sesuai dengan kondisi ibu, tetapi penolakan keras dari kelompok fundamentalis membuat perempuan takut mengakses service aborsi tetapi mreka justru melakukan unsafe abortion. Penting untuk mengingatkan bahwa persoalan fundamentalisme tidak harus dianalisis dari satu kaca mata agama, menjelajah tentang sebab-sebab dari fundaemntalisme akan membeirkan perspektif baru tentang maslaah ini. Misalnya penting menggunakan kembali kapitalisme, atau melihat struktur ekonomi yang tidak adil. 
# Moving form Istambul Convention to Implementation 
Istanbul Konvenstion adalah sebuah dokumen penting yang dilahirkan oleh Dewan Eropa tentang penghapusan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Konvensi ini disahkan pada 11 Mei 2011, di Istanbul yang bertujuan untuk mengakhiri impunity bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Sekitar 60 negara di Eropa menandatangani konvensi ini. Dalam konvensi Istanbul, ada prosedur alterntif yang mendengarkan testimoni dari istir dan anak pelaku. Ini memberikan ruang bagi korban untuk memberikan suaranya. Ada empat pilar penting dalam konvensi yaitu pencegahan, perlindungan, dukungan pada korban dan pengadilan pelaku dan kebijakan terintegrasi. Konvensi juga menciptakan kewajiban untuk melakukan studi terkait dengan VAW sebagai baseline data.
Workshop ini berutujuan untuk melihat apakah Istanbul Convention telah diimplementasikan dengan maksimal. Patricia dari Patricia dari Latin America melaporkan bahwa Konvensi hanya dipakai sebatas normatif saja, kenyataannya bahwa pernikahan anak dibawah 15 tahun banyak terjadi. Bahkan hakim seirng membuat pelanggaran dengan menikahkan anak dibawah 18 tahun. Prakek serupa juga banyak terjadi di Moroko, dimana UU pernikahan Moroko mengesahkan usia pernikahan itu 18 thaun untuk anak perempuan dan 20 tahun untuk anak laki-laki, tapi kenyataannya adalah pernikahan umur 12 tahun banyak terjadi dan disahkan oleh hakim. Faouziah dan Patricia merasa penting untuk membuka Istanbul convention untuk publik yang lebih luas. Sehigga akuntabilitas lebih menguat. 
Jerome mewakili MenCare program berbagi trik untuk memperkuat partisipasi laki-laki dalam upaya menghentikan kekerasan. Menurut Jerome, seperti perempuan, laki-laki juga membutuhkan “safe space” untuk bisa melakukan berbagi cerita “mengapa laki-laki menjadi pelaku kekerasan”. Jika ada tempat yang aman untuk diskusi, maka laki-laki akan sharing jujur dan ini menjadi kekuatan untuk bisa mentransformasi cara berpikir mereka. Jeorme juga sangat sadar bahwa gerakan ini akan mengambil space feminist. Olehkarennya mereka bekerjasama dengan organisasi perempuan untuk memastikan bahwa tidak ada kompetisi. 
Tantangan terbesar dari implementasi Istanbul convention adalah budaya lokal yang masih mendiskriminasi perempuan, Budaya juga terefleksi dalam tafsir agama yang konservatif, access to justice bagi korban terutama bagaimana membuat konvensi ini benar-benar bisa diterapkan. 
# Global Trend on VAW: how Legal Framework works?
Workshop ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana trend global terkait dengan VAW dan juga bagaimana Legal Framework dipakai untuk memjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Ada 4 pilar yang dilihat yaitu Kekuatan politik perempuan, kekuatan ekonomi perempuan, otonomi perempuan dan studi kasus perempuan refugee. 
Menurut pembicara, Sapna Pandya/ Ktie Marguart, data representasi perempuan dalam politik adalah 22%. Menurut studi, kesadaran terhadap hak-hak perempuan belum tentu berbanding lurus dengan kenyataan peningkatan perwakilan perempuan. Di Amrika dan UK, tingkat kesadaran terhadap HAM Perempuan tinggi, tapi perwakilan perempuan sangat rendah, sementara negara yang memiliki tingkat persepsi rendah terhadap HAM Perempuan seperti China dan India, justru lebih tinggi tingkat partisipasi permepuannya. Apakah sistem quota benar-benar bisa bekerja? Studi kasus di Rwanda menyatakan bahwa negara yang pernah dirundung konflik panjang ini berhasil meningkatkan partisipasi perempuan di parlemen sampai 65%. Mereka menggunakan sistem pemilu yang fair dimana reserve seat dan zig-zag dimana nama kandidate permepuan dan laki-laki dilist bergantian. Selain itu negara ini juga memiliki hukum terkait dengan ownership perempuan pada tanah dan properti. 
Dari sisi kekuatan ekonomi, banyak dari kita hanya memfokuskan pada income perempuan, padahal ada cara lain untuk melihat betapa penting kekuatan ekonomi perempuan yaitu pada pengelolaan tanah dan properti keluarga, dimana banyak perempuan tidak memiliki otonomi dalam pengelolaan. Misalnya karena permepuan tidak punya identitas sehingga sulit untuk bisa berdeal dengan hal-hal yang bersifat formal. Akses pada bank juga menjadi masalah bagi perempuan yang berdampak serius pada kehidupan mereka. Misalnya di Nepal, paska gempa banyak laki-laki yang mencari kerja di luar negeri dan mereka kesulitan mengirimkan uang belanja buat istrinya karena istri tidak memiliki akses ke bank. Tanzania membuat satu model terobosan menarik untuk memberikan edukasi pada publik khusunya permepuan tentang hak-hak atas tanah dengan menggunakan android. Ini akhirnya membawa reform bagi penduduk di sana.
Jika dilihat dari kekuatan otonomi perempuan, Greta B Willlians/ Ashley Boielle, memaparkan bahwa banyak perempuan belum secara independen bisa memutuskan yang terbaik buat dirinya sendiri. Ini dibuktikan bahwa masih tingginya kasus perkosaan dimana 100 juta anak perempuan mengalami perkosaan dan serangan seksual dalam hidupnya., sementara saat ini ada 125 negara memiliki hukum terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga, dan 52 negara fokus ke hukum perkosan dalam rumah. Liberia merupakan negara yang sangat kuat menjerat pemerkosa dengan hukuman 20 tahun penjara. Ini semua karena perjuangan perempuan yang tanpa henti. Artinya bahwa perjuangan tenang perlindungan perempuan dari kekrasan terhadap permepuan atau KDRT benar-benar bisa diwujudkan. 
Terkait dengan refugee, Alison Watson memberikan gambaran bahwa 60 juta orang didunia dlam status refugee, khususnya kondisi peremepuan refugee yang semakin terpuruk dengan adanya hukum yang diskriminatif misalnya terkait dengan hak citizenship, dimana ibu tidak bisa secara langsung mewariskan kewarganegaraan kepada anak, banyak perempuan juga tidak memiliki ID yang membuat situasi semakin memburuk. Misalnya Pengungsian Jordan dimana pengungsi permepuan sangat rentan terhadap pelecehan seksual dan perkosaan yang dilakukan oleh polisi atau militer. Kerentanan perempuan regufee menjadikan isu ini penting untuk ditackle dalam pelaksanan SDGs. Beberapa usulan penguatan leadership refugee adalah memberikan rasa aman secara fisik, mendekatkan akses dokumen legal agar perempuan pengungsi dalam posisi bisa bertahan, memberikan pondasi kepemimpinan yang kuat dimulai dengan pendidikan dan pelibatan dalam aktifitas dalam camp. ***

No comments:

Post a Comment