Beberapa bulan lalu, ketika saya membantu kawan-kawan dari GKI Yasmin untuk menggalang massa untuk mendukung pembebasan gereja mereka, dalam kunjungan ke Mahkamah Agung mengantarkan Ibu Tajul Muluk, saya sempatkan untuk mencari dukungan di kalangan perempuan Shiah untuk memberikan dukungan pada GKI Yasmin. " Saya belum bisa mbak," akhirnya seorang ibu dari kelompok shiah memberikan kembali kartu pos ke saya dengan ekspresi jujur. Saya menghargai ini dan mengatakan bahwa sebuah dukungan itu harus dilakukan tanpa paksaan dan sesama kelompok minoritas memang seharusnya saling mendukung.
Tentu saja peristiwa mungkin juga terjadi pada banyak orang yang enggan memberikan dukungan pada kelompok minoritas meskipun dia sendiri juga minoritas. Keengganan ini juga bisa dilihat pada saat aksi protes, dimana tidak semua kelompok minoritas berani tampil di publik. Apalagi untuk memberikan dukungan terbuka atas nama lembaga, pastinya akan lebih sulit lagi.
Tulisan ini saya persembahkan bagi para perempuan kelompok minoritas yang membaca blok saya. Dalam lingkungan yang tingkat represinya tinggi, tidak ada pilihan lain bagi kelompok minoritas selain bersatu. Bersatu tentu saja tidak mudah. Dibutuhkan cara pandang terbuka dan pengakuan jujur bahwa "mereka juga punya kebenaran". Ini tentu saja tidak mudah. Namun, saya ingin tawarkan strategi termudah bagaimana caranya agar perbedaan keyakinan ini bisa diletakkan dalam kerangka berpikir yang berbeda.