Saturday, January 19, 2013

Perempuan Minoritas, Saatnya Bersatu

Beberapa bulan lalu, ketika saya membantu kawan-kawan dari GKI Yasmin untuk menggalang massa untuk mendukung pembebasan gereja mereka, dalam kunjungan ke Mahkamah Agung mengantarkan Ibu Tajul Muluk, saya sempatkan untuk mencari dukungan di kalangan perempuan Shiah untuk memberikan dukungan pada GKI Yasmin. " Saya belum bisa mbak," akhirnya seorang ibu dari kelompok shiah memberikan kembali kartu pos ke saya dengan ekspresi jujur. Saya menghargai ini dan mengatakan bahwa sebuah dukungan itu harus dilakukan tanpa paksaan dan sesama kelompok minoritas memang seharusnya saling mendukung. 

Tentu saja peristiwa mungkin juga terjadi pada banyak orang yang enggan memberikan dukungan pada kelompok minoritas meskipun dia sendiri juga minoritas. Keengganan ini juga bisa dilihat pada saat aksi protes, dimana tidak semua kelompok minoritas berani tampil di publik. Apalagi untuk memberikan dukungan terbuka atas nama lembaga, pastinya akan lebih sulit lagi. 

Tulisan ini saya persembahkan bagi para perempuan kelompok minoritas yang membaca blok saya. Dalam lingkungan yang tingkat represinya tinggi, tidak ada pilihan lain bagi kelompok minoritas selain bersatu. Bersatu tentu saja tidak mudah. Dibutuhkan cara pandang terbuka dan pengakuan jujur bahwa "mereka juga punya kebenaran". Ini tentu saja tidak mudah. Namun, saya ingin tawarkan strategi termudah bagaimana caranya agar perbedaan keyakinan ini bisa diletakkan dalam kerangka berpikir yang berbeda. 

Pertama, reframing tentang isu. Jika kawan-kawan perempuan minoritas sulit untuk menentukan tempat berpijak karena sulit untuk mengalihkan pandangan untuk mengakui kebenaran orang lain. Maka, jangan menggunakan isu "acceptance of others" tetapi harus mencari isu bersama yang lebih bisa mendorong pada penyatuan. Misalnya perlindungan semua warga Indonesia. Artinya, dukungan kawan-kawan minoritas pada minoritas lainnya dilandasi dengan keyakinan bahwa sebagai warga negara setiap orang hidup di Indonesia, dengan latar belakang apapun, wajib untuk dilindungi. Nah, hak ini yang harus diperjuangkan. Karena, memang tidak ada gunanya bertengkar pada persoalan kebenaran keyakinan, karena itu bersifat tidak absolut. 

Kedua, Silaturahmi. Intinya mempererat komunikasi dan interaksi sesama kelompok minoritas. Di dalam Islam, konsep silaturahmi ini dipercaya bisa memperpanjang umur dan rizki. Silaturahmi sangat bermanfaat bagi kelompok minoritas lainnya untuk memperdalam pengetahuan tentang kelompok lain dan juga menjaga intensitas dialog dengan kelompok minoritas lainnya. Mengapa ini penting? Mungkin saja dukungan kepada kawan-kawan yang sedang dilanda masalah ini berkurang, karena di antara kelompok minoritas sendiri tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kelompok lain.  Ini bisa dibuktikan, berapa sering ibu-ibu dari Ahmadiyah berbicara dengan ibu-ibu dari GKI Yasmin, atau dari kelompok Shiah atau sunda wiwitan. Mereka memang sering dipertemukan dalam sebuah forum, tetapi saya rasa tidak untuk konteks dialog untuk memahami posisi masing-masing. Tapi lebih mengarah pada menyampaikan situasi ke pihak-pihak yang dianggap punya otoritas untuk memberikan penyelesaian. Saya tidak bilang ini buruk. Tapi bahwa intensitas dialog dengan para perempuan minoritas sendiri menjadi urgen, untuk menumbuhkan rasa persatuan sebagai sesama minoritas.
 Ketiga, membagi best practice dan not best practice. Pertemuan yang dimaksudkan di dalam point sebelumnya tentu saja tidak dalam rangka "pamer" tentang kebesaran masing-masing lembaga. Tetapi lebih diarahkan untuk memberikan ruang bagi setiap perempuan minoritas untuk berbagi cerita sukses maupun gagal dari pengalaman selama ini menghadapi sistem yang represif dan masyarakat yang egois. Sharing cerita sukses dan tidak sukses ini penting agar perempuan lain dari kelompok minoritas bisa mempelajari strategi, pendekatan dan cara-cara lain yang dianggap bisa bermanfaat menghadapi situasi yang sulit pada saat penyerangan, terdiskriminasikan, dan bernegosiasi untuk menaklukkan hukum yang bias. Pengalaman yang tidak sukses juga perlu dibagi, karena bagian pembelajaran kita semua. Ini biasanya yang sulit, karena dianggap tidak bermanfaat dan malu karena tidak berhasil.

Keuntungan yang bisa didapat dari bersatu ini adalah tentu saja dukungan di dalam internal minoritas sendiri semakin kuat karena memang persoalan satu kelompok menjadi persoalan kelompok yang lainnya. Kedua, bersatu juga menyulitkan kelompok mayoritas yang senang menggunakan cara-cara kekerasan, yang menurut saya jumlahnya sedikit,untuk memecah belah suara dan dukungan kelompok minoritas. Dengan terjalinnya komunikasi, kekuatan orang menjadi penting untuk melakukan tekanan balik ke pemerintah agar memperhatikan perlindungan hak-hak minoritas di negeri ini. Kalau publik tahu bahwa ada banyak korban diskriminasi dan kekerasan karena berbeda keyakinan dan dampaknya pada kehidupan mereka, maka kemungkinan empati dan simpati dari pihak mayoritas akan sedikit demi sedikit terbangun. Siapa yang tega melihat saudara sebangsa dan setanah air ini dianiaya.

Coba kita bayangkan jika perempuan minoritas bersama-sama menghadapi sistem dan budaya yang tidak ramah pada perbedaan, tentu akan berbeda. Saat ini, pengalaman saya melakukan advokasi bersama The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, mengatakan bahwa kelompok CSO sangat sibuk melakukan advokasi, sementara para kelompok minoritas sendiri tidak digerakkan. Mereka harus bergerak seirama dengan kita. Jadi, jangan menunggu banyak korban lagi. Kita harus bergerak seirama dan menuju goal bersama. Berani coba? ***


No comments:

Post a Comment