Thursday, January 10, 2013

Transformasi Konflik itu Niscaya oleh Perempuan

Tidak kusangka pertemuanku dengan John Paul Lederach, penggagas teori transformasi konflik pada tahun 2006 di Bangkok dalam salah satu forum yang digelar the Asian Muslim Action Network (AMAN), memberikan dorongan kuat padaku untuk menurunkan konsep itu ke dalam aksi, sehingga aku punya imaginasi tentang apa itu transformasi konflik. Dalam bukunya yang berjudul “Conflict Transformation”, Lederach memberikan definisi transformasi konflik sebagai berikut: 
Conflict transformation is to envision and respond to the ebb and flow of social conflict as life-giving opportunities for creating constructive change processes that reduce violence, increase justice 
in direct interaction and social structures, and respond to real-life problems in human relationships. 
Untuk memudahkan kita mencerna apa maksud dari definisi yang diberikan Lederach, saya rasa kita bisa menggunakan analog bahwa transformasi konflik itu sama seperti perjalanan hidup menjadi manusia yang menggunakan 3H 1L (Head, Heart, Hand and Legs) untuk mencapai tujuan. 

Head. Adalah cara berpikir kita tentang bagaimana memandang konflik. Cara pandang ini sangat berpengaruh pada cara kita memperlakukan konflik. Konflik bukanlah statis. Mereka ibarat bagian dari bumi dimana ada gunung-gunung, lembah, sungai dan pepohonan menjadi elemen keindahan bumi itu sendiri. Di dalam konflik, tentu kita menemukan masa harmonis, masa berselisih, masa bersitegang, masa saling bunuh, cooling down dan bahkan sampai pada gencatan senjata. Memahami konflik sebagai bagian dari dinamika kehidupan manusia memaksa kita untuk berpikir cara-cara inovatif yang bisa menggiring masyarakat pada proses transformasi konflik. Ini yang mungkin oleh Lederach disebut sebagai transformational perspective, sebuah cara pandang yang berorientasi mengubah. Dalam menjalankan ini dibutuhkan sebuah kapasitas cara berpikir yang memandang konflik adalah fenomena alam dan berani menggunakan kapasitas tersebut dalam kerja-kerja pembangunan perdamaian.


Dalam kerja-kerja membangun perdamaian, The Asian Muslim Action Network (AMAN) di Indonesia menjadikan pendidikan perdamaian sebagai tonggak utama untuk memulai proses transformasi. Ada tiga hal yang ingin disasar dalam proses pendidikan perdamaian yang kemudian dikenal dengan sebutan Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) yaitu koqnisi, afeksi dan psikomotorik. Sebuah prasyarat yang tidak gampang karena kemudian harus diciptakan mekanisme bagaimana peserta didik bukan saja mengerti subyek yang dibahas, tetapi bisa mempengaruhi cara pandang dan punya sikap dan kemudian melakukan aksi nyata dengan menggunakan kapasitas yang sudah dipunyai. 

Sebut saja Ibu Yurlianti, seorang perempuan Poso yang tinggal di Malei Lage kabupaten Poso Sulawesi Tengah, 2 jam dari kota Tentena, saat ini sangat aktif menggerakkan ibu-ibu dari kelompok Kristen dan Muslim untuk memanfaatkan lidi dan ikan yang berlimpah untuk dibuat piring dan abon. Gagasan ini muncul setelah tiga tahun mendalami kajian tentang konflik dan perdamaian dalam kelas reguler seminggu sekali. Dia menemukan bahwa kunci utama transformasi konflik di Desa Male Lage adalah relasi di masyarakat. Konflik kekerasan yang terjadi pada akhir 1999 sampai 2004, membuat orang-orang tidak mau bicara terbuka dan lebih memilih “diam” dan hidup dalam komunikasi senyap. Interaksi nyaris hilang. Padahal prasyarat untuk membangun sebuah komunitas adalah keterlibatan semua orang tanpa memandang agama, suku dan golongan tertentu. Konflik kekerasan memang tidak ada lagi. Tapi residu masih ada. Yurlianti merasa bahwa konflik kekerasan bisa terjadi lagi, maka pondasi relasi kuat di masyarakat harus dibangun. Maka bertekadlah dia untuk meningkatkan kemampuan berbicara, berargumentasi, dan berorganisasi. Kini dia sangat yakin bahwa intensitas komunikasi dalam membuat piring lidi dan abon ikan akan sedikit demi sedikit menata bangunan pondasi hubungan yang baik antar warga. 

Heart. Merupakan pusat kehidupan dari tubuh kita. Kita menemukan emosi, intuisi dan kehidupan spiritual dalam hati kita. Dari hatilah kita menjalin hubungan dengan manusia lainnya dan juga alam. Dari hatilah kita merasa tersakiti dan kemudian memutus hubungan dengan orang lain. Hati adalah pusat kita merasakan  pergeseran rasa kita dalam merespon ajakan untuk berkonflik atau sebaliknya. Pondasi damai di masyarakat ditanam dengan hati yang memberikan kesempatan hidup bagi orang lain. Ketika pertama kali kami menggelar training di Hotel Wisata Poso taun 2008, kami merasakan hati para peserta “membeku” karena dendam, prasangka dan distrust yang kuat. “Kami sangat takut menyapa ibu-ibu dari Muslim, karena takut tidak disapa balik”, ucap ibu Rosa (nama samaran). Namun ketika mereka melihat bahwa AMAN Indonesia memiliki staf dari agama Islam dan Kristen dan menunjukkan kerjasama yang baik, dan dibantu dengan metode training yang mengharuskan mereka bergerak, berbagi perasaan, menyentuh tubuh kawannya, dan bekerja dalam kelompok, mampu mencairkan kebekuan hati mereka. Ya…orang-orang tercinta mereka memang sudah mati karena dibunuh. Tapi kehidupan harus berjalan. Semua orang kehilangan orang tercinta. Kehilangan harta benda. Konflik memang telah meluluhlantakan semua kehidupan di Poso, tetapi juga memberikan kesempatan hidup bagi yang masih bertahan. 

Hand. Tangan menyimbolkan kerja. Makna yang dikandung adalah bahwa perdamaian harus dibuat. Ini adalah perwujudan dari head dan heart dalam sebuah aksi nyata. Transformasi adalah sebuah proses sosial mengubah relasi. Ini adalah pekerjaan yang panjang karena sangat berhubungan dengan dinamika perasaan manusia. Di Loji Bogor, dimana ketegangan antar agama dan etnis tertentu bisa memicu pada perselisihan dan konflik, para ibu yang bergabung ke dalam perkumpulan Sekolah Perempuan Aktif Kreatif (SPAK) berhasil memperkenalkan sebuah mekanisme dialog kepada warga ketika sebuah perselisihan, fitna dan provokasi terjadi pada awal 2011. Berbekal pengetahuan resolusi konflik dimana data akurat sangat penting bagi penyelesaian masalah. Uni Dewi, Ibu Ade, Teh Upit dan ibu-ibu lainnya mengumpulkan fakta kebenaran dari sumber-sumber yang diduga menyebarkan informasi miring tentang adanya proses kristenisasi. Dibantu dengan para tokoh masyarakat, mereka berhasil mengumpulkan warga yang berselisih dan melakukan provokasi, dan dimediasi oleh ketua RW saat itu Bapak Oman. Model kegiatan berkunjung ke gereja dan tulisan terkait dengan kemerdekaan beribadah dari Salam Newsletter edisi  dimaknai oleh sebagian orang sebagai upaya Sekolah Perempuan melakukan kristenisasi. Kepercayaan diri pada ibu-ibu yang sudah diperkuat kapasitas berpikir mereka dan hati yang memberikan kesempatan pada orang yang untuk memperbaiki, inilah yang menjadi kunci bagaimana dendam diurai menjadi kasih dan sayang sehingga dalam setiap kegiatan-kegiatan selanjutnya tetap melibatkan semua pihak. Tanpa “tangan” (baca: bergerak) maka tidak mungkin sebuah transformasi terjadi di RW 3 kelurahan Loji-Bogor. Kunjungan tim dari Institute Pertanian Bogor (IPB) dan pemberian apresiasi yang tinggi pada karya pupuk organik SPAK bukan formalitas dan dibuat-buat. Tapi sebuah pengakuan jujur bahwa lewat karya, perempuan bisa. Pujian dan sanjungan ini didapat dari sebuah perjuangan panjang untuk mengubah rendah diri menjadi percaya diri. Mengekor menjadi memimpin. Mengangguk-angguk menjadi kritis bertanya. Dan benci menjadi cinta. 

Yang terakhir adalah legs and feet, atau kaki. Kaki bisa dimaknai disini sebagai pijakan atau tanah tempat berpijak. Sama seperti tangan kita, kaki akan membumikan gagasan dan keberpihakan kita untuk membangun perdamaian dalam sebuah bentuk nyata. Target penting dalam sebuah proses transformasi konflik adalah mengurangi kekerasan dan merengkuh keadilan bagi siapapun. Ini bisa dimulai ketika relasi dengan diri sendiri dan dengan orang lain terbangun dengan setara, terbuka dan bermartabat. Oleh karenanya transformasi konflik akan terjadi jika ada perubahan dalam diri kita, keluarga, masyarakat dan struktur di masyarakat. Bagaimana ini terjadi? Saya akan menjelaskan dengan sebuah pengalaman perempuan yang terlibat dalam program AMAN Indonesia di Jakarta.

Namanya Ibu Rohimah. Tinggal di Kelurahan Pondok Bambu Jakarta Timur. Beliau adalah seorang perempuan asli betawi yang dilahirkan tahun 1975. Dikaruniai seorang suami (Pak Sirto) dan dua orang anak perempuan (Wuri dan Fitri). Tahun 2007, ketika AMAN Indonesia memberikan bantuan sembako untuk korban banjir, Rohimah sama seperti perempuan kebanyakan daerah sana adalah seorang pendiam, gagap berbicara dan malu-malu. Dengan tekad besar, dia dan sekitar 10 ibu lainnya memberanikan diri untuk meminta AMAN Indonesia tidak pergi dan membuat program pemberdayaan perempuan. Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) dilaunching pada Agustus 2007 untuk mewadahi kegelisahan perempuan Pondok Bambu yang haus  pengetahuan. Dua jam dalam satu minggu para ibu belajar tentang nilai-nilai perdamaian dan ketrampilan untuk transformasi konflik. Rohima membagi hasil belajar di kelas kepada suami dan anak-anaknya. Sebuah perubahan terjadi secara pelan namun pasti. “Membangun tim” itu yang dianalogkan oleh Rohima dalam melihat keluarga dan masyarakat. Karena keluarga ibarat sebuah tim, maka setiap anggota harus saling membantu pekerjaan dalam rumah. Suami dan anak-anak juga harus mengambil tanggungjawab dari pekerjaan di rumah. Bukan saja ketersediaan waktu yang dimiliki Rohimah untuk bersosialisasi dan membangun masyarakat saat ini, tapi juga suami dan anak-anak menjadi lebih bangga karena dia tidak lagi menggunakan air mata sebagai senjata negosiasi kepentingan, tetapi menggunakan argumentasi untuk menyampaikan keinginan. 

Dampak perubahan diri Rohimah juga dirasakan di masyarakat. Dari seorang warga pasif, sekarang sudah dipercaya untuk memimpin sebuah organisasi bernama SP. Bahkan Pak Budi, Lurah Pondok Bambu memberikan kepercayaan pada Rohimah dan SP untuk menggerakkan masyarakat dalam membuat Bank Sampah. Tentu saja kesuksesan ini bukan hanya kerja Rohimah, tetapi juga ibu-ibu lainnya yang juga belajar dalam program dan mewujudkan keinginan damai dalam bentuk aksi nyata bagaimana membangun pondasi “berhubungan” di masyarakat. Meskipun baru 20 nasabah Bank Sampah, sejak empat bulan lalu, namun pergerakan penyadaran dan mobilisasi warga untuk mendukung berdirinya Bank Sampah sangat bisa dirasakan. Bagi Rohima, Bank Sampah bukan saja menjawab persoalan lingkungan di Pondok Bambu, tapi sekaligus menata pondasi kohesi sosial di masyarakat agar bisa mengelolah perbedaan. 

Tentu ini tidak mulus begitu saja. Dalam mempertahankan enam tahun organisasi, kebahagiaan dan kepahitan juga menyertai. Khususnya ketika saya berpikir pembangunan perdamaian adalah sebuah pergerakan. Maka ini adalah bentuk pergerakan yang tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Ketika satu persatu staf meninggalkan lembaga karena kepentingan pribadi maupun tuntutan masyarakat, harus diyakini bahwa perjuangan tidak putus. Mereka berkarya dalam bentuk berbeda. Tapi, sebagai seseorang yang melahirkan lembaga, pahitnya sama seperti seorang ibu yang melepas anaknya pergi merantau. Sakit, perih dan sepi rasanya. Bahkan saya kadang mengibaratkan sebagai seorang tukang dimana setiap satu bata saya tata, pada keesokan harinya berantakan kembali. Namun, bukankah ini sama seperti menata kembali relasi di masyarakat kita. Jadi, tidak ada alasan untuk berhenti ketika orang lain berhenti. Selama harapan masih ada di hati, maka perubahan akan niscaya.

Akhirnya, saya menyadari bahwa memahami konsep transformasi konflik hanya dari teks tidak akan pernah menemukan makna yang sesungguhnya. Tetapi memahami konsep dan mencobanya dalam kehidupan nyata, akan memberikan keyakinan bahwa transformasi konflik itu niscaya. ***

Artikel ini juga akan dipublikasikan di SALAM Newsletter milik Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia sebagai refleksi para staf yang bekerja dalam isu pembangunan perdamaian.

No comments:

Post a Comment