Pembakaran rumah pemimpin Syiah, Kyai Tajul Muluk, di dusun Nangkerenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang Madura pada 29 Desember 2011 lalu, menjadi penutup catatan buram kebebasan beragama di Indonesia. 353 orang korban kini mengungsi di GOR Sampang. Mereka menolak dipulangkan, sebelum pelaku pembakaran ditangkap oleh pihak yang berwajib. Polisi kehilangan taring. Para LSM satu per satu meninggalkan lapangan. Berharap mengurai kebuntuan di luar Sampang. Para pemimpin agama dari kubu mayoritas tetap meyakini bahwa tindakan penyerangan itu dipicu oleh merebaknya paham sesat. Pimpinan Suni, Kyai Rois (tersangka), belum memberikan tanda-tanda untuk membuka rekonsiliasi. Begitu pula Kyai Tajul (korban), semakin mengeras dengan tuntutan “adili pelaku”. Tidak ada yang mau mengalah. Ya… kita sedang disuguhi tontonan Kyai “makan” (re: bertikai dengan) Kyai.
Kepatuhan pada figur kyai dalam tradisi Madura melebihi kepatuhan terhadap pemimpin Negara. ini karena kyai dipandang sebagai tempat menimba ilmu agama yang akan menyelamatkan umat muslim. Agama diyakini bukan sekedar ritual tapi lebih dalam sebagai way of life orang muslim. Olehkarenanya belajar agama adalah belajar bagaimana hidup sebagai muslim. Dalam prakteknya, kyai bukan saja berperan sebagai pemberi ilmu, tapi juga dipercaya mempunyai kedekatan terhadap Tuhan (re: Allah). Sehingga doa seorang kyai diyakini sangat manjur. Tidak heran peran kyai akhirnya merambah pada wilayah sosial seperti mencarikan jodoh, memberikan nasehat pernikahan, melakukan adzan pada anak baru lahir, mendoakan orang mati, melerai pertikaian dan sebagainya. Peran-peran tesebut diberikan karena dipercaya bahwa kyai memiliki sifat-sifat tauladan untuk menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
Artinya bahwa tauladan kyai bukan saja pada tataran pemahaman agama, tapi juga praktek konkrit dalam prilaku sehari-hari yang mencerminkan nilai-nilai keharmonisan dengan Tuhan, manusia dan alam. Dengan kata lain, kyai diminta menjadi juru damai. Tentunya kedamaian akan dicapai jika bisa menjalankan ketiga harmoni tersebut. Ini artinya, secara tidak sengaja, masyarakat telah menegaskan bahwa kyai itu tauladan perdamaian. Bahkan lebih tajam lagi, kyai itu sebagai representasi budaya damai, karena perannya memberikan tauladan harmoni yang diturunkan ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Pembakaran rumah pemimpin (re: kyai) syiah di Sampang, yang berakhir pada “pengusiran” pengikut syiah dari kampung halamannya, dan menyisakan kepedihan, sakit hati, dendam, dan trauma yang mendalam pada perempuan, anak-anak. Secara budaya, kekerasan yang dipicu oleh perbedaan cara berdakwah ini, kemudian menggunakan kendaraan perbedaan keyakinan, sehingga memicu ketegangan di masyarakat. Hasil laporan temuan lapangan tim investigasi Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, menemukan bahwa fasilitas pelayanan gratis yang berikan oleh kyai Tajul, sangat membantu masyarakat. Tapi, di sisi lain menimbulkan kecemburuan pada kyai lainnya. Absennya mekanisme dialog di masyarakat, sering membuat prasangka dan kecemburuan mengkristal dan pecah menjadi kekerasan yang merusak semua tatanan masyarakat. Termasuk tatanan budaya damai kyai.
Kekerasan dengan dalih apapun, selalu merugikan banyak aspek kehidupan. Kasus Penyerangan perkampungan syiah, bukan saja telah menghancurkan harta benda dan fasilitas publik, tapi juga telah mengoyak tatanan budaya masyarakat Madura. Persaudaraan pecah karena berebut klaim kebenaran. Kepatuhan kepada orang tua runtuh, karena dipaksa harus berpihak pada “yang dianggap benar” atau “yang dianggap sesat”. Hilang sudah, taretan dhibi’ (saudara sendiri) yang menjadi simbol keakraban orang Madura, sekaligus simbol kesolidan orang Madura. Ikatan etnisitas sejak lahir, harus kalah dengan kepentingan nafsu untuk berkuasa dan klaim “paling benar”. Bahkan status ibu tidak cukup kuat dijadikan connector untuk menjahit kembali hubungan ibu dan anak. Kabur sudah nilai harmoni dengan Tuhan, sang pengasih tanpa batas. Sehingga, terkubur sudah harmoni dengan manusia sesama, sehingga merusak harmoni dengan alam.
Kini, di pengungsian GOR Sampang, para ibu sibuk mengusir nyamuk, jangkrik, semut dan segala binatang kecil yang mengganggu tidur anak-anak mereka. Bayi-bayi harus mandi air dingin dan minum susu dengan air dingin di pengungsian. Jatah air bersih juga berkurang. Penyakit kulit, flu, batuk mulai menghinggapi para pengungsi. Teror, intimidasi dari petugas keamanan, karena menganggap pengungsi syiah bandel dan keras kepala. Kebencian semakin massif dikalangan pendukung , lupa bahwa syiah di Sampang juga saudara. Rekonsiliasi seolah buntu, karena ada prasyarat berat harus “bertobat” (masuk suni). Apalagi pengampunan (forgiveness). Kalau sudah begini, masih adakah budaya damai ( kyai) di Sampang? ***
No comments:
Post a Comment