102.597 orang di Sampang buta huruf, menurut data yang disampaikan oleh Ketua Komisi D DPRD setempat, Amin Arif Tirtana. Data ini disampaikan pada tahun 2012. Tingginya angka buta huruf ini tentu mengandung konsekuensi-konsekuensi sepertinya rasa tidak percaya diri karena hanya memiliki keterbatasan pengetahuan dan skill. Biasanya orang yang buta huruf hanya mengandalkan transfer pengetahuan melalui praktek-praktek dari generasi sebelumnya. Buta huruf juga sangat rentan terhadap praktek penipuan karena yang bersangkutan tidak bisa membaca dokumen. Dalam konteks ketegangan sosial antara Shia dan Sunni di Sampang, dokumen-dokumen bukti tentang fakta-fakta Shia tentu kesulitan diakses oleh sebagian banyak orang karena kondisi buta huruf mereka. Untuk itu mereka sangat mengandalkan kabar yang mereka dengar dari tetangga, saudara, atau kyai, yang kesemuanya menyampaikan interpretasi personal. Bisa dibayangkan warga yang buta huruf, mereka tentu punya keterbatasan untuk mengcross check dengan dokumen-dokumen yang tersedia. keterbatasan-keterbatasan inilah yang membuat suasana relasi shia dan sunni semakin terpuruk.
Dalam laporan MDGs tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Bapennas, Indonesia memang dianggap berhasil untuk meningkatkan jumlah melek huruf usia 14-24 tahun sejumlah 99,47%, dimana tingkat melek huruf di kalangan perempuan mencapai 99,40% dan melek huruf pada laki-laki mencapai 99,55%. Tentu saja figur nasional ini tidak bisa dijadikan ukuran, sebelum kita melihat di tingkat kabupaten. Angka buta huruf yang disampaikan di atas adalah realitas konkrit buta huruf di tingkat yang lebih rendah.
Saat ini pemerintah nasional maupun propinsi sedang mempersiapkan penyelesaian kasus Sampang, dengan berupaya mengembalikan warga shia yang dipaksa relokasi di Rumah Susun Puspo Agro di Sidoarjo Jawa Timur. Semua orang tampaknya fokus pada persoalan bagaimana mengurai ketegangan dengan menggunakan pendekatan yang mengarah pada sumber masalah selama ini yaitu perbedaan keyakinan. Artinya tim rekonsiliasi memang ingin menyelesaikan persoalan konflik shia dan sunni di Sampang dengan melakukan penyadaran pada kedua belah pihak untuk tidak bisa menerima perbedaan. Tentu saja ini akan sangat memakan waktu karena kubu Sunni tentu saja tidak secara mudah menerima kondisi ini, meskipun opini publik mengarahkan pada penerimaan kembali warga shia ke Sampang.
Dalam tulisan ini saya ingin menawarkan cara lain untuk mengurai ketegangan di Sampang yaitu melalui peningkatan angka melek huruf pada warga Sampang. Tentu saja arahan saya adalah meningkatkan melek huruf diantara warga shia dan sunni. Ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi kita akan melihat dampak signifikan terkait dengan peningkatan rasa percaya diri sehingga mengurangi ketergantungan warga pada patron klien mereka. Melek huruf pada warga shia dan sunni akan membantu mempercepat pembangunan karena warga bisa berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan dimana semua akses dokumen terkait dengan kemajuan pembangunan bisa dibaca oleh semua warga. Kondisi melek huruf yang membaik di kalangan Sunni dan Shia juga dapat mencairkan ketegangan diantara merkea, karena keduanya dapat mengcross check setiap informasi yang negatif tentang salah satu kelompok, pada dokumen yang tersedia. Proses belajar melek huruf bisa dijadikan sebagai media rekonsiliasi warga yang buta huruf dengan memperkuat penanaman nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan dalam proses mengenal huruf-huruf. Misalnya huruf A mewakili kata Adil. Dalam konteks ini sang pengajar bisa menggali tentang pengalaman Adil di peserta didik. B itu Bebas, dan sebagainya. Dengan cara ini peserta didik bisa belajar tentang huruf, menghuungkan huruf dengan huruf, serta memperdalam refleksi pengalaman kehidupan mereka sehingga disinilah akan muncul sikap empati dan welas asih yang bisa digerakkan pada upaya rekonsiliasi. ***
No comments:
Post a Comment