22 Juli 2014. Bukan saja mengukuhkan Indonesia sebagai negara muslim demokratis di dunia, tetapi juga sebuah pengakuan atas kedewasaan berdemokrasi rakyat Indonesia. Saya sendiri tidak pernah merasakan besarnya energi partisipasi rakyat dalam Pemilu sebelumnya. Saya rasa bukan karena kedua kandidat presiden dan wakil presiden, tetapi juga momentum perubahan itu sendiri yang menggiring masyarakat berduyun-duyun terlibat dalam gerakan sukarelawan untuk mensukseskan Pemilu 2014. Sebuah pendidikan politik yang praktikel karena peserta didik langsung terlibat mengalami dalam proses politik nyata.
Baju kotak-kotak telah disimpan kembali. Garuda merah juga telah dikandangkan. Kita kembali pada identitas tunggal yaitu Indonesia Raya. Ini saatnya kita mengawal Pemerintah Baru dengan mengingatkan kembali agenda-agenda yang harus direspon cepat oleh Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Selamat Datang Mr. Presiden! 100 Hari anda memimpin adalah tolak ukur kinerja era Indonesia Hebat. Salah satu hal penting yang ingin saya sampaikan sebagai bagian dari agenda penting adalah Generasi Muda yang intoleran.
The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dengan dukungan Search For Common Ground (SFCG) melakukan survey di empat kota yaitu Bandung, Bekasi, Malang dan Sampang tentang tingkat
pengetahuan dan pemahaman pemuda terhadap kerjasama dan toleransi antar dan inter umat beragama dengan melibatkan 350 pemuda dan pemudi di setiap kota. Ada tiga temuan penting dalam survey yang kami lakukan pada pertengahan tahun ini.
Pertama adalah sensitifitas pemuda pada persoalan dan peristiwa perbedaan agama dan kepercayaan yang menggiring pada tindak kekerasan. Lebih dari 60% pemuda yang kami survey tidak tahu tentang peristiwa-peristiwa tersebut. 84% pemuda di Bandung mengaku tidak tahu masalah ini. Disusul dengan Malang (72%), Sampang (63%) dan Bekasi (68%). Ini kemungkinan besar ada hubungannya dengan kecenderungan pemuda yang tidak tertarik untuk mengakses berita-berita terkait dengan isu toleransi atau perdamaian. Hasil survey menguatkan bahwa rata-rata 42% dari pemuda di empat kota tersebut tidak mengakses pemberitaan seputar isu toleransi. Kurang dari 10% pemuda sering sekali mengakses pemberitaan seputar toleransi dan perdamaian. Pemuda di Bekasi lebih sering mengakses pemberitaan tentang toleransi atau perdamaian yaitu 40.6%. Ini sangat dimaklumi karena peristiwan-peristiwa intoleransi seperti Kasus ijin rumah ibadah Ciketing, yang tidak menemukan ujung solusinya. Penutupan akses jamaah Ahmadiyah di Jalan Pangrango Terusan 44, Pondokgede, Kota Bekasi, pada 8 Maret 2013, menyita perhatian publik bukan saja di Indonesia tetapi juga sampai dunia Internasional.
Temua kedua adalah pengetahuan dan keterlibatan anak-anak muda dalam kerjasama antar umat beragama juga rendah. Hanya 40% pemuda yang pernah mendengar istilah hubungan antar umat beragama dab pemuda di Bekasi yang paling sering mendengar istilah kerjasama antar umat beragama, sementara Bandung yang paling sedikit jumlah pemudanya mendengarkan istilah tersebut. Sementara Madura menunjukkan angka yang berbalikan. 35% pemuda di Madura sering sekali mendengar istilah kerjasama antar umat beragama, tetapi 42.6% tidak tahu tentang kerjasama tersebut. Sementara Bekasi, 54% pemuda sering mendengar istilah kerjasama antar umat beragama, tetapi 33.7% jarang terlibat dalam kegiatan terkait dengan kerjasama antar umat beragama. Di Malang, jumlah pemuda yang sering dan jarang terlibat dalam kegiatan kerjasama antar umat beragama memiliki angka yang imbang.
Pemuda di Bandung menyatakan 100% tidak nyaman bergaul dengan orang berbeda agama dan di Madura sejumlah 30.6%. Berbeda dengan di Bekasi yang menyatakan 58.1% pemuda menyatakan nyaman beragaul dengan orang berbeda agama. Ini mungkin ada hubungannya dengan pendapatnya Yus dan Hamid pada Buka Bersama tanggal 18 Juli 2014 di Aula NU BEkasi yang menyatakan bahwa mobilisasi kasus-kasus intoleransi dilakukan diluar Bekasi. Jika memang demikian, mengapa tidak begitu tampak pembelaan warga Bekasi terhadap korban intoleransi? Apakah media tidak mengekspose atau memang begitu senyapnya upaya pembelaan dari kelompok toleran. Malang juga menunjukkan tingkat toleransi yang cukup baik, dengan menyatakan bahwa 47.3% pemuda di sana nyaman bergaul dengan orang yang berbeda agama.
Tingginya rasa tidak nyaman bergaul dengan orang berbeda agama dan kepercayaan, tercermin dari pola hubungan interaksi pada pemuda. Jika diukur dari 3 bulan terakhir para pemuda ini melakukan interaksi dengan teman, tetangga dan rekan kerjanya, Pemuda di Bandung 100% tidak bergaul dengan orang berbeda agama, sementara pemuda di Malang menyatakan 71.7% bergaul dengan orang berbeda agama. Madura 59.1% tidak bergaul dengan orang berbeda agama. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Bekasi (48.4%).
Dari hasil survey diatas, saya merekomendasian 2 hal untuk pemerintah Baru dalam 100 Hari Kerja yaitu; pertama; Menteri Pemuda dan Olah Raga harus mengintegrasikan perspektif toleransi dan perdamaian ke dalam program-program kepemudaan, sehingga olahraga dan seni bisa dipakai sebagai media untuk memperkuat perspektif toleran dan interaksi antara pemuda lintas Iman.
Kedua, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, agar memperkuat toleransi dan pluralisme dalam kurikulum pendidikan dan mengawal praktek non diskrimintatif dan anti kekerasan terhadap minoritas dan genders bisa dijalankan dalam lingkup sekolah.
Ketiga, Pemerintah Pusat mencabut aturan-aturan dan praktek diskriminatif dan kekerasan terhadap kelompok agama atau kepercayaan dan mengembalikan hak-hak perdata mereka secara gradual dengan mempertimbangkan proses rekonsilaisi lokal dan nasional, sehingga perbedaan itu diterima sebagai rahmat. Pengembalian pengungsi ke rumah dan tanah kelahirannya dan melindunginya sebagai bagian dari warga negara harus dilakukan secepatnya.
Sebagai tindak lanjut dari survey ini, AMAN Indonesia akan memilih 10 duta pedamaian dari setiap kota untuk diberikan training leadership dan diberian ruang berexperimen program-program terkait dengan keberagaman dan perdamaian. Youth Camp akan dilakukan untuk membuka ruang mengalami pada pemuda dengan kawan-kawan mereka yang berbeda agama dan keyakinan lebih intensif. Ruang ini menjadi penting untuk membuka ruang dialog lebih mendalam tentang seputar teologi dan kerja-kerja sosial. Jika anak-anak muda toleran, maka kondis bangsa ke depan akan lebih baik. ***
No comments:
Post a Comment