“For the first time since poverty trends began to be monitored, the number
of people living in extreme poverty and poverty rates fell in every developing
region—including in sub Saharan Africa, where rates are highest. The proportion
of people living on less than $1.25 a day fell from 47 per cent in 1990 to 24
per cent in 2008—a reduction from over 2 billion to less than 1.4 billion”. Cuplikan tersebut, saya ambil dari laporan Millennium Development Goals
MDGs) tahun 2012, khususnya menyoroti masalah kemiskinan ekstrim di benua
Afrika. MDG8 di Indonesia dipakai sebagai tolak ukur keberhasilan pemerintah
dalam menjalankan pembangunan, meskipun menuai kritik karena target-target
indikator dalam setiap MDG8 terlalu minimal. Bapenas melalui laporan
perkembangan capaian MDGs pada tahun 2010, mengklaim keberhasilan MDGs di
Indonesia pada pengurangan angka kemiskinan dengan indikator peningkatan $ 1
perhari meningkat sampai 5,9% pada tahun 2008 (MDG 1), meningkatkan kesetaraan
gender di semua jenjang pendidikan hingga 99,85% di tahun 2009 (MDG3) dan
menurunkan kasus TB dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus pada tahun 2009.
Namun demikian kerja masih harus
dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perbaikan gizi balita
yang meningkat dari 18,4% pada tahun 2007 dan pada akhir 2015 dipastikan
mencapai 15,5% pengurangannya (MDG1). Angka kematian balita juga diperkirakan berkurang
32 kasus per 1000 kelahiran di tahun 2015 dari 44 kasus per 1000 kelahiran pada
tahun 2007 (MDG4). Dan terakhir, kemajuan ditunjukkan dalam pengurangi pinjaman
luar negeri dari 24,6% di tahun 1996 menjadi 10,9% pada 2009. Dan catatan paling
buruk pada penurunan angka ibu melahirkan, HIV dan lingkungan.
Mengapa MDGs bisa diterima dan dipakai
sebagai kerangka global pembangunan? Sakiko Fukuda dan David Hulme dalam kertas
posisi mereka berjudul “International Norm Dynamics and ‘the End of Poverty’[1]:
Understanding the Millennium Development Goals (MDGs)” menjelaskan bahwa faktor
utama keberhasilan MDGs yaitu diterima sebagai kerangka global pembangunan.
Menurut Sakiko, MDGs memiliki “super norm”
akan pengentasan kemiskinan. Maksudnya adalah MDGs mampu menyuguhkan model
pengentasan kemiskinan yang tidak hanya melihat pada income, tapi juga menghubungkan dengan persoalan kesehatan, pendidikan,
kesetaraan gender, dan kerjasama global. Yang ini dipandang lebih jelas dan
konkrit dalam memberikan arah bagi pemimpin dunia dan juga lembaga-lembaga
dunia untuk berkomitmen menanggulangi kemiskinan.
Meskipun didukung oleh sebagian besar
negara-negara di dunia, MDGs dalam pelaksanannya banyak menemukan
jebakan-jebakan. Pertama, bahwa sangat disadari bahwa MDGs tidak dirumuskan
melalui bottom up sehingga ukuran-ukuran yang dipakai terkesan one size fits to all, sehingga
menimbulkan persoalan baru terkait dengan metodologi implementasi kebijakan
MDGs, ketersediaan pendanaan, dan juga sustainability
pencapaian. Ini semua karena setiap negara memiliki kekhususan pada kondisi
geografisnya, dinamika sosial, budaya, politik dan ekonomi masing-masing yang
sangat menentukan capaiannya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat
menyadari tentang kelemahan MDGs yang dibuat dalam partisipasi senyap
masyarakat dunia, menyumbang pada kegagalan banyak negara untuk mencapai ke
delapan gol dalam MDGs yaitu kemiskinan penghasilan, kelaparan, kesetaraan
gender, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan ketangguhan, dan kerjasama
global. Di penghujung masa berakhirnya MDGs, Sekretaris General PBB, menunjuk
tiga orang co-chair untuk merumuskan kerangka global pembangunan pasca 2015.
Ketiga co-chair dipilih untuk mewakili tiga zona penduduk dunia yaitu David
Cameroon dari Inggris diharapkan mewakili negara-negara maju, Susilo Bambang
Yudoyono dari Indonesia untuk mewakili negara berpenghasilan menengah dan Ellen
Johnson Sirleaf dari Liberia sebagai perwakilan negara rentan dan miskin. Tim
kemudian dilengkapi sengan 24 anggota panel ahli (High Level Panel of Eminent
Person/ HLPEP) untuk menjaring gagasan dari seluruh penjuru dunia tentang
agenda pembangunan pasca 2015 dari perspektif masyarakat sipil, sektor swasta,
akademisi, dan sebagainya. Pada tanggal 30 Mei 2013, laporan hasil konsultasi
HLPEP diserahkan pada sekretaris general PBB dengan judul A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies
Through Sustainable Development.
Tulisan singkat ini ditujukan untuk
memberikan catatan kritis pada seluruh laporan HLP, khususnya pada isu
perdamaian yang menjadi salah satu elemen kunci pembangunan, olehkarenanya
dijadikan khusus pada Gol ke 11 yaitu Ensure Stabil and Peace Society. Isu
perdamaian juga menjadi isu cross cutting
yang dalam ke sebelas gol yang ditawarkan oleh HLP dalam laporan tersebut.
Perdamaian
(tidak) dalam MDGs
Damai
memiliki definisi yang tidak tunggal. Tetapi biasanya kata damai itu disejajarkan
dengan situasi dimana kenyamanan dan keamanan seseorang hidup di komunitasnya.
Kenyamanan tentu saja bisa dikaitkan dengan terpenuhinya semua kebutuhan dasar
manusia berupa pangan, sandang dan papan. Sementara keamanan adalah sebuah
kondisi bebas dari rasa takut untuk berekspresi, berelasi dan berkeyakinan. Secara
sederhana kondisi ini tentu yang dicita-citakan oleh MDGs dengan melakukan
penanggulangan kemiskinan global. Tapi sayangnya elemen perdamaian tidak
dianggap penting dalam upaya mengatasi kemiskinan. Padahal konflik kekerasan
yang terjadi di banyak negara, menyumbangkan angka kemiskinan yang cukup
dasyat. Contohnya Burundi dan Burkina Faso, dua negara kecil di Afrika
kondisinya hampir sama miskinya pada tahun 1990. Lalu pecah perang sipil pda
tahun 1993 di Burundi dimana presiden terbunuh dan 300.000 orang meninggal
dalam tahun-tahun berikutnya. Saat ini, Burkina Faso setengah lebih kaya
dibandingkan Burundi. Di Indonesia, konflik juga menyumbangkan pada kemiskinan
secara serius, enam rengking teratas propinsi miskin adalah daerah konflik
seperti Papua (32%), Papua Barat (31,9%), Maluku (23 %), NTT (21,2%), NTB
(19,7%) dan Aceh (19,6%), yang memiliki sejarah konflik kekerasan persoalan
determinasi diri, otonomi khusus, kebebasan beragama, dan konflik antar
kampung.
Tidak masuknya perdamaian sebagai
elemen penting kerangka global pembangunan bisa saja disebabkan karena paradigm
pengurangan kemiskinan yang dipakai oleh MDGs menggunakan konsep growth,
sehingga tentu saja hanya terpaku pada peningkatan income saja. Sementara
faktor-faktor yang mendorong pada peningkatan income seperti perdamaian dan
stabilitas masyarakat terabaikan. Kedua, MDGs meletakkan kemiskinan sebagai
akar dari persoalan dalam pembangunan, sehingga masyarakat tidak bisa mengakses
pelayanan dasar. Tetapi, sayangnya akar-akar kemiskinan itu sendiri tidak
menjadi diskusi yang sebenarnya bisa menampilkan wajah kemiskinan yang tidak
tunggal karena berada dalam konteks yang berbeda-beda. Dengan potret kemiskinan
yang berbeda-beda itulah akan mendorong lahirnya sebuah framework pengentasan kemiskinan yang akan mempertimbangkan konteks
spesifiknya.
Perdamaian
dalam Pembangunan Pasca 2015
Konsultasi umum digelar selama 4 kali
untuk menjaring gagasan-gagasan genuin tentang agenda pembangunan pasca 2015.
Co-chair dan HLP memetakan isu-isu krusial yang muncul dari setiap konsultasi.
Di London dengan konteks Eropa, agenda kemiskinan ekstrim begitu mencuat.
Sementara di Monrovia, kebutuhan dasar kelompok rentan dan minoritas sangat
mengemuka, termasuk akses keadilan korban kekerasan seksual dalam konflik. Konsultasi
publik di Bali, merupakan konsultasi terbesar dimana perubahan struktur tentang
kemitraan global menjadi agenda penting. Kini, hasil dari konsultasi dengan
ribuan masyarakat sipil, sektor swasta dan akademisi telah hadir ditengah kita.
Ada harapan baru pada visi pembangunan
pasca 2015 yang tercermin di laporan HLP. Terkait dengan pembangunan
perdamaian, HLP menempatkan sebagai visi prioritas dan juga sebagai cross cutting issue.
Perdamaian
sebagai paradigma
Untuk menunjukkan sebuah komitmen
tinggi pada transformasi struktur di pembangunan, HLP mencanangkan lima visi
prioritas yang diharapkan bisa memberikan cara pandang baru dalam agenda
pembangunan pasca 2015. Kelima visi prioritas itu adalah sebagai berikut:
1. Leave No One Behind; bahwa
semua orang dalam keterbatasan penghasilan, gender, etnisitas, kemampuan fisik
dan non fisik, geografis dan sebagainya tidak harus tertinggal dalam kesempatan
terkait ekonomi dan pemenuhan HAM.
2. Put Sustainable Development as a Core; perubahan
dari bentuk pembangunan ekonomi yang destruktif menjadi pola produksi dan
konsumsi yang berkelanjutan.
3. Transform Economies for Job as and inclusive
Growth; memastikan pertumbuhan yang menguntungkan masyarakat, terutama
bagi kelompok membutuhkan, serta menghentikan krisis pekerjaan dan konsolidasi
eneri pemuda
4. Build
Peace and Effective, Open and Accountable Public Institution; mengakui
bahwa perdamaian dan good governance sangat penting
bagi kesejahteraan manusia dan pembangunan berkelanjutan
5. Forge a new global partnership;
membangun kemitraan global yang mampu mengimplementasikan agenda pasca 2015 dan
menyalurkan keuangan untuk investasi pada perubahan
Sebagai paradigma pembangunan yang
baru, perdamaian menjadi cara pandang dari semua keputusan yang terkait dengan
pembangunan. Artinya ukuran efektif dan tidaknya sebuah kebijakan dan pelayanan
dalam pembangunan disandarkan pada sejauh mana pembangunan dapat berkontribusi
pada perdamaian, menghargai perbedaan, memberikan rasa keadilan pada perempuan,
kelompok minoritas, kelompok rentan dsb dan mendorong pada penguatan kohesi
sosial.
Khusus pada visi build peace and effective, open and accountable public institution,
yang menarik untuk diberikan catatan adalah pada komitmen sungguh-sungguh HLP
pada perdamaian sebagai elemen kunci pembangunan dan bukan sebagai pelengkap
penderita semata. Sebagai salah satu elemen kunci dari pembangunan, maka
perdamaian tidak bisa hanya dianggap sebagai tujuan akhir, tetapi juga sebagai
cara untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuan,
perdamaian memiliki dua kaki. Kaki pertama
adalah sebuah institusi yang bisa memproduksi
kebijakan yang berorientasi pada perdamaian masyarakat. HLP menyebutnya sebagai
institusi publik yang efektif, terbuka dan terpercaya sebagai prasyarat akan
munculnya kebijakan pembangunan yang peka terhadap konflik dan menopang pada
perdamaian. Institusi public inilah yang dibayangkan oleh HLP sebagai media
untuk mendorong terbukanya ruang-ruang dialog di masyarakat. Kaki kedua adalah penegakan hukum,
yaitu sebuah jaminan tentang kebebasan berekspresi, keamanan individu, akses
untuk keadilan dan jaminan terbebaskan dari segala praktek diskriminatif dan
aksi.
Catatan kritis pertama saya,
sepertinya perlu ada kaki ketiga,
yang krusial harus ada di dalam membumikan perdamaian yaitu nilai-nilai
perdamain yang bersumber pada budaya dan agama. nilai perdamaian bisa saja
berakar dari sebuah budaya yang sejak lama dipercaya mampu menciptakan
persaudaraan yang kuat diantara warga. Misalnya saja di Ambon, kita mengenal
budaya Pela Gandong, yang menjadi simbol persaudaraan warga Ambon. Karena
persaudaraan disandarkan pada budaya, maka perbedaan agama tidak menjadi
masalah. Di Jawa Tengah, orang mengenal nilai rukun agawe sentoso, trah agawe bubrah (terjemahan bebasnya
kira-kira; bersatu membawa bahagia, konflik membawa perpecahan). Nilai yang
berakar pada tradisi ini akan lebih kuat mengikat komitmen pada perdamaian,
karena dilanggengkan dalam tradisi dan praktek bertetangga di masyarakat.
Dalam konteks masyarakat agamis, akar
nilai perdamaian tentu bisa digali dari ajaran agama baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Fakta bahwa agama-agama besar dunia seperti Kristen,
Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Konfusionisme sangat dihidupi oleh sebagian
besar penduduk dunia, sedikit banyak mempengaruhi cara pandangan individu
pengikutnya. Sehingga agak aneh, jika kemudian elemen agama justru sama sekali
tidak muncul dalam elaborasi analisis di dalam laporan HLP. Institusi keagamaan
bisa juga kategorikan sebagai insitusi publik yang non formal, dimana
nilai-nilai perdamaian sosialisasikan dan dilanggengkan melalui peran para
tokoh agama. Sudah terbukti dalam sejarah pembangunan di Indonesia kalau semua
agenda pembangunan mengunakan jasa institusi budaya dan agama untuk
menyampaikan pesan perubahan pada masyarakat.
Catatan kritis kedua saya, adalah pada
sumber perdamaian yang dibatasi pada distribusi sumber daya alam yang merata.
Ada kecenderungan bahwa perdamaian akan tercapai jika sumber daya alam
terdistribusikan secara adil di masyarakat. Sehingga setiap orang memiliki
kesempatan untuk menikmatinya. Tetapi tesis ini mungkin tidak berjalan, jika
persoalan konflik yang terjadi lebih disebabkan pada pemahaman ajaran agama
yang berbeda atau miscommunication
tentang ajaran budaya. Di Indonesia, kasus ketegangan antara warga minoritas
seperti Ahmadiyah dan Shia bukan dipicu oleh perebutan sumber daya alam, tetapi
perebutan klaim kebenaran ajaran agama. Kasus penutupan gereja oleh masa
intoleran, juga tidak terbukti ada hubungannya dengan perebutan lahan. Artinya
bahwa distribusi merata kekayaan alam, tidak menyelesaikan masalah. Pendekatan
dialog yang jauh lebih relevan untuk menyelesaikan persoalan diantara kelompok
yang berkonflik.
Catatan kritis ketiga adalah mekanisme
penyelesaian perselisihan dan konflik yang dirujukkan pada penegakan hukum
semata. Pendekatan hukum dipandang sebagai satu-satunya penyelesaian konflik.
Padahal, dalam kenyataan konflik sosial, konflik sumber daya alam dan konflik
politik, penyelesaian hukum tidak sepenuhnya efektif. Pelaku kekerasan dihukum
dan korban dilindungi tidak cukup. Pendekatan hitam putih ini di banyak kasus
bisa menimbulkan pengerasan komunikasi pada kelompok yang berkonflik. Sehingga
menyulitkan pihak-pihak yang sedang melakukan proses mediasi. Model
penyelesaian konflik seperti mediasi dan rekonsiliasi lebih luwes bisa menyelesaikan
konflik karena meletakkan semua kepentingan dan mencari jalan tengah. Contoh
yang paling aktual adalah konflik Sampang dimana warga Shia diusir dari
kampungnya karena dianggap sesat. Dalam konteks ini tentu saja pendekatan hukum
tidak cukup hanya menghukum pelaku pembakaran rumah dan kampung saja, tetapi
dibutuhkan sebuah pendekatan budaya dan agama yang bisa mendudukkan semua pihak
yang bertikai pada kondisi obyektif dengan melihat “kedalam” dan “keluar”,
sehingga celah untuk membawa pada rekonsiliasi dan reintegrasi bisa
diidentifikasi secara jeli.
Catatan kritis ke empat, bahwa meskipun perdamaian merupakan cross
cutting issues, namun bagi saya penting meletakkan perspektif gender di dalam
visi prioritas perdamaian. Agenda penting perempuan, perdamaian dan Keamanan
PBB seharusnya tereksplisitkan di dalam indikator GOl 11. Secara detil saya
rasa perlu memberikan penekanan pada pentingnya memasukkan konten beberapa
resolusi dibawah ini ke dalam Gol 11, mereka adalah:
▫
Resolusi 1325 tentang Women, Peace and
Security yang menyerukan adanya pelibatan perempuan di dalam pencegahan,
perlindungan konflik, serta partisipasi di dalam recovery dan rehabilitasi
pasca konflik
▫
Resolusi 1802 ; Kekerasan seksual dalam
situasi konflik yang membawa konsekuensi
pada perbaikan keamanan dan perdamaian internasional, peace keeping, keadilan
dan respon terhadap negosiasi perdamaian
▫
Resolusi 1888; tentang implementaasi resolusi
1802 melalui penetapan kepemimpinan, through assigning leadership, membangun
respon peradilan, mekanisme pelaporan
▫
Resolusi 1889 tentang eksklusi perempuan dalam
pemulihan awal dan peacebuilding, serta keterbatasan perencanaan dan pendanaan
kebutuhan paska konflik
▫
Resolusi 1960 tentang sistem akuntabilitas
untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual di situasi konflik
Keterlibatan perempuan dalam perundingan perdamaian mungkin bisa
saja masuk di dalam partisipasi politik perempuan, tetapi dalam konteks
perdamaian, ini akan lebih terlihat jika dimasukkan di dalam ilustrasi gol 11
dimana partisipasi perempuan dalam peacebuilding, termasuk dalam proses
perdamaian menjadi satu tambahan indikator.
Perdamaian
sebagai isu “cross cutting”
Panel ahli sangat yakin bahwa konflik
adalah sebuah kondisi yang bisa menghalangi pencapaian pembangunan yang
berkelanjutan. Bahkan konflik adalah faktor yang signifikan menyebabkan
kemiskinan ekstrim, karena masyarakat bukan saja kehilangan sumber kehidupan,
tetapi juga kehancuran pada tatanan kehidupan dan budaya. Olehkarena memastikan
adanya sebuah masyarakat yang stabil dan damai menjadi salah satu gol yang
diajukan oleh anggota HLP. Ini juga sangat disadari bahwa meletakkan perdamaian
menjadi satu gol tersendiri tidaklah menjawab persoalan seputar perdamaian,
olehkarenanya cross cutting issues
diperlukan, sehingga setiap layer persoalan perdamaian bisa diangkat di dalam
isu seperti ketersediaan pekerjaan, partisipasi pada proses politik, local civic engagement, pengelolaan
sumber daya yang ada secara transparan. Kekuatan cross cutting isu perdamaian
ke dalam 12 tawaran gol oleh HLP adalah indikator untuk mencapai masyarakat
yang stabil dan damai bisa lebih detil, melingkupi spectrum pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan perempuan dan juga tata laksana pembangunan.
Catatan kritis pertama saya pada gol 2
Empower girls and women and achieve
gender equality, telah meletakkan satu indikator penting yaitu (2a) prevent
and eliminate all forms of violence against girls and women, yang merupakan
concern CEDAW dan juga Resolusi PBB 1802 tentang korban kekerasan seksual.
Meski demikian perlu diberikan penekanan bahwa akses untuk keadilan korban
kekerasan seksual akan pemulihan nama baik, hukuman bagi pelaku kekerasan, dan
kompensasi sebagai korban konflik perlu dieksplisitkan. Pada indikator (2d)
eliminate discrimination against women in political, economic and public life,
perlu dieksplisitkan termasuk keterlibatan perempuan di dalam perundingan
perdamaian dan peacebuilding.
Catatan kritis kedua saya pada gol 3
Provide quality education and lifelong learning, penting menambahkan satu
indikator, penting tentang pendidikan pluralisme dimana perbedaan secara
alamiah sejak dini diajarkan di sekolah,sehingga anak sejak awal sudah belajar
tentang management perbedaan. Kualitas dan ketersediaan fasilitas pendidikan
yang memadai untuk daerah konflik sangat menentukan pembentukan generasi muda.
Ini diperlukan kebijakan yang peka terhadap konflik dan bertumpu perdamaian
dalam dunia pendidikan, khususnya di daerah konflik yang biasanya sulit akses.
Catatan kritis ketiga saya pada gol 4
Ensure Healthy Lives, khususnya pada indikator 4d yaitu Ensure universal sexual
and reproductive health and rights. Pendekatan gender sangat dibutuhkan untuk
memberikan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual, terkhusus pada daerah
konflik, pendekatan rekonsiliatif perlu ditambahkan untuk memperbaiki hubungan
antar warga. Pada situasi konflik, pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual
sangat diperlukan di pengungsian, dengan privasi yang terjaga.
Catatan kritis keempat saya pada gol 5
Ensure good security and good nutrition, seharusnya juga berlaku pada konteks
konflik, dimana masyarakat yang tinggal di pengungsian sering tidak memiliki
keberanian untuk memastikan ketersediaan makanan dan nutrisi yang baik untuk
anak-anak, perempuan, laki-laki dan manula. Karena konflik sering tidak bisa
diprediksi kapan selesainya, maka penjaminan ketersediaan makanan yang layak
untuk pengungsi akibat konflik menjadi isu penting dalam gol ini juga.
Catatan kritis kelima saya pada gol 6
Achieve universal Access to Water and sanitation, juga seharusnya relevan untuk
situasi konflik. Akses air dan sanitasi bagi masyarakat yang membuka desa baru
atau yang masih di pengungsian sangat krusial. Ketersediaan air bersih dan
sanitasi yang sensitive pada perempuan dimana keamanan dan kenyamanan dijamin,
sangat penting. Buruknya akses air bersih dan sanitasi dapat berdampak serius
pada kesehatan reproduksi perempuan.
Catatan kritis keenam saya pada gol 10
Ensure good governance and effective institution, dimana semua indikator sangat
relevan dan tajam. Namun, pada indikator 10c, tentang partisipasi publik pada
proses politik, seharusnya juga memberikan penekanan pada keterlibatan
perempuan dalam pengambilan keputusan dalam proses perdamaian dan
peacebuilding. Juga yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman tentang civic
engagement yang bisa bersifat cultural atau religious, dimana tokoh kultural
dan agama terlibat aktif di dalam promosi perdamaian. Jaminan HAM juga sangat
kuat terelaborasi di dalam semua indikator, namun penting juga memberikan
penekanan bahwa segala regulasi atau UU yang bertentangan dengan semangat HAM
harus segera dicabut.
Ilustrasi
Gol 11 dan Tawaran
Bagian ini, kita ingin melihat bagaimana ilustrasi gol 11 lengkap
dengan indikator yang ditawarkan oleh HLP, kemudian disandingkan dengan semua
list kemungkinan indikator yang tersebar di gol-gol yang lainnya. Berikut
tabelnya;
Gol 11 Memastikan Masyarakat yang stabil dan
damai
|
||
Target
indikator
|
Core
and cross cutting indikator with
modification
|
Note:
|
a)
Reduce violent deaths per 100,000 by x and eliminate all forms of violence
against children
b)
Ensure justice institutions are accessible, independent, well-resourced and
respect due-process rights
c)
Stem the external stressors that lead to conflict, including those related to
organized crime
d)
Enhance the capacity, professionalism and accountability of the security
forces,
police and judiciary
|
a)
Provide free and universal legal identity,
such as birth registrations
b)
Ensure that people enjoy freedom of speech,
association, peaceful protest
c)
and access to independent media and
information
d)
Increase public participation in political
processes and civic engagement at
e)
all levels
f)
Guarantee the public’s right to information
and access to government data
g)
Reduce bribery and corruption and ensure
officials can be held accountable
h)
Provide universal access to safe drinking
water at home and in schools, health centers and refugee camps
i)
End hunger and protect the right of everyone
to have access to sufficient, safe, affordable, and nutritious food , indluding in the camp
j)
Ensure universal sexual and reproductive
health and rights, in the camp and conflict situation
k)
Increase the number of young and adult women
and men with the skills of management of differences,
lifeskill, including technical and vocational, needed for work by x%
l)
Prevent and eliminate all forms of violence
against girls and women
m) Eliminate
discrimination against women in political, economic, and public life
n)
Ensure rehabilitation, restitution
and compensation for victim of sexual violence
o)
Remove regulations that are not
support to Human Women Rights
p)
Eliminate all form of
fundamentalism in politics, economic, and public life
q)
No impunity for any form of
violence against women and girls
|
Red
color is modification
|
Penutup
dan Rekomendasi
Analisis dan formulasi gol 11 Ensure peaceful and stabil society,
sudah sangat bagus dan komprehensif, namun tentu saja perlu melihat
indikator-indikator lain yang sangat erat beririsan dengan gol tersebut.
Beberapa hal penting yang tidak terlalu banyak dielaborasi adalah
1.
Mempertajam advokasi akses keadilan bagi
perempuan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan pemulihan nama baik,
penghukuman bagi pelaku dan kompensasi material
2.
Memastikan semua regulasi yang ada di tingkat
lokal dan nasional tidak bertentangan dengan semangat HAM, dan semua aturan
internasional dan nasional yang mengarah pada penciptaan perdamaian
3.
Memasukkan isu fundamentalisme sebagai ancaman
dari pembangunan karena kepercayaan dan praktek yang mengarah pada kebenaran
tunggal, sangat memungkinkan memunculkan diskriminasi dan kekerasan
4.
Memasukkan elemen budaya dan agama sebagai
bagian dari elemen kunci dari pembangunan dan perdamaian, sehingga pola-pola
penyelesaian konflik tidak hanya menggunakan satu pendekatan hukum, tetapi bisa
secara lebih luwes menggunakan nilai dan mekanisme budaya atau agama untuk
melakukan mediasi dan rekonsiliasi.
5.
Menolak adanya impunity pada pelanggaran HAM,
termasuk kekerasan seksual di daerah konflik, sehingga penegakan hukum bisa
berjalan dengan baik dan masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang menhormati
hak-hak orang lain
***
Note: Review ini
dikompilasi oleh koalisi masyarakat sipil Indonesia yang dimotori oleh INFID dan
dijadikan bahan advokasi di tingkat internasional melalui proses Open Working
Group. Tulisan ini juga dishare di website DK-Insufa dan AMAN Indonesia. Tujuannya
agar bisa dibaca lebih luas oleh kawan-kawan yang concern dengan perdamaian dan
agenda pasca MDGs.
Sumber foto: http://www.medicusmundi.org
No comments:
Post a Comment