“My name is Ruby, from Indonesia and I am feminist”. Anda bisa bayangkan ungkapan saya tersebut saya lontarkan di sebuah workshop “Women and Family” di Iran, yang diselenggarakan oleh Universitas Tehran. Banyak orang masih sangat takut dengan feminist karena diasosiasikan dengan melawan laki-laki, terlalu bebas, dan perempuan yang tidak bisa diatur. Ini sangat wajar karena feminisme mempengaruhi banyak perempuan untuk berpikir beyond the box dan mempertanyakan relasi kuasa di ruang yang paling rahasia yaitu keluarga. Keluarga yang dianggap tempat paling pribadi, justru oleh feminist dijadikan basis pembebasan untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Suasana pembebasan dan perlawanan
para feminist, saya rasakan sangat kuat di Konferensi Asia Pacific Feminist
Forum (APFF) yang diselenggarakan oleh Asia Pacific Women, Law and Development
(APWLD) di Chiangmai. 300 feminist dari negara-negara di Asia Pacific melakukan
refleksi dan memperbaharui komitmen mereka sebagai feminist melalui ruang-ruang
refleksi, debat dan percakapan informal.
Plenari “Feminist Vision; Framing
Stratgies, Analysis and Resistnace in the current political, economic and
social movement” diletakkan sebagai pembuka konferensi untuk mengangkat pengalaman
feminist antar generasi terkait dengan globalisasi, militerisme,
fundamentalisme dan patriarki. Kate Lappin, direktur APWLD, memberikan gambaran
krisis dunia yang mengaharuskan para feminist untuk memikirkan ulang strategy
terbaru melawan institusi patriaki. 85 orang di dunia ini menikmati separuh
dari sumber daya di dunia, sementara ada 1,8 miliar orang di dunia yang hidup
miskin. Menurut ONHCR, Sepertiga dari penduduk dunia dipaksa untuk pergi dari
tanah kelahiran mereka, yang biasanya dipanggil Internally Displaced People
(IDPs). Catatan Oxfam tahun 2001, ada 33 juta hektar tanah dijadikan lahan
komersial dan memaksa jutaan keluarga pergi.
Perjuangan feminist menurut Kate
dijegal oleh globalisasi, militerisme, fundamentalisme dan patriaki dalam
menurunkan angka ketimpangan. Ini karena nilai-nilai yang disebarkan oleh
ketiga institusi patriaki ini dianggap lebih populis dan mudah diterima oleh
banyak orang karena instan dan tidak sulit karena hanya mengikuti pola yang
sudah ada. Namun demikian, masih ada peluang untuk bergerak yaitu pada momentum
global dimana negara membincang tentang agenda pasca MDGs. APWLD sebagai
gerakan feminist mengadvokasi development Justice yang terdiri dari lima
komponen yaitu redistributive justice, social justice, economic justice, environmental
justice, dan accountability to people.
Judy M. Taguiwalo, Chairperson,
Committee on Women-alliance of Concerned Teachers (ACT) mengaku dirinya yang
sudah bergelut dengan aktifisme menentang perang Vietnam, implerialisme merasa
menemukan identitas sebagai feminist menggiringnya pada sebuah kepercayaan diri
yang luar biasa. Menurutnya Era Abad 21 ini adalah era Asia, dimana Asia akan
menjadi sentral gravitasi ekonomi dunia. Sesuai dengan ramalan Hillary Clinton “the
21st Century the world’s strategic economic center of gravity will
be in the Asia”.
Tin TinNyo, General Secretary,
Women’s League of Burma, sangat jelas menggambarkan bagaimana fundamentalisme
merasuk dan mempengaruhi negara. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan negara
yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Aturan
hukum terkait dengan larangan menikah beda agama dianggap sebagai upaya untuk
mendiskriminasikan salah satu etnik yang tinggal di Myanmar. Terutama yang
merasakan dampaknya adalah perempuan. Melalui gerakan WLB memperjelas
positioning feminist dalam membela yang lemah.
Isu lingkungan juga menjadi
perhatian besar saat ini gerakan feminist. Mulai peminggiran peran perempuan
dalam managemen sumber daya alam, tergerusnya lahan-lahan pertanian mereka oleh
industri komersial, dan tercemarnya sungai karena perusahaan yang tidak
mempertimbangkan penyelamatan lingkungan. Kesemua ini ada hubungannya dengan
situasi politik, economic dan sosial yang cukup jelas memperlihatkan koalisi
mesra kapitalis, fundamentalist dan militer untuk memperkuat nilai-nilai
patriaki. Lalu siapa kawan kita (baca: Feminist)? Anda yang sepakat dengan
adanya ketidakadilan di muka bumi ini dan perusakan lingkungan kita, maka anda
adalah kawan kami. Karena kita sama-sama memperjuangkan kehidupan yang lebih
baik. ***
No comments:
Post a Comment