Tidak kusangka pertemuanku dengan John Paul Lederach, penggagas teori transformasi konflik pada tahun 2006 di Bangkok dalam salah satu forum yang digelar the Asian Muslim Action Network (AMAN), memberikan dorongan kuat padaku untuk menurunkan konsep itu ke dalam aksi, sehingga aku punya imaginasi tentang apa itu transformasi konflik. Dalam bukunya yang berjudul “Conflict Transformation”, Lederach memberikan definisi transformasi konflik sebagai berikut:
Conflict transformation is to
envision and respond to the ebb and flow of social conflict as life-giving
opportunities for creating constructive change processes that reduce violence,
increase justice
in direct interaction and social structures, and respond to real-life problems
in human relationships.
Untuk memudahkan kita mencerna
apa maksud dari definisi yang diberikan Lederach, saya rasa kita bisa
menggunakan analog bahwa transformasi konflik itu sama seperti perjalanan hidup
menjadi manusia yang menggunakan 3H 1L (Head, Heart, Hand and Legs) untuk
mencapai tujuan.
Head. Adalah cara berpikir kita tentang bagaimana memandang
konflik. Cara pandang ini sangat berpengaruh pada cara kita memperlakukan
konflik. Konflik bukanlah statis. Mereka ibarat bagian dari bumi dimana ada gunung-gunung,
lembah, sungai dan pepohonan menjadi elemen keindahan bumi itu sendiri. Di
dalam konflik, tentu kita menemukan masa harmonis, masa berselisih, masa bersitegang,
masa saling bunuh, cooling down dan
bahkan sampai pada gencatan senjata. Memahami konflik sebagai bagian dari
dinamika kehidupan manusia memaksa kita untuk berpikir cara-cara inovatif yang
bisa menggiring masyarakat pada proses transformasi konflik. Ini yang mungkin
oleh Lederach disebut sebagai transformational
perspective, sebuah cara pandang yang berorientasi mengubah. Dalam
menjalankan ini dibutuhkan sebuah kapasitas cara berpikir yang memandang
konflik adalah fenomena alam dan berani menggunakan kapasitas tersebut dalam kerja-kerja
pembangunan perdamaian.
Dalam kerja-kerja membangun
perdamaian, The Asian Muslim Action
Network (AMAN) di Indonesia menjadikan pendidikan perdamaian sebagai
tonggak utama untuk memulai proses transformasi. Ada tiga hal yang ingin
disasar dalam proses pendidikan perdamaian yang kemudian dikenal dengan sebutan
Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) yaitu koqnisi, afeksi dan psikomotorik.
Sebuah prasyarat yang tidak gampang karena kemudian harus diciptakan mekanisme
bagaimana peserta didik bukan saja mengerti subyek yang dibahas, tetapi bisa
mempengaruhi cara pandang dan punya sikap dan kemudian melakukan aksi
nyata dengan menggunakan kapasitas yang sudah dipunyai.
Sebut saja Ibu Yurlianti, seorang
perempuan Poso yang tinggal di Malei Lage kabupaten Poso Sulawesi Tengah, 2 jam
dari kota Tentena, saat ini sangat aktif menggerakkan ibu-ibu dari kelompok
Kristen dan Muslim untuk memanfaatkan lidi dan ikan yang berlimpah untuk dibuat
piring dan abon. Gagasan ini muncul setelah tiga tahun mendalami kajian tentang
konflik dan perdamaian dalam kelas reguler seminggu sekali. Dia menemukan
bahwa kunci utama transformasi konflik di Desa Male Lage adalah relasi di
masyarakat. Konflik kekerasan yang terjadi pada akhir 1999 sampai 2004, membuat
orang-orang tidak mau bicara terbuka dan lebih memilih “diam” dan hidup dalam
komunikasi senyap. Interaksi nyaris hilang. Padahal prasyarat untuk membangun
sebuah komunitas adalah keterlibatan semua orang tanpa memandang agama, suku
dan golongan tertentu. Konflik kekerasan memang tidak ada lagi. Tapi residu
masih ada. Yurlianti merasa bahwa konflik kekerasan bisa terjadi lagi, maka
pondasi relasi kuat di masyarakat harus dibangun. Maka bertekadlah dia untuk
meningkatkan kemampuan berbicara, berargumentasi, dan berorganisasi. Kini dia
sangat yakin bahwa intensitas komunikasi dalam membuat piring lidi dan abon
ikan akan sedikit demi sedikit menata bangunan pondasi hubungan yang baik antar
warga.
Heart. Merupakan pusat kehidupan dari tubuh kita. Kita menemukan
emosi, intuisi dan kehidupan spiritual dalam hati kita. Dari hatilah kita
menjalin hubungan dengan manusia lainnya dan juga alam. Dari hatilah kita
merasa tersakiti dan kemudian memutus hubungan dengan orang lain. Hati adalah
pusat kita merasakan pergeseran rasa
kita dalam merespon ajakan untuk berkonflik atau sebaliknya. Pondasi damai di
masyarakat ditanam dengan hati yang memberikan kesempatan hidup bagi orang
lain. Ketika pertama kali kami menggelar training di Hotel Wisata Poso taun
2008, kami merasakan hati para peserta “membeku” karena dendam, prasangka dan distrust yang kuat. “Kami sangat takut
menyapa ibu-ibu dari Muslim, karena takut tidak disapa balik”, ucap ibu Rosa
(nama samaran). Namun ketika mereka melihat bahwa AMAN Indonesia memiliki staf
dari agama Islam dan Kristen dan menunjukkan kerjasama yang baik, dan dibantu
dengan metode training yang mengharuskan mereka bergerak, berbagi perasaan,
menyentuh tubuh kawannya, dan bekerja dalam kelompok, mampu mencairkan kebekuan
hati mereka. Ya…orang-orang tercinta mereka memang sudah mati karena dibunuh.
Tapi kehidupan harus berjalan. Semua orang kehilangan orang tercinta.
Kehilangan harta benda. Konflik memang telah meluluhlantakan semua kehidupan di
Poso, tetapi juga memberikan kesempatan hidup bagi yang masih bertahan.
Hand. Tangan menyimbolkan kerja. Makna yang dikandung adalah bahwa
perdamaian harus dibuat. Ini adalah perwujudan dari head dan heart dalam
sebuah aksi nyata. Transformasi adalah sebuah proses sosial mengubah relasi.
Ini adalah pekerjaan yang panjang karena sangat berhubungan dengan dinamika
perasaan manusia. Di Loji Bogor, dimana ketegangan antar agama dan etnis
tertentu bisa memicu pada perselisihan dan konflik, para ibu yang bergabung ke
dalam perkumpulan Sekolah Perempuan Aktif Kreatif (SPAK) berhasil
memperkenalkan sebuah mekanisme dialog kepada warga ketika sebuah perselisihan,
fitna dan provokasi terjadi pada awal 2011. Berbekal pengetahuan resolusi
konflik dimana data akurat sangat penting bagi penyelesaian masalah. Uni Dewi,
Ibu Ade, Teh Upit dan ibu-ibu lainnya mengumpulkan fakta kebenaran dari
sumber-sumber yang diduga menyebarkan informasi miring tentang adanya proses
kristenisasi. Dibantu dengan para tokoh masyarakat, mereka berhasil
mengumpulkan warga yang berselisih dan melakukan provokasi, dan dimediasi oleh
ketua RW saat itu Bapak Oman. Model kegiatan berkunjung ke gereja dan tulisan
terkait dengan kemerdekaan beribadah dari Salam Newsletter edisi dimaknai oleh sebagian orang sebagai upaya
Sekolah Perempuan melakukan kristenisasi. Kepercayaan diri pada ibu-ibu yang
sudah diperkuat kapasitas berpikir mereka dan hati yang memberikan kesempatan
pada orang yang untuk memperbaiki, inilah yang menjadi kunci bagaimana dendam
diurai menjadi kasih dan sayang sehingga dalam setiap kegiatan-kegiatan
selanjutnya tetap melibatkan semua pihak. Tanpa “tangan” (baca: bergerak) maka
tidak mungkin sebuah transformasi terjadi di RW 3 kelurahan Loji-Bogor.
Kunjungan tim dari Institute Pertanian Bogor (IPB) dan pemberian apresiasi yang
tinggi pada karya pupuk organik SPAK bukan formalitas dan dibuat-buat. Tapi sebuah
pengakuan jujur bahwa lewat karya, perempuan bisa. Pujian dan sanjungan ini didapat
dari sebuah perjuangan panjang untuk mengubah rendah diri menjadi percaya diri.
Mengekor menjadi memimpin. Mengangguk-angguk menjadi kritis bertanya. Dan benci
menjadi cinta.
Yang terakhir adalah legs and feet, atau kaki. Kaki bisa
dimaknai disini sebagai pijakan atau tanah tempat berpijak. Sama seperti tangan
kita, kaki akan membumikan gagasan dan keberpihakan kita untuk membangun
perdamaian dalam sebuah bentuk nyata. Target penting dalam sebuah proses
transformasi konflik adalah mengurangi kekerasan dan merengkuh keadilan bagi
siapapun. Ini bisa dimulai ketika relasi dengan diri sendiri dan dengan orang
lain terbangun dengan setara, terbuka dan bermartabat. Oleh karenanya transformasi
konflik akan terjadi jika ada perubahan dalam diri kita, keluarga, masyarakat
dan struktur di masyarakat. Bagaimana ini terjadi? Saya akan menjelaskan dengan
sebuah pengalaman perempuan yang terlibat dalam program AMAN Indonesia di
Jakarta.
Namanya Ibu Rohimah. Tinggal di
Kelurahan Pondok Bambu Jakarta Timur. Beliau adalah seorang perempuan asli
betawi yang dilahirkan tahun 1975. Dikaruniai seorang suami (Pak Sirto) dan dua
orang anak perempuan (Wuri dan Fitri). Tahun 2007, ketika AMAN Indonesia
memberikan bantuan sembako untuk korban banjir, Rohimah sama seperti perempuan
kebanyakan daerah sana adalah seorang pendiam, gagap berbicara dan malu-malu.
Dengan tekad besar, dia dan sekitar 10 ibu lainnya memberanikan diri untuk
meminta AMAN Indonesia tidak pergi dan membuat program pemberdayaan perempuan.
Sekolah Perempuan Perdamaian (SP) dilaunching pada Agustus 2007 untuk mewadahi
kegelisahan perempuan Pondok Bambu yang haus
pengetahuan. Dua jam dalam satu minggu para ibu belajar tentang
nilai-nilai perdamaian dan ketrampilan untuk transformasi konflik. Rohima
membagi hasil belajar di kelas kepada suami dan anak-anaknya. Sebuah perubahan
terjadi secara pelan namun pasti. “Membangun tim” itu yang dianalogkan oleh
Rohima dalam melihat keluarga dan masyarakat. Karena keluarga ibarat sebuah
tim, maka setiap anggota harus saling membantu pekerjaan dalam rumah. Suami dan
anak-anak juga harus mengambil tanggungjawab dari pekerjaan di rumah. Bukan
saja ketersediaan waktu yang dimiliki Rohimah untuk bersosialisasi dan
membangun masyarakat saat ini, tapi juga suami dan anak-anak menjadi lebih
bangga karena dia tidak lagi menggunakan air mata sebagai senjata negosiasi
kepentingan, tetapi menggunakan argumentasi untuk menyampaikan keinginan.
Dampak perubahan diri Rohimah
juga dirasakan di masyarakat. Dari seorang warga pasif, sekarang sudah
dipercaya untuk memimpin sebuah organisasi bernama SP. Bahkan Pak Budi, Lurah
Pondok Bambu memberikan kepercayaan pada Rohimah dan SP untuk menggerakkan
masyarakat dalam membuat Bank Sampah. Tentu saja kesuksesan ini bukan hanya
kerja Rohimah, tetapi juga ibu-ibu lainnya yang juga belajar dalam program dan
mewujudkan keinginan damai dalam bentuk aksi nyata bagaimana membangun pondasi
“berhubungan” di masyarakat. Meskipun baru 20 nasabah Bank Sampah, sejak empat
bulan lalu, namun pergerakan penyadaran dan mobilisasi warga untuk mendukung
berdirinya Bank Sampah sangat bisa dirasakan. Bagi Rohima, Bank Sampah bukan
saja menjawab persoalan lingkungan di Pondok Bambu, tapi sekaligus menata pondasi
kohesi sosial di masyarakat agar bisa mengelolah perbedaan.
Tentu ini tidak mulus begitu saja. Dalam mempertahankan enam tahun organisasi, kebahagiaan dan kepahitan juga menyertai. Khususnya ketika saya berpikir pembangunan perdamaian adalah sebuah pergerakan. Maka ini adalah bentuk pergerakan yang tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Ketika satu persatu staf meninggalkan lembaga karena kepentingan pribadi maupun tuntutan masyarakat, harus diyakini bahwa perjuangan tidak putus. Mereka berkarya dalam bentuk berbeda. Tapi, sebagai seseorang yang melahirkan lembaga, pahitnya sama seperti seorang ibu yang melepas anaknya pergi merantau. Sakit, perih dan sepi rasanya. Bahkan saya kadang mengibaratkan sebagai seorang tukang dimana setiap satu bata saya tata, pada keesokan harinya berantakan kembali. Namun, bukankah ini sama seperti menata kembali relasi di masyarakat kita. Jadi, tidak ada alasan untuk berhenti ketika orang lain berhenti. Selama harapan masih ada di hati, maka perubahan akan niscaya.
Akhirnya, saya menyadari bahwa
memahami konsep transformasi konflik hanya dari teks tidak akan pernah
menemukan makna yang sesungguhnya. Tetapi memahami konsep dan mencobanya dalam
kehidupan nyata, akan memberikan keyakinan bahwa transformasi konflik itu
niscaya. ***
Artikel ini juga akan dipublikasikan di SALAM Newsletter milik Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia sebagai refleksi para staf yang bekerja dalam isu pembangunan perdamaian.
No comments:
Post a Comment