Refleksi adalah bagian penting pembelajaran. Terutama bagi pekerja lapangan seperti saya, memiliki waktu khusus untuk melakukan perenungan dan memikirkan strategi baru untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggara HAM, khususnya kasus Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB). Paramadina didukung oleh TAF mengundang saya dan beberapa kawan untuk merefleksikan kerja-kerja advokasi KBB. Ditemani oleh tiga akademisi berpengalaman pada isu ini, Rizal Panggabean (MPRK-UGM), Ihsan al-Farizi (Paramadina) dan Zainal Bagir (CRCS-UGM), refleksi menjadi menarik dengan munculnya beberapa wacana pendekatan penyelesaian konflik.
Rizal Panggabean mengelaborasi
tentang tiga macam pendekatan penyelesaian konflik yang berbasis pada kekuasaan
(power-based), hak (rights-based) dan kebutuhan (interest-based). Yang dimaksudkan dengan
pendekatan kekuasaan (power based approach) adalah menggerakkan segala daya upaya yang dimiliki dengan memanfaatkan ketertundukan pada struktur,
atau mengkompetisikan segala bentuk kekuasaan yang dimiliki. Tidak menutup
kemungkinan penggunaan represi, ancaman, intimidasi, win-lose, yang justru
memperparah pendekatan.
Pendekatan berbasis hak (rights-based approach) adalah model
penyelesaian masalah yang ditopang oleh aturan-aturan atau norma-norma yang
berlaku. Penggunaan instrument HAM sebagai alat justifikasi pelanggarana HAM
sekecil apapun. Biasanya ini dipakai untuk menyelesaian konflik sektarian,
kasus penodaan, konflik tempat ibadah yang biasanya menimbulkan polarisasi atau
pro dan kontra. Pendekatan alternative yang bisa dipakai juga adalah
Interest-based approach (IBA) yaitu sebuah model pendekatan yang bebasis pada
kebutuhan pihak-pihak yang bertikai sehingga bisa dicari jalan keluarnya dengan
menggunakan model dialog. Pendekatan ini mengharuskan sebuah kerja keras
kreatif karena penyelesaian konflik adalah space untuk kedua belah pihak
memberdayakan.
Menurut Rizal Panggabean, Interest-Based Approach ini sangat cocok
untuk menyelesaikan persoalan terkait dengan pelanggaran hak-hak minoritas
agama, tidak bisa secara kaku menggunakan satu pendekatan saja. Ini dianggap alternatif
karena membuka ruang untuk mengakomodasi kearifan lokal. Rizal menekankan bahwa
pendekatan ini dipilih oleh kedua belah pihak yang sedang bertikai dan mulai
membuka dialog-dialog untuk penyelesaian. Namun, kemudian muncul pertanyaan
terkait dengan definisi korban yang sangat specific menunjuk pada orang-orang
yang terkena dampak langsung di sekitar peristiwa, sementara orang di luar dari
setting kejadian dianggap bukan
korban dan kemudian tidak terlalu PD untuk memberikan komentar.
Concern lain adalah definisi interest,
yang tentu saja memiliki gradasi yang berbeda, karena interest bagi pihak-pihak
yang berkonflik tentu disandarkan pada pemenuhan HAM. Sebenarnya pemenuhan HAM
ini adalah termasuk ases pada kebutuhan dasar manusia terkait dengan akses
adminduk, kesehatan dan pendidikan, tetapi uniknya kita selalu melihat HAM dari
versi yang “keras” terkait dengan hak-hak kewarganegaan, sehingga seringkali
justru tuntutan praktis terkait dengan kebutuhan kebutuhan dasar, kurang
mendapatkan perhatian. Padahal ini yang praktis membuat korban pelanggaran HAM
bisa survive. Di level mana negosiasi
interest itu seharusnya diletakkan? Mana yang lebih dulu pemenuhan kebutuhan
dasar hidup atau kemerdekaan berekspresi? Tentu saja menurut saya ini tidak
bisa dibedakan karena keduanya harus dipenuhi sebagai elemen enabler untuk hidup. Tetapi tentu pada
tataran praktis tidak mudah menemukan common
interest tersebut. Dibutuhkan sebuah intensitas dialog sampai menemukan
sebuah kesepakatan yang berbasis pada kebutuhan
bersama. Tapi tentu saja penggunaan pendekatan interest bukan hanya tunggal,
tetapi tentu saja kedua pendekatan lain bisa dimanfaatkan dalam takaran
tertentu.
Tantangan dalam pendekatan ini
adalah pada elemen pemberdayaan dan tidak ada proses top down. Dalam konteks
Sampang. Beberapa initiative perdamaian yang dimunculkan banyak dimunculkan
oleh pihak ketiga. Misalnya Islah perdamaian, kemudian pengupayaan pulang ke
kampung halaman, yang kemudian harus dijegal oleh alotnya ijin para pengungsi
Sampang untuk diberangkatkan ke Pesantren Kyai Nur Iskandar untuk “belajar”
aqidah. Proses yang terbuka ini agak
ironis kalau dilihat dari sudut pandang bahwa masih sulit untuk meminta Siti
Rohmah untuk mengikuti pelatihan, masih sulit mengajak beberpa perempuan Syiah
untuk belajar di luar kelompoknya. Artinya bahwa kemungkinan segala bentuk
upaya untuk menyelesaikan persoalan, lebih banyak dilakukan oleh pihak ketiga,
sementara justru pihak pertama dan kedua yaitu orang Syiah dan sunni tidak
terlalu banyak membuka ruang-ruang pemberdayaan. Karena proses dialog tidak
diisi dan dimanfaatkan dengan baik, justru mereka hanya dilibatkan dalam
keputusan final.
Bagaimana dengan perempuan? Persoalan
pelanggaran HAM ini sebenarnya bagian dari menciptakan “jendela” kecil buat
perempuan minoritas yang mengalami diskiriminasi berlapis. Sayangnya “jendela”
kecil ini belum maksimal dimanfaatkan. Ketika AMAN Indonesia melakukan
pendampingan dengan YAKKUM dan Muhammidyah, “jendela kecil” itu dimanfaatkan
untuk memaksimalkan peran perempuan dalam mengelolah bantuan pengungsi. Dan
saat itu cukup efektif. Tapi tentu saja kita perlu membuka lebar-lebar jendela
itu agar perempuan minoritas bisa dengan mudah mendapatkan ruang pembelajaran
untuk transformasi korban ke survivor. Ini harus juga melibatkan kawan-kawan
NGO yang bekerja dalam pemberdayaan korban untuk juga secara sengaja dalam
kebijakannya memperhitungkan quota perempuan minoritas. ***
No comments:
Post a Comment