Tulisan
ini saya angkat dari pengalaman lapangan bekerja dengan The Asian Muslim Action
Network (AMAN) Indonesia yang melakukan penguatan kapasitas kepemimpinan
perempuan dan organisasinya di akar rumput di tiga kota yaitu Jakarta (Pondok
Bambu dan Cakung Barat), Bogor (Loji) dan Poso (Malei Lage dan Pamona) dengan
menggunakan framework transformasi konflik miliknya John Paul Lederac. Untuk
mendapatkan sebuah hasil optimal sesuai dengan kepentingan tulisan ini, saya ingin mengambil
pengalaman para ibu di Poso yaitu di salah satu desa bernama Malei Lage, kabupaten
Poso. Pemilihan Malei Lage memang disengaja karena tingkat diversitas
masyarakatnya, pengalaman unik membangun kembali relasi antara muslim dan
Kristen pasca konflik, juga tentang perjuangan mengikis distrust, dendam, keraguan dan bahkan perpecahan. Yurlianti, perempuan Kristen sederhana meniti perubahan
dirinya dari ordinary women to extra ordinary women. Proses menjadi
extra ordinary woman inilah yang ingin saya bagi untuk pembaca Suara Rahima,
karena mengajarkan bagaimana kepemimpinan perempuan dalam situasi pasca
konflik. Lebih jauh, tulisan ini akan menyuguhkan bagaimana kerangka kerja
transformasi konflik bekerja dalam konteks kepemimpinan perempuan. Sebelumnya,
saya ingin pembaca mengenal framework transformasi konflik dan bagaimana
aplikasinya ke dalam konteks kepemimpinan perempuan melalui diskripsi cerita
tokoh bernama Yurlianti atau Mama Monica.
Transformasi Konflik; Sebuah Kerangka
John Paul Lederach,
seorang Profesor di International Peacebuilding di Universitas Notre Dame,
Indiana. Perjumpaan saya dengan beliau pada tahun 2006 membawa pada kesimpulan
bahwa beliau adalah aktifis dan akademisi yang handal dalam bidang konflik
resolusi dan peacebuilding. Keterlibatannya dalam proses perdamaian di konflik Somalia,
Irlandia Utara, Nikaragua, Kolombia dan Nepal, menginspirasi munculnya teori
tranformasi konflik, yang kemudian dikembangkan dalam program di universitas.
Secara singkat, Lederach memaknai tranformasi konflik sebagai berikut:
Conflict transformation
is to envision and respond to the ebb and flow of social conflict as
life-giving opportunities for creating constructive change processes that
reduce violence, increase justice in direct interaction and social
structures, and respond to real-life problems in human relationships.
Untuk memudahkan kita
mencerna apa maksud dari definisi yang diberikan Lederach, saya rasa kita bisa
menggunakan analog bahwa transformasi konflik itu sama seperti perjalanan hidup
menjadi manusia yang menggunakan 3H 1L (Head, Heart, Hand and Legs) untuk
mencapai tujuan. Tujuan perubahan itu ada empat macam yaitu individu,
relasional, kultural dan stuktural. Saya lebih mudah menjelaskan tentang
perubahan itu menggunakan formulasi sederhana yaitu Head, Heart, Hand dan Legs.
Head. Adalah cara berpikir kita tentang bagaimana memandang konflik. Cara pandang ini sangat berpengaruh pada cara kita memperlakukan konflik. Konflik bukanlah statis. Mereka ibarat bagian dari bumi dimana ada gunung-gunung, lembah, sungai dan pepohonan menjadi elemen keindahan bumi itu sendiri. Di dalam konflik, tentu kita menemukan masa harmonis, masa berselisih, masa bersitegang, masa saling bunuh, cooling down dan bahkan sampai pada gencatan senjata. Memahami konflik sebagai bagian dari dinamika kehidupan manusia memaksa kita untuk berpikir cara-cara inovatif yang bisa menggiring masyarakat pada proses transformasi konflik. Ini yang mungkin oleh Lederach disebut sebagai transformational perspective (transfomasi individu), sebuah cara pandang yang berorientasi mengubah. Dalam menjalankan ini dibutuhkan sebuah kapasitas cara berpikir yang memandang konflik adalah fenomena alam dan berani menggunakan kapasitas tersebut dalam kerja-kerja pembangunan perdamaian.
Heart. Merupakan pusat kehidupan dari tubuh kita. Kita menemukan emosi, intuisi dan kehidupan spiritual dalam hati kita. Dari hatilah kita menjalin hubungan dengan manusia lainnya dan juga alam. Dari hatilah kita merasa tersakiti dan kemudian memutus hubungan dengan orang lain. Hati adalah pusat kita merasakan pergeseran rasa kita dalam merespon ajakan untuk berkonflik atau sebaliknya. Pondasi damai di masyarakat ditanam dengan hati yang memberikan kesempatan hidup bagi orang lain. Secara akademisi Lederach menyebutnya sebagai transformasi relasional, dimana sebuah perubahan itu terjadi pada orang-orang dekat kita.
Hand. Tangan menyimbolkan kerja. Makna yang dikandung adalah bahwa perdamaian harus dibuat. Ini adalah perwujudan dari head dan heart dalam sebuah aksi nyata di masyarakat. Ini yang Lederach maksudkan sebagai transformasi budaya. Yaitu, sebuah proses sosial mengubah relasi-relasi di masyarakat. Ini adalah pekerjaan yang panjang karena sangat berhubungan dengan dinamika perasaan manusia.
Yang terakhir adalah legs and feet, atau kaki. Kaki bisa dimaknai disini sebagai pijakan atau tanah tempat berpijak. Sama seperti tangan kita, kaki akan membumikan gagasan dan keberpihakan kita untuk membangun perdamaian dalam sebuah bentuk nyata. Target penting dalam sebuah proses transformasi konflik adalah mengurangi kekerasan dan merengkuh keadilan bagi siapapun. Ini bisa dimulai ketika relasi dengan diri sendiri dan dengan orang lain terbangun dengan setara, terbuka dan bermartabat. Transformasi structural inilah yang diharapkan Lederach bisa melengkapi perubahan individu, relasional dan budaya. Jadi, sebuah transformasi konflik itu terjadi jika ada perubahan pada diri kita, keluarga dan orang terdekat kita, masyarakat dan struktur di masyarakat.
Kepemimpinan Perempuan dalam
Transformasi Konflik
Saya
ingin menjelaskan bagaimana framework ini bekerja dalam kepemimpinan perempuan,
melalui diskripsi cerita pengalaman seorang perempuan dari Poso yaitu Yurlianti
atau biasa dipanggil Mama Monica. Cerita yang saya suguhkan ini tentu saja
hasil dari rekaman AMAN Indonesia selama melakukan pengorganisasian dan
pendampingan di Poso. Cerita yang dikonstruksi oleh penulis bersumber pada data
otentik laporan lapangan, observasi penulis di lapangan ketika melakukan
monitoring dan juga hasil evaluasi lembaga.
Mama Monica Punya Cerita
Mama Monica, begitulah
Ibu Yurlianti dipanggil keseharian. Salah satu perempuan inspirasional dari
Malei Lage yang mengalami transformasi dari ordinary
woman menjadi extra ordinary woman
(perempuan biasa menjadi luar biasa). Keaktifannya dalam mengikuti program
penguatan kapasitas perempuan untuk perdamaian yang dilaunching oleh AMAN
Indonesia sejak tahun 2008, memanen buah manis. Transformasi pada dirinya
bermula pada sebuah training dimana pertama kali dia diperhadapkan secara fisik
dengan perempuan muslim dari kampungnya sendiri. “Apakah kalau saya menegur,
mereka akan membalas? Jangan-jangan kita dijebak di markas muslim? Gimana
caranya saya menyapa mereka? Segudang pertanyaan ini berseliweran di kepalanya
manakala dia mengetahui kenyataan bahwa dia harus satu ruangan dengan
perempuan-perempuan muslim. Senyap pada awalnya, namun beberapa saat kemudian cair
oleh game dan diskusi kelompok yang memaksa setiap orang untuk berinteraksi
intensif secara fisik dan non fisik. Bukan saja kekakuan yang meleleh, dendam
yang terpendar tetapi juga prasangka mulai terkikis oleh niat tulus untuk hidup
damai dengan tetangga. Sebuah babak baru perubahan dibentangkan.
Dengan keyakinan
mendalam akan sebuah perubahan, Mama Monica memutuskan bergabung dengan kelas
regular yang sejak awal pembentukannya disebut sekolah perempuan perdamaian
(SP). Ini adalah proses penempaan perspektif, sikap dan tingkah laku seorang
pemimpin perempuan untuk menjalankan misi transformasi konflik. Tugas belajar
yang paling berat adalah transfer pengetahuan kepada suami, anak dan tetangga
terdekat. Tujuannya adalah memperbaiki relasi kuasa di dalam rumah dan
disekitar rumah. Mama Monica seringkali membiarkan buku catatan dan bahan-bahan
belajar tergeletak di ruang tamu agar sang suami penasaran dan membuka-buka isi
catatannya. Dengan begitu dialog dimulai. Anak adalah target perubahan yang
relatif mudah karena nilai baru yang didapatkan dari SP langsung diterapkan dalam
pola didik yang baru yaitu dialogis dan tidak
menggunakan kekerasan. Perubahan cara berpikir tidak cukup. Organisasi
perempuan yang ada di kampungnya, tidak menawarkan warna baru dalam
berorganisasi, selain menciptakan ketergantungan pada yang kuat. “ Kami ingin
mandiri dan berkembang,” kata mama Monica. Tidak ada pilihan kecuali membangun
organisasi perempuan yang kuat di Malei Lage agar kepentingan taktis dan
strategis perempuan bisa terkomunikasikan dengan pemangku kepentingan.
Setelah dua tahun
belajar perspektif perdamaian dan perempuan, SP mentransformasi diri menjadi
sebuah organisasi perempuan bernama Sekolah Perempuan Sintuwu Raya (SPSR). Mama
Monica dipercaya sebagai ketua oleh para ibu dari kelompok Kristen dan muslim. Perimbangan
komposisi perempuan muslim dan Kristen di dalam struktur organisasi menentukan
berhasil tidaknya proses rekonsiliasi diantara mereka. Sebut saja Ibu Ana,
seorang muslim, menganggap kepemimpinan
itu adalah kemampuan yang tidak ada hubunganya dengan ajaran agama.
Dengan kendaraan
organisasi SPSR, Mama Monica mendorong PKK di tingkat desa lebih aktif dengan
sumber daya manusia yang lebih maju, yaitu partisipan SP. Dia juga mendorong
kerjasama dengan organisasi-organisasi di lokal agar pesan perdamaian bisa
dibumikan. Antusiasme warga ditunjukkan dengan keterlibatan mereka pada training
masal membuat piring lidi, sebuah media yang dipilih oleh SPSR untuk memperkuat
relasi antar warga Kristen dan Muslim. Kini, SPSR dibawah kepemimpinan Mama
Monica menunjukkan bibit-bibit kemandirian organisasi secara keuangan. Saat ini
raturan piring lidi telah diproduksi dan dipakai oleh warga Malei Lage dan juga
restoran-restoran di wilayah propinsi Sulteng. Suami Mama Monica menjadi salah
satu trainer membuat piring lidi. Juga aktif mendukung istrinya dalam
menjalankan tugas-tugas SPSR.
SPSR juga menjadi
“konsultan” PKK untuk memajukan kapasitas kepemimpinan PKK dan
program-programnya. Intervensi SP bukan
saja memperkuat skill kepemimpinan perempuan di SPSR, tetapi juga di organisasi
lain seperti Aisyiah, PKK dan Wiyah melalui keterlibatan intensif kerjasama program. SPSR juga mengusulkan
perbaikan fasilitas pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk menjadi prioritas di
Musrembang tahun ini. Ini dilakukan karena SPSR memandang pendidikan anak
sangat penting, dan sejak dini penting diperkenalkan perbedaan di sekitar
anak-anak agar terbiasa berintegraksi dengan perbedaan. Berkembangnya SPSR dan
organisasi perempuan lainnya, memberikan perubahan yang penting pada jumlah
perempuan yang terlibat di dalam pengambilan keputusan strategis di Malei Lage.
Perwakilan perempuan semakin banyak di forum-forum desa termasuk Musrembangdes.
Menurut pengakuan Mama Monica, jika ada urusan terkait dengan perempuan dan perdamaian,
Kepala Desa sudah langung menghubungi SPSR.
Dari
cerita Mama Monica di atas, saya ingin menyampaikan bahwa kepemimpinan
perempuan itu memiliki agenda transformasi yang koheren, seperti kepala, hati, tangan dan kaki. Yang
sangat mendasar dari sebuah perubahan adalah cara pandang baru terhadap
konflik. Konflik adalah natural. Karena sifatnya natural, maka perlu dikelolah.
Hati adalah pusat mengelolah konflik, karena hati yang mengarahkan bagaimana
kita membangun relasi dengan orang lain. Perubahan cara berpikir Mama Monica
karena pengaruh dari SP, tidak lantas akan menciptakan sebuah perubahan.
Komitmen perubahan individu dia tidak akan bermakna apa-apa, jika tidak dipantulkan
pada orang-orang disekitarnya yaitu suami dan anak.
Kepemimpinan
perempuan membutuhkan wadah yang kondusif untuk mengakomodasi “ambisi baru”
dari diri perempuan pemimpin. Wadah terdekat adalah keluarga. Ketika suami dan
anak-anak Mama Monica menyediakan diri untuk berubah, bukan tindakan alamiah.
Tetapi dari sebuah upaya Mama Monica yang tersistematis untuk mensituasikan
suami untuk membaca buku catatannya yang sengaja digeletakkan di atas meja.
Juga perubahan pada anaknya, yang menjadi tidak tergantung pada figur ibu, juga
berkat pola asuh baru dan pengalaman mandiri yang diciptakan oleh Mama Monica
ketika dirinya diharuskan menghadiri kegiatan di luar desanya. Ini butuh
kelapangan hati dan keberanian diri untuk memulai. Semua aksi ini akan bisa
dilakukan jika kepala berubah dan hati berubah.
Kepemimpinan
perempuan harus dipraktekkan. Wadah efektif kepemimpinan perempuan di
masyarakat adalah organisasi. Secara sederhana ketrampilan mempengaruhi orang
lain haruslah teruji, dan berorganisasi adalah pilihan cerdas menempa skill
tersebut. Begitu pula pemahaman tentang demokrasi, keadilan gender, toleransi menghargai
perbedaan dan segudang prinsip-prinsip abstrak yang tidak mudah dihidupi oleh
seorang pemimpin tanpa organisasi.
Organisasi akan menempa seorang calon pemimpin dengan cara learning by doing. Artinya bahwa menjadi pemimpin membutuhkan wadah yang
kondusif untuk secara bertahap berani mencoba dan berani gagal untuk menemukan
bentuk ideal dari seorang pemimpin dan sebuah organisasi yang sehat. Interaksi
Mama Monica untuk menguatkan ikatan antar organisasi perempuan seperti PKK,
Aisyiah dan Perempuan Wiyah adalah upaya sinergi untuk menggalang solidaritas
perempuan Malei Lage untuk mempromosikan perdamaian di keluarga dan masyarakat.
Kedekatan dengan Kepala Desa dan memposisikan SPSR sebagai mesin kader dan
konsultan adalah upaya menyusup untuk melakukan perubahan struktural. Disamping
secara formal menghadiri Musrembang sebagai organisasi yang mewakili perempuan
selain PKK. Ini semua terjadi, karena “kaki” pemimpin perempuan menjalankan
fungsinya sebagai connector dengan
lembaga-lembaga lainnya.
Yang
paling membedakaan kepemimpinan perempuan di wilayah konflik dan non konflik
adalah pada elemen rekonsiliasinya. Bagi wilayah yang sudah pernah mengalami
konflik kekerasan seperti Poso, memori tentang damai sudah tertutupi dengan memori
kekerasan. Rasa tidak percaya, prasangka dan
kekerasan mengisi hampir seluruh relung ingatan masyarakat pasca
konflik. Bukan berarti bahwa perdamaian mustahil. Residu perdamaian di dalam
alam bawa sadar warga ini yang harus dibangkitkan kembali dan diterjemahkan ke
dalam bahasa aksi. Ini dibutuhkan sebuah ketrampilan kepemimpinan perempuan
yang mampu melakukan perubahan pada diri, keluarga, masyarakat dan kebijakan. ***
Bagian akhir tulisan ini tentang aplikasi framework transformasi konflik ke dalam kepemimpinan perempuan akan dipublish di majalah Swara Rahima dengan judul Mama Monica Punya Cerita: Belajar Kepemimpinan Perempuan dari Malei Lage
No comments:
Post a Comment