Terinspirasi oleh kuliah umum Prof. Sidney Jones yang berjudul "Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran" yang diselenggarakan oleh Yayasan Paramadina pada hari Kamis, 19 Desember 2013, saya kemudian melakukan refleksi dalam artikel ini. Kalau Prof. Sidney banyak mengupas tentang kelompok madani intoleran atau kelompok anti demokrasi yang main hakim sendiri, seperti GAPAS, FUI, FPI, HTI dan sebagainya, yang sangat mengancam demokratisasi di Indonesia. Saya sangat tertarik untuk melihat kapasitas di masyarakat madani toleran untuk melakukan counter wacana dan aksi, sebagai balancing power di Indonesia. Terutama saya ingin mewacanakan kembali pentingnya belajar dari gerakan feminisme untuk merumuskan model gerakan militantly moderate yang konkrit dan membumi.
Dalam Orasi ilmiahnya Prof. Sidney Jones menegaskan ke sekian kalinya bahwa ancaman besar demokrasi di Indonesia adalah kelompok yang main hakim sendiri dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Prof. Sidney yang saat ini sedang dipercaya memimpin Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), membeberkan fakta-fakta perkembangan kelompok-kelompok anti demokrasi ke arah anarkisme. Sebut saja sebuah kelompok bernama Gerakan Anti Pemurtadan dan aliran Sesat (GAPAS) yang berlokasi di Cirebon. GAPAS dianggap pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya pemboman di masjid Adz-Dzikir dan serangkaian aksi-aksi main hakim sendiri seperti penutupan stasiun televise Kristen pada tahun 2008, menutup paksa balai-balai pertemuan Protestan, dan bekerjasama dengan kepolisian melarang sekte “Surga Eden” dan menyerang kelompok Ahmadiyah di Manis Lor. Menurut Sidney, serentetan aksi ini seharusnya tidak terjadi jika dilihat dari petinggi GAPAS yang notabene sebagai pengurus MUI dan pengajar STAIN Cirebon.
Aksi intoleransi lain yang berujung pada kekerasan juga kerap dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), yang sebagian besar anggotanya dari Pamswakarsa, sebua milisi sipil yang dibentuk oleh orde baru untuk menyeimbangkan gerakan mahasiswa. Sudah menjadi rahasia publik juga kalau kelahirana FPI disponsori oleh Negara, dalam hal ini adalah pihak keamanan, sehingga sampai saat ini sector Keamanan tidak pernah tegas dengan sepak terjang FPI yang cenderung anarkis dan main hakim sendiri. Sederet rekor kekerasan yang diukir oleh FPI diantaranya adalah Insiden penyerangan aktifis toleran di Monas 2008, penutupan gereja penutupan diskusi Irsad Manji di Salihara 2012, melarang Konser Lady Gaga dan Kontes Miss World. Dari semua peristiwa ini, kita bisa melihat FPI dimenangkan oleh Negara. Artinya Negara (keamanan) menuruti agenda FPI untuk membatalkan atau membubarkan kegiatan yang dianggap sekutu dengan kemaksiatan.
Sisi gelap demokrasi yang sangat terasa adalah aksi-aksi kekerasan main hakim sendiri yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Data yang dilansir oleh Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) melaporkan sejak tahun 2005 sampai 2013 angka kejadian kekerasan dalam kategori main hakim sendiri di 13 propinsi di Indonesia menunjukkan angka yang konstan tinggi yaitu diatas 1000 kasus tiap tahunnya. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2005 dengan angka kejadian 1383 kasus dan 1401 kasus di tahun 2012. Data ini cukup mengindikasikan bahwa aparat keamanan tidak terlalu berfungsi dalam mencegah terjadinya kekerasan ini, tetapi juga masyarakat tidak lagi percaya dengan sistem peradilan sehingga terpaksa menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah daripada diserahkan kepada pihak kepolisian atau pengadilan yang sering memakan biaya tinggi. Lemahnya sistem peradilan kita ini yang membuat kelompok seperti FPI berkembang.
Tingginya angka kekerasan karena aksi vigilantisme ini juga dipengaruhi oleh posisi negara yang ambigu. Disisi lain negara mengutuk kekerasan yang terjadi, tetapi saat tertentu memberikan ruang bagi kelompok ini. Statemen Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi di tempo.com pada tanggal 24 Oktober 2013 , menyatakan bahwa FPI sebagai asset negara yang harus dipelihara dan menganjurkan pemerintah bekerjasama dengan FPI. Ini sangat ironi. Ormas yang selama ini menggunakan aksi-aksi kekerasan justru mendapatkan angin segar dari pemerintah. Sebelumnya, pada 21 Februari 2013 pada saat kampanye Pilgub Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menandatangani perjanjian dengan FPI untuk sepenuhnya menerapkan peraturan anti-Ahmadiyah. Ini terjadi karena di Jawa Barat merupakan propinsi yang paling tinggi tingkat kekerasannya.
Kelompok garis keras lain yang cukup massif dan rajin melakukan kerja-kerja underground adalah Hisbuth Tahrir Indonesia. Tidak seperti FPI, HTI lebih konsisten untuk tidak menggunakan kekeraan fisik, tetapi jauh lebih berbahaya karena nilai anti demokrasi ini menginternalisasi ke dalam individu anggotanya dalam usia yang sangat dini. Gerakan HTI sangat simpatisan dengan merespon isu-isu sosial dan kebencanaan sebagai media perekrutan anggota. Bahkan dibeberapa aksinya, HTI cukup berhasil memobilisasi perempuan dan anak-anak untuk melakukan protes BBM atau isu lainnya.
Hate Crime Law Bukan Solusi
Undang-undang seringkali dianggap resep manjur untuk menyelesaikan masalah aksi-aksi intoleransi yang dibumbui kebencian terhadap agama dan kepercayaan orang lain. Jika di Amerika kita mengenal Hate Crime Law, yaitu sebuah instrument hukum yang diciptakan untuk memberikan hukuman pada pelaku kejahatan yang disulut oleh kebencian terhadap agama, ethnik, orientasi seksual, gender, identitas gender atau keterbatasan fisik. Dalam konteks Indonesia, saya sendiri ragu apakah hate crime law bisa menjadi solusi atas banyaknya diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di negeri ini. Bukankah kita memiliki UUD 1945 amandemen 2000 yang begitu tegas mengakui kebebasan berekspresi, berkumpul dan beragama / berkepercayaan di Indonesia. Indonesia sudah menerima deklarasi HAM, juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on Cultural Economic and Social Rights (ICCESR). Disisi lain kita juga cukup banyak memiliki aturan-aturan yang diskriminatif dan cenderung memicu aksi kekerasan di masyarakat. Sebut saja SKB 3 menteri terkait dengan larangan Ahmadiyah, seharusnya tidak bisa muncul jika dirujukkan pada UUD 1945 sebagai sumber utama produk hukum Indonesia.
Banyaknya inconsistensi antara UUD 1945 dengan produk turunannya, membuat saya juga pesimis sama seperti Prof. Sidney yang merasa untuk mengendalikan kekerasan yang dipicu oleh kebencian agama di Indoensia, tidak bisa dijawab dengan aturan hukum. Dengan demikian RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) tentu bukan solusi jitu untuk menekan angka kekerasan. “zero tolerance” untuk kekerasan apapun harus jadi pendekatan untuk menegakkan kembali supremasi hukum di Indonesia. Prof. Sidney menyebutnya strategi “jendela pecah” atau the broken window strategy, artinya setiap ada satu masalah kekerasan maka pemerintah harus sepenuhnya menegakkan keadilan, sehingga ini menjadi efek jerah buat masalah lainnya. Jika satu masalah kekerasan tidak segera diselesaikan, maka tidak menutup kemungkinan akan memicu masalah kekerasan di tempat lainnya.
Gerakan Feminisme sebagai Penghalau Fundamentalisme, mungkinkah?
“ Satu-satunya contoh kelompok militantly moderate itu ya gerakan feminisme di Indonesia. Mereka begitu militan mempromosikan agenda perubahan dan masuk di semua lini pengambilan keputusan. Mereka cukup berhasil dalam mengupayakan,” tegas Ulil Absar Abdalah, aktifis Jaringan Islam Liberal yang juga berkesempatan hadir dalam acara memorial lecture di Paramadina. Menurutnya feminist itu memiliki militansi yang sehebat kelompok radikal. Saya terus terang saja agak ragu. Tetapi setelah saya renungkan kembali, ucapan Ulil memang tidak salah. Kalau boleh berkaca ke belakang, perjuangan para feminis Indonesia dalam mendorongkan pentingnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) merupakan capaian besar membawa isu kekerasan di ranah domestik ke publik. Apalagi di dalamnya juga menyangkut masalah marital rape atau perkosaan dalam rumah tangga yang tentu saja menuai pro dan kontra. Tetapi kegigihan mereka melakukan lobby intensif di kalangan DPR membuahkan hasil maksimal dimana pada tanggal 14 September 2003, RUU PKDRT syah menjadi Undang-Undang.
Banyaknya perempuan di wilayah pengambil kebijakan saat ini, tentu juga karena jasa pada feminis, dimana untuk melahirkan kebijakan yang pro pada perempuan dibutuhkan keterwakilan yang cukup di proses pengambilan keputusan. Meskipun tidak menjadi UU sendiri, tetapi UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilian Umum dan UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik setidaknya bisa dijadikan patokan untuk mendorongkan quota 30% di parlemen.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial, Marxisme dipandang mampu memobilisasi gerakan buruh dengan kekuatan kesadaran kritis “melawan kelas” yang militant. Bahkan sampai saat ini, gerakan buruh masih terbilang sangat solid dalam memperjuangkan hak-hak kesejahteraan buruh. Saya melihat feminisme memiliki karakter yang hampir mirip, tetapi jauh memiliki kekuatan ideologi maupun isu untuk menandingi fundamentalisme.
Pertama, secara ideologi feminisme merupakan satu-satunya teori sosial yang mampu melihat lapis relasi manusia yang paling pribadi, yaitu relasi perempuan dan laki-laki dalam kehidupan perkawinan. Sebuah ruang pribadi yang ditutup-tutupi oleh banyak orang karena dianggap ranah private. Feminisme sangat tajam menghubungkan sesuatu yang privat dengan publik. Personal is Political. Jargon ini akan memberikan kerangka analisis mikro ke makro tentang ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan karena jenis kelamin mereka.
Kedua, pengalaman ketertindasan perempuan sangat beragam dan dinamis dari satu perempuan ke perempuan lainnya. Meskipun demikian satu hal yang bisa menjadi benang merah dari berbagai bentuk ketertindasan perempuan adalah karena dia perempuan. Inilah yang kemudian memiliki kekuatan pemersatu perempuan dari berbagai macam latar belakang.
Ketiga, sifat gerakan, feminisme sangat memegang prinsip-prinsip non violence action dalam setiap aksinya, dengan didukung oleh kesadaran kritis dalam mendorongkan agenda perubahannya. Gerakan feminisme memperjuangkan kehidupan, sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan mencerminkan penghormatan yang tinggi pada kehidupan. Gerakan perempuan 1998 yang dikenal dengan Suara Ibu Peduli, hadir untuk menuntut kebutuhan susu bayi murah, bertransformasi menjadi gerakan nasional untuk menuntut turunnya harga bahan pokok. Contoh lain tentang keberhasilan non violence action juga ditunjukkan oleh para ibu di Liberia ketika menuntut penghentian perang dan mendorong peace talks segera dilakukan. Bahkan ketika negosiasi datelock di meja perundingan, mereka cukup melakukan blockade menutup pintu ruang sidang, sehingga para peserta perundingan perdamaian tidak bisa keluar sebelum menghasilkan keputusan “penghentian perang”.
Keempat, pesan yang diusung oleh gerakan feminisme sangat relevan dan konkrit. Mereka selalu mengusung narrative of life, dengan disertai bukti-bukti konkrit urgensi mengusung hak-hak perempuan terkait dengan akses pendidikan, kesehatan, upah setara, keamanan, kebutuhan berserikat, lingkungan hidup, kebebasan beragama dan berkeyakinan, kedaulatan pangan, budgeting, keterwakilan dalam pengambilan keputusan dan lain-lain. Setiap narasi yang disampaikan oleh gerakan feminisme selalu mengandung visi kesetaraan dan pembebasan perempuan sebagai manusia. Hampir tidak bisa ditemukan agenda yang diusung feminisme merugikan masyarakat, ini berbeda sekali dengan agenda yang diusung oleh kelompok fundamentalis yang selalu menargetkan pembatasan ruang gerak bagi kelompok minoritas termasuk perempuan.
Tentu saja gerakan feminisme memiliki tantangan besar pada budaya patriakal yang melanggengkan status quo berpikir bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Bahkan pemikiran seperti ini menempel pada banyak orang tanpa memandang derajat sosial, pendidikan, jabatan dan sebagainya. Ini sangat bisa dibuktikan, kalau kita lihat kembali agenda-agenda feminisme tentang Perlindungan Buruh Migran, Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, kemudahan akses safe abortion sebagai langkah taktis mencegah kematian ibu karena reproduksinya, selalu dihadang dengan sinisme yang luar biasa mulai dari kalangan keluarga sampai masyarakat luas.
Jalan masih panjang, saat ini Indonesia masih memiliki banyak sekali kebijakan yang tidak ramah pada perempuan. Pada Agustus 2013, KOMNAS Perempuan menemukan 342 Perda diskriminatif terhadap perempuan. 265 Perda menyasar kepada perempuan atas nama agama dan moralitas. 76 yang lain menyoroti cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas. 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi dan 27 tentang pemisahan ruang public laki-laki atas nama moralitas, dan 35 kebijakan terkait dengan pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan dalam bergerak, pilihan pekerjaan dan perlindungan serta kepastian hukum. Tentu ini tidak mudah. Gerakan feminisme tentu akan selalu dihadang oleh gerakan anti demokrasi atau fundamentalisme yang tidak menyetujui agenda perubahan yang dinilai kebarat-baratan. Pilihanya hanya satu yaitu terus konsisten melawan secara kolektif dengan tanpa kekerasan. ***
Anda kemungkinan juga akan membaca artikel yang sama di website DK-Insufa melalui link ini.
Sumber foto di link ini.
No comments:
Post a Comment