Islah Perdamaian yang sudah dikukuhkan pada tanggal 23 September 2013 belum bisa mengembalikan puluhan warga Shia yang dilokalisir di Rusun Jemundo Puspa Agro, Sidoarjo. Ketulusan para perwakilan masyarakat Sampang yang menginginkan saudara-saudara mereka kembali ke kampung halaman mereka tampaknya harus berhadapan dengan kekakuan rezim Propinsi dan Kabupaten Sampang yang sama-sama bersikukuh untuk melakukan pertaubatan sebagai syarat kembali ke kampung halaman. Tentu saja ini bukan rekonsiliasi yang diinginkan oleh banyak pihak.
Saya ingin mengajak beberapa pihak untuk refleksi "mengapa rekonsiliasi yang digagas oleh masyarakat akar rumput kurang berhasil?". Pertama, saya rasa penting melihat komposisi siapa yang terlibat di dalam rekonsiliasi. Apakah mereka aktor ring satu yang terlibat dalam incident kekerasan yang terjadi beberapa kali? Artinya apakah pihak Kyai Karar sebagai tokoh ring pertama, sudah dilibatkan ke dalam proses rekonsiliasi. Mengapa? Kita harus ingat bahwa Madura memiliki patron-client yang sangat kuat. Kyai adalah figur utama yang sangat dihormati, mengalahkan pejabat pemerintah. Sebuah rekonsiliasi yang baik haruslah menempatkan dividers seperti kyai Karar dan pengikutnya sebagai aktor utama yang terlibat dalam rekonsiliasi.
Kedua, tentang acceptance. Syarat utama rekonsiliasi adalah penerimaan yang kuat dari tingkat masyarakat dimana para korban bertempat tinggal. Ini syarat mutlak, karena memang merekalah yang akan mejalankan proses itu. Sementara warga lain yang berada di luar dusun Blu'uran, Desa Nangkernang hanyalah sebagai support sistem saja. Saya rasa penting mendengarkan suara langsung dari Dusun untuk benar-benar mengecek level penerimaan warga terhadap saudara saudari mereka yang ingin kembali.
Ketiga, kristalisasi di masyarakat Jawa Timur tentang penyesatan pada Shia masih menguat. Sebuah rekonsilaisi membutuhkan jaminan atau dukungan luas dari berbagai pihak di tingkat Jawa Timur. Termasuk tokoh informal dan formal yang sepakat untuk menerima perbedaan sunni dan shia, dan meletakkan ini sebagai kekuatan untuk membangun Jatim, bukan malah memporakporandakan kesatuan Jatim.
Noisy v.s Silent
Tidak ada sebuah rumusan yang baku untuk menyelesaikan persoalan. Tetapi dalam konteks Sampang rasanya perlu mempertimbangkan kembali model-model pendekatan penyelesaian dengan cara-cara Noisy. Apa itu? Cara noisy dalam pemahaman saya adalah sebuah pendekatan pencitraan di media yang bertujuan menggerakkan simpati publik akan setiap langkah-langkah penyelesaian kasus konflik. Pendekatan ini baik. Tetapi dalam beberapa konteks tentu perlu dipertimbangkan, apalagi ketika sebuah manuver atau upaya menimbulkan reaksi resistensi yang semakin kuat dan semakin membuat garis yang semakin tegas. Contoh Islah Perdamaian yang digagas oleh ABI, dibalas dengan Tabliq Akbar yang diselenggarakan oleh kubu Sunni di Sampang sebagai upaya protes bahwa mereka tidak pernah melakukan rekonsiliasi dengna pihak Shia. Contoh kecil ini sebenarnya mengingatkan kita semua bahwa pendekatan noisy perlu hati-hati.
Dialogue tentu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini. Saya lebih memilih "silent diplomacy" untuk mencoba menggandeng sebanyak mungkin connectors untuk penyelesaian kasus Sampang. Siapa mereka? Para tokoh perempuan informal yang mungkin tidak terlalu tampak di publik menarik untuk didekati. Tentu saja tidak mudah. Tetapi pendekatan kemanusiaan dengan strategy "perempuan bicara dengan perempuan" mungkin sedikit bisa membuat jendela kemungkinan untuk menyelesaikan masalah. Para pemuda juga menarik untuk didekati sebagai kelompok yang bisa memberikan perspektif yang berbeda.
Pendekatan dialogue dengan isu pertanian organik juga memungkinkan dilakukan karena akses tanah bagi pengungsi shia begitu sulit dan tidak ada jaminan perlindungan hak-hak terhadap tanah para pengikut shia yang ditinggalkan begitu saja di kampung halaman mereka. Para pegiat pertanian organik bisa membantu mendorongkan isu ini sebagai langkah menguatkan petani Indonesia, termasuk menguatkan kohesi sosial.
Ada banyak model dialogue yang bisa dilakukan. Tapi saat ini tampaknya setiap pihak harus bersabar dulu untuk tidak "kremungsu" atau terburu-buru mempublikasikan setiap step dialog yang bertujuan untuk menjembatani komuinikasi banyak pihak tentang kasus Shia ini. Kebencian yang sudah mengkristal butuh dilelehkan terlebih dahulu. Pemerintah bisa menggunakan percepatan MDGs dan perbaikan desa tertinggal untuk mendorongkan proses development yang bermuatan rekonsiliatif, sehingga baik pelaku dan korban dapat benefit dari pembangunan. ***
Sumber Foto bisa dilihat disini
No comments:
Post a Comment