Perempuan minoritas mengalami diskriminasi berlapis-lapis. Sebagai perempuan mereka sering dianggap kelas kedua dan sedikit otoritas dalam memutuskan keputusan strategis untuk perempuan sendiri, apalagi untuk masyarakat luas. Saya masih ingat dengan hasil enggement AMAN Indonesia, lembaga dimana saya bekerja bahwa kelompok perempuan minoritas dari Ahmadiyah misalnya harus menunggu keputusan dari majelis utama dimana laki-laki sangat dominan. Di kalangan Shia, perempuan juga sangat lemah tingkat leadershipnya sehingga sirkulasi informasi sulit sampai ke mereka jika dibiarkan natural. Perempuan elit mungkin masih bisa mendapatkan akses lebih mudah. Saya juga surprise, ternyata perempuan GKI Yasmin yang saya anggap sangat progresif juga mengalami nasib yang sama, bahwa mereka tidak bisa memutuskan sendiri apa yang dianggap baik oleh kelompok perempuan. Dewan gereja harus memberikan restunya.
Adanya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dapat memberikan perspektif lebih jelas tentang bagaimana memposisikan perempuan dan laki-laki setara dan memiliki akses politik yang sama. Terlebih lagi kalau ini bisa diterapkan secara teknis ke dalam perencanaan pembangunan. Tentu indikator akan semakin jelas dan langsung mengena sasaran yang tepat. Sayangnya, pembahasan RUU KKG masih macet. Salah satu partai politik yaitu Partai Keadilan Sejahtera tidak sepakat adanya RUU ini. Menurut mereka ini sangat bertentangan dengan kodrat perempuan. Padahal kalau dilihat isinya, RUU ini memberikan tempat semulia-mulianya pada kedua gender karena memang mereka terlahir setara. Seperti yang disampaikan oleh Al'Quran Surat Alhujurat ayat 13 bahwa hanya ketaqwaan saja yang membedakan laki-laki dan perempuan. Semoga PKS mau membaca dan mencerna lagi isu RUU KKG, sehingga bukan hanya permepuan biasa yang terselamatkan, tetapi juga perempuan minoritas memiliki akses seluas-luasnya untuk penguatan leadership mereka. ***
Sumber foto here
No comments:
Post a Comment