Mengapa Penting Pembatalan Aturan-Aturan Diskriminatif Perempuan?
”Ayah…Maafin putri ya yah, Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani bersumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu putri cuma mau nonton kibot di Langsa, terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri[2].”
Begitulah pengakuan Putri, siswi kelas 2 SMP asal Aceh Timur sebelum mengakhiri hidupnya karena merasa terhina dengan tuduhan semena-mena dari aparat penegak Shariah Islam di Aceh. Kasus salah tangkap ini juga terjadi pada Lilis Lisdawati Mahmuda di Kota Tangerang tahun 2008 yang karena tekanan masyarakat mengucilkan diri. Satu tahun kemudian nasib serupa menimpa Fifi Aryani yang ditangkap Satpol PP pada malam di bulan Mei 2009. Korban akhirnya menceburkan diri di Sungai Cisadane lantaran ketakutan dirazia.
Kita juga sempat disentakkan dengan gagasan tes keperawanan terhadap siswa-siswa yang diusulkan oleh Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Ide serupa pernah dijalankan di Indramayu-Jawa Barat yang memberikan efek trauma pada seorang gadis Indah (nama samara). Hasil pendampingan kasus Women Crisis Center (WCC) Balqis dan Yayasan Fahmina[3] di Cirebon, Indah (18), siswi dari salah satu SMA Indramayu terpaksa tidak bisa mengikuti ujian akhir karena dinyatakan “tidak perawan” (robek selaput dara) setelah dites. Kesimpulan sepihak tanpa meminta klarifikasi dari korban bukan saja menghancurkan masa depan korban tapi meninggalkan malu karena seisi desa mengetahui kondisi ini.
Aturan mendisiplinkan tubuh perempuan juga termasuk kode etik berpakaian, cara duduk di atas motor, jam malam, dan partisipasi publik perempuan bisa ditemukan di 265 kebijakan diskriminatif dari 342 kebijakan hasil identifikasi KOMNAS Perempuan[4], yang langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas. 79 kebijakan mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas, 124 kebijakan terkait dengan prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang segregasi ruang publik perempuan dan laki-laki (19 diantaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum) dan 35 kebijakan terkait dengan pembatasan jam malam. Human Right Watch[5] juga mencatat di Gorontalo, pemerintah daerah mengganti seluruh staf perempuan sekretaris dengan laki-laki untuk mencegah perselingkuhan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kondisi perempuan minoritas agama mendapatkan diskriminasi berlapis, sebagai pengikut agama minoritas dan sebagai perempuan. Ada 31 Kebijakan pembatasan hak atas kebebasan beragama dan jaminan perlindungan bagi komunitas minoritas agama, yang berkontribusi pada tingginya angka kekerasan. Setara Institute[6] merilis data kekerasan sejumlah 292 insiden kekerasan pada tahun 2013. Tingginya angka kekerasan karena adanya pembiaran aparat pemerintah dan lemahnya penegakan hukum sehingga tindak kekerasan main hakim sendiri dilakukan sekelompok massa merajalela. Bahkan pejabat negara di tingkat lokal berani mangkir dari keputusan Pengadilan Negeri yang memberikan ijin pendirian Gereja GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia.
Negara bahkan tidak memberikan solusi apapun atas terusirnya ratusan pengikut Jama’ah Ahmadiyah di NTB sejak 2006 dan terpaksa mengungsi di Asrama Transito Lombok. Kejadian yang sama juga menimpa pengikut Shiah di Sampang, Jawa timur. Sampai saat ini, pemerintah nasional belum memberikan solusi adil untuk mengembalikan hak-hak perdata korban kekerasan main hakim sendiri. Perempuan menjadi pihak paling rentan bukan saja menerima terror, pelecehan, dan ancaman, tetapi kehilangan asset ekonomi, kepercayaan diri, dan cenderung menutup diri.
Perempuan-perempuan marginal seperti disabilitas yang mendapatkan mendapatkan diskriminasi , salah satunya kesempatan kerja. Laporan The World Health Survey[7], menyatakan bahwa di 51 negara angka tenaga kerja perempuan difable rendah 19.6% dibandingkan laki-laki difable 52.4%, juga lebih rendah dibandingkan dengan perempun bukan difable 29.5% dan laki-laki bukan difable 64.9%. Perempuan minoritas orientasi seksual dan pekerja seks komersial, perempuan di perbatasan, buruh perempuan juga sangat rentan terhadap kekerasan karena status mereka.
Diskriminasi, baik melalui budaya berjalinan dengan produk hukum merasuk ke semua lini sehingga menyebabkan perempuan mengalami kendala dalam akses terhadap hak-haknya. UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang merupakan produk hukum penting dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga masih menyisakan pekerjaan rumah yang panjang bagi penegakan hukum yang berpihak pada perempuan korban. Saat ini angka KDRT khususnya kekerasan terhadap istri tahun 2013 mencapai 203.507[8]. Sedangkan fakta tingginya angka itu belum terimbangi oleh aturan, perspektif aparat penegak hukum dan masyarakat yang adil gender. Sebagai contoh konsep cerai dalam aturan ajaran Islam masih dianggap sebagai hak suami, sehingga ketika istri melakukan gugat cerai maka akan gugur hak-haknya atas nafkah iddah dan mut’ah tanpa mempertimbangkan alasan dibalik gugat cerai yang dilakukan istri. Dalam banyak kasus, dimana perempuan korban KDRT dituduh nusyuz (durhaka terhadap suami) ketika meninnggalkan rumahnya sedangkan itu diperlukan untuk mengamankan diri.[9]
Uforia implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pembagian wewenang pemerintah daerah (pemda) dan asas-asas pembentukan peraturan daerah (perda) berkontribusi pada mempersempit gab rakyat dan pemimpinnya menjadi dekat sehingga aksesibilitas dan akuntabilitas pemerintahan daerah tercapai. Ini artinya, disatu sisi telah menciptakan ruang-ruang baru demokratisasi masyarakat, tetapi pada saat bersamaan juga banyak memunculkan kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap pemenuhan hak-hak warga negara, khususnya perempuan. Ini karena ruang kontestasi bergeser dari nasional ke daerah, dan kelompok agama konservatif berhasil merebut posisi strategis pengambilan keputusan. Sehingga agenda “Islamisasi state” justru malah mendapatkan ruang di daerah. Apalagi politisasi agama atas nama moralitas masih “laku” sebagai jualan politik. Tubuh perempuan adalah lokus kontestasi itu.
Kebijakan Anti Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan
20 tahun lalu, para pemimpin dunia secera kolektif mengakui hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan dalam the Fourth Conference on Women yang menghasilkan dokumen Beijing Platform for Action. Indonesia bahwa telah meratifikasi the Convention on the Elimination of All forms Against Women (CEDAW) ke dalam UU No. 7 Tahun 1984. Guna menegaskan kembali komitmen dunia akan human dignity, kesetaraan dan kesamaan hak, the Millenium Development Goals (MDGs) disepakati sebagai kerangka global pembangunan dengan menumpukan pada prinsip-prinsip hak-hak azasi manusia dan penghormatan pada diversitas agama, kelas, etnik, sex, kemampuan fisik/mental dan orientasi seksual.
UUD 1945 yang telah diamandemen tahun 2000, telah menunjukkan 40 hak-hak konstitusional[10] yang dapat dinikmati oleh warga negara perempuan. Dan untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan sesuai dengan mandate CEDAW, Indonesia mengesahkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk perlindungan terhadap orang-orang disabilitas, 138 negara sudah meratifikasi The Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang juga mempromosikan dan melindungan hak-hak perempuan dan anak perempuan disable.
Indonesia juga sudah memiliki berbagai aturan hukum yang mendukung perlindungan perempuan dan anak diantaranya UU No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian Negara RI, mengenai Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah, dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Hak Anak, dan UU No. 19 Tahun 2011 tentang ratifikasi pengesahan konvensi disabilitas. Terkait dengan peningkatan representasi perempuan di politik yang dipatok minimal 30%, Indonesia sudah membuat UU No. 31 Tahun 2002, tentang Partai Politik dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.
Semua aturan-aturan yang sudah ada ini tentu menyiratkan komitmen tinggi negara untuk melindungi warga (perempuan) terhindar dari diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Aturan-aturan ini yang seharusnya menjadi landasan lahirnya aturan-aturan turunan di tingkat daerah. Dan sekaligus menjadi landasan implementasi MDGs dan kerangka kerja lainnya. Sehingga cita-cita bangsa untuk menjamin kesejahteraan warga negara, terefleksi betul ke dalam perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Rekomendasi untuk Pemerintah Baru 2015
1. Merevisi atau jika diperlukan mencabut seluruh aturan-aturan yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak di tingkat daerah dan nasional
2. Mendorong usulan KOMNAS Perempuan untuk menyusun peraturan daerah yang implementatif bagi penyelenggaran pelayanan berkualitas dan optimal bagi perempuan korban kekerasan, serta secara berkelanjutan mengawasi dan memperkuat implementasi dari kebijakan tersebut.
3. Memberikan kompensasi material/ immaterial dan akses keadilan bagi korban kekerasan terhadap perempuan.
4. Menghentikan impunitas pada pelaku kekerasan terhadap perempuan dan membentuk sistim peradilan yang berpihak pada perempuan korban, terutama perempuan miskin dan marginal.
5. Mengesahkan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) demi terciptanya kondisi yang lebih baik terutama bagi kaum perempuan. Disahkannya RUU KKG menjadi UU KKG diharapkan bisa menekan angka kekerasan terharap perempuan tak hanya di ranah domestik tapi juga internasional.
***
Kertas Posisi disusun oleh Ruby Kholifah (AMAN Indonesia) dan Imun (LBH APIK)
[1] Disusun oleh Ruby Kholifah, the Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, dwiruby@amanindonesia.org
[2] http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/1119-siapa-butuh-perda-perenggut-nyawa.html
[3]http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/1052-tes-keperawanan-bentuk-kebijakan-yang-salah.html
[4] http://www.komnasperempuan.or.id/2013/08/siaran-pers-komnas-perempuan-kebijakan-diskriminatif-yang-bertentangan-dengan-konstitusi/
[5] http://www.hrw.org/sites/default/files/related_material/indonesia_in_3.pdf
[6] http://www.setara-institute.org/sites/setara-institute.org/files/Reports/Thematic/140121-Ringkasan%20Eksekutif%20LAPORAN%20KBB%202013.pdf
[7] World Health Organization and World Bank. (2011). “World Report on Disability”, Geneva: WHO Press.
[8] Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012
[9] Kertas Kebijakan Asosiasi LBH APIK (2013), “Membangun Sistim Peradilan Keluarga Terpadu untuk Penyelesaian Masalah Keluarga di Indonesia”
[10] 40 Hak Konstitusional terdiri dari Hak Atas Kewarganegaraan, Hak Atas Hidup, Hak Untuk Mengembangkan Diri, Hak Atas Kemerdekaan Pikiran dan Kebebasan Memilih,…secara lengkap bisa dilihat di link http://www.stigmafoundation.com/2011/02/40-hak-konstitusi-dalam-14-rumpun.html
No comments:
Post a Comment