Awal bulan February 2014, AMAN Indonesia mengundang Siti
Rohmah untuk menghadiri workshop capacity building di Jakarta. Sayangnya ijin
tidak bisa didapat. Gadis 14 tahun ini salah seorang pengungsi Syiah Sampang
yang sehari-hari mengajar baca tulis anak-anak dan ibu-ibu di rusun Puspo Agro
Jemundo Sidoarjo. Keinginannya untuk meneruskan pendidikan di SLTP harus
dipendam, karena kedua orang tuanya kurang mampu. Belum lagi penyakit kronis
yang dialaminya, membuat hampir semua asset keluarganya terjual. Gambaran ini
lengkap menceritakan betapa malang ia terusir dari tanah kelahirannya, tidak
berdaya untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan, hanya karena ia
bagian dari kelompok minoritas (agama). Rohmah
juga harus mengubur dalam-dalam keinginan dia untuk menikmati “kemewahan”
mendapatkan kesempatan belajar. Kesulitan mendapatkan ijin dari keluarga atau
dari pimpinan organisasi membuat banyak perempuan minoritas terhabat proses
keberdayaannya. Padahal mereka mendapatkan diskriminasi berlapis dan mengalami
bentuk kekerasan yang ekstrim pada saat penyerangan.
Pada Kasus penyerangan di Lombok Barat,
Komnas Perempuan melaporkan perempuan Ahmadiyah Dusun Ketapang, Desa Gegerung,
Kecamatan Lingsar, mengalami penurunan kesehatan pasca penyerangan. Seorang ibu
korban penyerangan mengalami tekanan sampai tidak mau makan selama tiga hari
dan mengalami stress hingga akhirnya harus dirawat di RSJ Mataram. Ibu lainnya
mengalami keguguran pada usia kehamilan 4 bulan. Keguguran itu diduga akibat
beban menggendong anaknya yang berumur 5 tahun saat menyelamatkan diri dari
serangan massa. Setelah seminggu tinggal di pengungsian, ia mengalami keguguran
dan akhirnya dilarikan ke RSU Mataram. Ibu-ibu lainnya mengaku kesehatan
reproduksi termasuk penggunaan alat kontrasepsi menjadi terabaikan sejak
penyerangan dan tinggal di pengungsian.[1]
Sejak
insiden penyerangan warga syiah di Sampang pada Desember 2011, sampai saat ini
menyisakan banyak penderitaan, terputusnya akses ekonomi, pendidikan, dan juga
tercerabutnya kemerdekaan beribadah dan berinteraksi dengan masyarakat luar
karena harus hidup dibawah kontrol Pemerintah Daerah selama menempati Rusunawa
Puspo Argo di Sidoarjo. Tercerabutnya kemerdekaan untuk beribadah juga
dirasakan oleh ratusan warga HKBP Filadefia-Bekasi, HKBP Getsemani, Pondok Timur
Bekasi dan GKI Yasmin Bogor. Dimana
surat sakti kemenangan gugat keabsahan pendirian gereja tidak lantas membuka
borgol gereja. Sampai saat ini, mereka masih beribadah di pinggir jalan dan di
depan Istana Merdeka. Perempuan-perempuan ini juga bukan saja mengalami
tekanan, terror, dan intimindasi, tetapi juga mengalami dilemma besar
mengajarkan tentang toleransi pada anak-anak mereka. “ Anak saya merasa takut
melihat orang berjilbab”, curhat Bu Ning.
Jika
kita melihat data yang dikeluarkan oleh SETARA Institute, tahun 2013, kejadian
kekerasan mencapai 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan
dengan 292 bentuk tindakan yang tersebar di 20 provinsi. Terdapat 117 tindakan
negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai actor, dan 175
tindakan yang dilakukan oleh aktor non Negara. Seperti hasil pemantauan pada
tahun-tahun sebelumnya, angka pelanggaran tertinggi terjadi di Jawa Barat.Jawa
Barat menjadi tempat tumbuh suburnya pelanggaran , yaitu dengan 80 peristiwa
pada tahun 2013. Disusul kemudian oleh 5 provinsi lainnya dengan tingkat
pelanggaran paling tinggi yaitu;Jawa Timur (29), Jakarta (20), dan Jawa Tengah
(19) peristiwa, serta Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan (masing-masing15 dan
12 peristiwa). Dengan demikian, meskipun terjadi penurunan dari angka tahun
lalu, angka pelanggaran masih sangat tinggi, yaitu rata-rata 18,5 peristiwa dan
2,433 tindakan setiap bulan. Wilayah sebaran tertinggi juga tidak banyak
berubah, selain dengan meningkatnya angka pelanggaran di Sumatera Utara.[2]
Di
dalam disiplin hak asasi manusia, ada tiga bentuk pelanggaran oleh negara,
yaitu; [a]dengan cara melakukan tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya
pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan
kebebasan seseorang dalam beragama/berkeyakinan (by commission);[b] dengan cara
membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar (by omission),termasuk
membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak diproses
secara hukum, dan (c) dengan cara membuat peraturan yang memberikan peluang
bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (by rule/judiciary). Sedangkan
bentuk pelanggaran oleh actor non Negara berupa ancaman kekerasan, pengusiran,
penutupan rumah ibadah, penyerangan, penutupan akses publik dan lain-lain.
Jaminan Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan di Indonesia
25
November 1981 telah dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55
tentang Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi
Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration
on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On
Religion Or Belief). Deklarasi Beijing dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), yang diadopsi tahun 1979 oleh General Assembly PBB
merupakan kesepakatan mengikat tentang pemenuhan hak-hak perempuan, termasuk
bebas dari kekerasan dan rasa takut. Ini juga sudah diratifikasi oleh Indonesia
menjadi UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi aturan Internasional terhadap
Penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Pada tahun 2005,
komitmen jaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan semakin kuat
ketika Indonesia meratifikasi Kovenan Internasonal Hak-Hak Sipil dan Politik (the International Covenan on Civil and
Political Rights-ICCPR). Ratifikasi ini berimplikasi bahwa negara harus
melindungi dan menjamin hak-hak yang dijaminan Kovenan, negara harus melakukan
segala upaya perlindungan baik jaminan hukum atau kebijakan yang sesuai dengan
Konvenan, dan mewajibkan negara untuk melakukan tindakan pemulihan (remedy) kepada korban pelanggaran
hak-hak yang diatur dalam Kovenan.[3] Merujuk pada
pasal 18 Kovenan yang mengatur tentang kebebasan berfikir, beragama atau
berkeyakinan, negara Indonesia mempunyai kewajiban melindungi kebebasan
berfikir, beragama atau berkeyakinan, dan melakukan langkah-langkah untuk
menjamin perlindungan dengan melakukan tindakan administratif, legislatif
maupun hukum, dan juga memberikan jaminan atas pemulihan terhadap pada korban
pelanggaran hak-hak yang dijamin dalam Kovenan[4].
Jaminan kemerdekaan
beragama juga bisa dilihat pada UU No. 39 tahun 1999, dimana setiap individu
dijamin haknya untuk bebas dari tindakan dan perlakukan yang diskriminatif
diantaranya; setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Setiap orang diakui sebagai manusia
pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang
sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum, dan berhak mendapat
bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak
berpihak.[5]
Komitmen
negara untuk melindungi hak dasar warga negara dituangkan dalam UUD 1945
amandemen tahun 2000, yang tercurah pada pasal 28E Ayat (1) dan (2), Pasal 28I,
dan Pasal 29 ayat (2).
UU no 39/1999 tentang HAM dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Konvenan Sipil
dan Politik semakin mempertegas jaminan kebebasan beragama. Kebebasan beragama
merupakan hak fundamental setiap individu yang tidak bisa dikurangi dalam
keadaan apapun. Negara selain mempunyai kewajiban untuk menjamin hak
fundamental itu, juga wajib untuk memastikan bahwa setiap warga Negara
khususnya kelompok minoritas terbebas dari sasaran diskriminasi.
Dari segala bentuk perlindungan negara
terhadap hak-haknya, elemen perlindungan hak-hak perempuan dan pemberdayaan
perempuan minoritas seharusnya menjadi perhatian khusus karena kondisi rentan
mereka dalam struktur dan sistem masyarakat kita yang diskriminatif terhadap
kelompok minoritas. Perempuan selalu ditempatkan pada posisi paling rentan
terhadap diskriminasi dan kekerasan.
Rekomendasi
Untuk
itu, di tahun politik ini perlu diperjuangkan agenda politik yang mampu membawa angin perubahan untuk kebebasan
beragama dan berkeyakinan bagi semua warga Negara Indonesia. Selain itu segala
bentuk kebijakan yang mengkhianati UUD RI 1945 harus dihapuskan demi Indonesia
yang beradab dan bermartabat. Penegakan hukum bagi kelompok-kelompok
pelaku kekerasan harus dilakukan agar kekerasan yang terjadi tidak akan
melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya. Berikut rekomendasi untuk agenda
politik 2014:
1. Negara
wajib memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pelaksanaan
ibadah bagi semua warga Negara.
2. Penghapusan
segala kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas dan perempuan.
3. Pengembalian
warga minoritas yang masih tinggal dikembali kelompok minoritas yang terusir
dari tanah kelahirannya.
4. Pengembalian
asset milik kelompok minoritas(agama).
5. Penegakan
hukum bagi kelompok pelaku kekerasan dengan memberikan hukuman yang adil,
rehabilitasi dan resitusi korban kekerasan seksual dan berbasis gender
6. Pemenuhan
hak-hak reproduksi korban kekerasan seksual dan berbasis gender selama masa
recovery dan rehabilitasi
Ditulis oleh Hanifah dan Ruby Kholifah untuk kepentingan Indonesia Beragam
[1]Dwi
Rubiyanti K dkk, 2012, “ Catatan Awal Tahun 2012 tentang Kondisi Kebebasan
Beragama Indonesia”, Dewan
Koordinator (DK) Sektor Demokrasi dan HAM
[2]
Ringkasan Eksekutif SETARA Institute Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia 2013.
[3] Lihat Pasal 2 ayat (1),
(2) dan (3) Kovenan Internasonal Hak-Hak Sipil dan Politik.
[4]
Zainal Abidin dalam Catatan Awal Tahun Kondisi Kebebasan Beragama, diterbitkan
oleh Dewan Kordinator Demokrasi dan HAM
[5] Lihat Pasal 3, Pasal 5
dan pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
No comments:
Post a Comment