1 Agustus 2013, Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengadakan rapat pembentukan Tim Rekonsilasi Sunni-Shia di Jawa Timur. Prof. Abd. A'la ditunjuk sebagai ketua Tim karena komitmen dan keberadaannya di Jawa Timur, sehingga bisa secara intensif melakukan komunikasi dengan grass root. Baru-baru ini, kita juga dikejutkan dengan penandatanganan piagam perdamaian pada tanggal 3 September 2013 yang diinisiasi oleh sekelompok pemimpin masyarakat yang cinta perdamaian dan menginginkan islah perdamaian berjalan dengan baik. Merka menggunakan nama Lembaga Persatuan Umat Islam (LPUI). 70 warga Sampang dan Madura yang sepakat dengan kembalinya Shia ke Desa Blu'uran menandatangani kesepakatan damai. Meskipun demikian belum ada tanda-tanda respon positif dari masyarakat. Yang saya tanyakan, dimana perempuan?
Tidak terlibatnya kelompok perempuan dalam proses "islah perdamaian" membuat tanda tanya tersendiri. Ini karena kapasitas perempuan Shia memang lemah karena tidak ada leadership di tingkat lokal. Bukan hanya itu, tokoh inisiator yang bergerak kebanyakan laki-laki dan secara sosiologis kurang melibatkan perempuan. Sementara masyarakat sipil yang mendampingi juga kurang begitu kuat melakukan mobilisasi dukungan untuk mendorongkan partisipasi perempuan dalam proses rekonsiliasi.
Apa yang bisa dibuat agar representasi perempuan dalam proses rekonsiliasi formal yang dipimpin oleh Prof. A'la bisa mendapatkan tempat yang strategis? Tidak ada pilihan kecuali melakukan mobilizasi dukungan gerakan perempuan dan juga penguatan internal perempuan Shia. Saya pribadi merasa kesulitan mengangkat keterlibatan perempuan CSO dalam proses rekonsilaisi karena persoalan disconnection antara women centered agenda dengan agenda rekonsiliasi. Padahal seharusnya ini tidak dipisahkan. ***
Photo source from the link
No comments:
Post a Comment