Khek Chanreasmey (dipanggil
Resmey), seorang aktifis pembela hak-hak tanah dan perumahan ari Kamboja.
Resmey memulai aktifismenya karena program pembangunan urban yang dijalankan
oleh pemerintah pada tahun 2007 melintasi rumahnya. Dia melawan. Anggota
komunitas Boeung Kak di Phon Penh, ibu kota negara Kamboja. “Ini tanah saya. Ini kehidupan saya. Dan tak
satupun orang berhak mengambilnya dari kami. Maka Kami akan tetap melawan”,
begitu kuatnya tekat ibu beranak satu ini, mendorong dia untuk mengorganisir
anggota komunitas lainnya untuk secara kolektif melakukan perlawanan pada
Pemerintah Kamboja. Dia dan beberapa anggota komunitas dipenjara karena
dianggap melawan pemerintah. Setelah melakukan penggalangan dukungan nasional
dan internasional, akhirnya pemerintah Kamboja komitmen untuk memberikan 12,44
hektar tanah untuk dibangun perumahan.
Cerita perlawanan non kekerasan yang
disuguhkan dalam Panel kedua Asia Pacific
Feminist Forum (APFF) di Chiangmai pada 31 May 2013 yang diselenggarakan
oleh APWLD, juga disampaikan oleh Helen
Hakena dari Papua Nugini yang melawan perusahaan pertambangan di daerahnya.
Perlawanan Helen juga dimulai ketika perusahaan Tambang di negaranya mulai
melakkan ekspansi dan menimbulkan kerusahan lingkungan. Dengan kondisi hamil 6
bulan, Helen mengorganisir perempuan untuk melawan perusahaan tambang. Mereka
menggunakan simbol baju hitam untuk melakukan aksi protes. Salah satu strategy
menghindari dari tangkapan militer mereka menggunakan konsep collective
leadership. “who are the leaders?,” tentara bertanya pada kerumunan perempuan
perempuan yang protes. Maka serempak perempuan dalam kerumunan tersebut
menjawab “we are all the leader,” (while standing up).
Dua cerita diatas menyakinkan
pada saya bahwa faktor yang mendorong kedua feminist di atas melakukan
perlawanan adalah karena mengancam kehidupan. Bukan saja kehidupan pribadinya
tetapi kehidupan masyarakatnya. Dalam kaca mata feminist, kehidupan sangat
dekat dengan perempuan karena mereka yang secara emosional bersentuhan dengan
tanah, rumah, dan keselamatan anggota keluarganya. Mempertahankan rumah adalah
mempertahankan keberlangsungan kehidupan seluruh anggota keluarga. Pada cerita
Helen dan Reasmey, perlawanan tanpa kekerasan menunjukkan keberhasilan yang
luar biasa. Dan pioneer-pioneer perlawanan tanpa kekerasan adalah perempuan.
Pengorganisasian komunitas
bukanlah pilihan. Tetapi jalan satu-satunya untuk memenangkan pertarungan
dengan penguasa. Jika pemerintah memiliki otoritas struktur, dan perusahaan
memiliki otoritas keuangan, maka rakyat (perempuan) memiliki kebersamaan.
Melawan secara kolektif akan membantu perempuan untuk memperkuat leadership
mereka, menghindari pecah belah dari lawan, karena tidak semua anggota
komunitas mau mendukung perjuangan mendapatkan hak-haknya. Konsisten untuk
terbuka dalam distribusi informasi dan melakukan pendekatan door to door adalah cara jitu untuk
mempertahankan kekompakan penduduk Boeung Kak.
Cerita tentang perlawanan
perempuan akan struktur yang tidak adil juga terjadi di Philippines, melalui
presentasi Vernie Yocogan Diano, Perempuan Minoritas Kankanaey Bontoc yang saat ini direktur eksekutif Cordillera Women’s
Education Action Research Center. Jika April lalu pada kunjungan saya ke Manila
mendengarkan bahwa reformasi tanah dengan kebijakan memberikan sertifikasi
tanah pada rumah tempat tinggal di Phillipines dianggap sukses, Vernie perwakilan
dari kelompok minoritas justru memberikan kritik pedas untuk pemerintah
Philipina yang dianggap tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Misalnya 66%
tanah di kampungnya justru dipakai untuk industri komersial yang tidak
menguntungkan masyarakat adat. Maka
satu-satunya cara yang dianggap cukup mumpuni untuk melakukan perlawanan adalah
mengorganisir masyarakat, terutama perempuan. Juga memperkuat jaringan
masyarakat adat dan memberikan ruang pada Perempuan untuk mengambil ruang-ruang
politik untuk perubahan yang lebih baik.
Model lain perlawanan tanpa
kekerasan juga dicontohkan oleh Khadijah, seorang pekerja perempuan sebuah
pabrik garmen di Bangladesh yang terpaksa migrasi ke kota karena minimnya
kondisi keuangan orang tua. Khadijah banyak mendapatkan pelecehan dan kekerasan
selama bekerja di pabrik. Ini yang mendorong Khadijah untuk membentuk
organisasi buruh agar buruh perempuan bisa berbicara lantang tentang penindasan
yang dihadapinya. Akibat aksinya ini Khadijah akhirnya dikeluarkan dari tempat
kerjanya. Dia lalu memutuskan untuk fulltime melakukan pengorganisasian buruh.
Menurutnya dari 4000 pabrik yang ada Bangladesh, hanya ada 200 organisasi
buruh. Dia berharap kasusnya tidak menimpa buruh perempuan yang lainnya, karena
perjuangan kaum buruh itu bukan untuk keluar dari pabrik, tetapi memperjuangkan
standard kelayakan dan perlindungan keselamatan buruh.
Mereka memang bukan orang berani.
Tapi mereka sadar bahwa mereka melakukan hal yang tidak pernah dilakukan
sebelumnya dalam hidup mereka. Ketakutan yang begitu mencekram, dijadikan
kekuatan untuk mendorongnya melewati batas-batas norma “menjadi perempuan” yang
ditegaskan oleh budaya lokal. Dalam konteks situasi darurat perjuangan hak-hak
kehidupan masyarakat, sering peran perempuan bisa diterima dan dimaklumkan. Tetapi
ketika kondisi darurat itu telah usai, mengapa kepemimpinan perempuan sering
dipersoalkan. ***
No comments:
Post a Comment