Warni, seorang aktifis muda dari Ambon, saya temui di Bandara pada 4 May lalu begitu bersemangat menceritakan aktifitasnya memberdayakan anak muda di kampungnya. Cita-citanya adalah ingin melihat anak-anak muda di kampungnya aktif merespon persoalan masyarakat. Misalnya dia menceritakan tentang kerusakan lingkungan yang sering mengakibatkan banjir, sulitnya akses reproduksi buat ibu melahirkan, dan sulitnya meyakinkan anak muda untuk peduli terhadap lingkungn sekitarnya. Disisi lain kita sangat dihadapkan pada pragmatisme masyarakat yang sangat kuat. Misalnya saja pada saat Pemilu Legislatif, masih banyak masyarakat hak suaranya bisa dibeli dengan Rp 50.000. Ini semua yang membuat Warni bersikukuh untuk tetap tinggal di desa dan bekerja di yayasan Kajonli, sebuah wadah pemberdayaan anak muda.
Apa yang sedang diperjuangkan oleh Warni, menemukan momentum yang tepat karena arah pembangunan ke depan berkiblat pada pengembangan desa dan segala potensi lokalnya. Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan harapan baru pada warga desa bukan saja pada penjaminan anggaran pembangunan Desa, tetapi kewenangan-kewenangan Desa belum pernah dipercayakan dengan penuh. Kewenangan pertama adalah kewenangan hak asal usul, yaitu hak yang dimiliki oleh desa sebelum terintegrasi dengan negara, tetapi masih relevan dalam kehidupan berbanga.
Kewenangan kedua adalah lokal berskala desa, yaitu potensi desa untuk mengayomi masyarakatnya sendiri sudah waktunya ditunjukkan. Ketiga adalah kewenangan penugasan, dimana desa mendapatkan tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Dan terakhir adalah kewenangan pelayanan sektor, dimana target nasionnal tentang wajib belajar 9 tahun, perlindungan ibu dan anak, penakanan angka HIV/AIDS yang selama ini banyak menjadi agenda nasional, diturunkan menjadi bagian dari pelayanan Desa.
Kedaulatan Desa dari Kedaulatan Perempuan
UU Desa No. 6 tahun 2014 tentu saja bisa menjadi ancaman ataupun peluang, tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Workshop dua hari yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 2-3 Mei 2014, menghadirkan feminis antar generasi untuk membedah isi UU Desa dan melihat peluang maksimalisasinya untuk pemenuhan hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuana. Ada lima hak konstitusi yang bersinggungan dengan UU Desa sebagai hasil diskusi sebagai berikut;
Pertama, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan seperti yang disebutkan pada UUD Negara RI 1945, Pasal 28D(3). Sesuai dengan peraturan tersebut, maka UU Desa juga mengamanatkan partisipasi perempuan minimal 30% pada seluruh jajaran pemerintah desa, termasuk Kades dan perangkat desa. Peluang partisipasi perempuan juga ada di dalam Musyawarah desa yang setiap tahunnya diadakan untuk menyaring aspirsi dari masyarakat.
Kedua, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan mafaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, seperti yang tercantum di dalam UUD 1945 pasal 28H. Ini termasuk mencakup anggaran responsif gender, dimana pada anggaran desa secara proporsional disarankan untuk memiliki variable responsive gender (RPP Psl 67) dan kejelasan pagu untuk belanja pubik seperti pendidikan, kesehatan, kependudukan dan pemberdayaan (RPP Psl 72). Sementara dalam konteks Pembangunan Desa mensyaratkan recognisi akses dan kontrol perempuan terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pembangunan desa, akses setara bagi perempuan, memfungsikan kader-kader lokal untuk membackup, sistem informasi desa yang responsif gender dan keterbukaan informasi dimana masyarakat bisa mengakses data dan menggunakan data yang ada untuk kepentingan bersama.
Ketiga, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (UUD Negara RI 1945, Pasal 28D). Di dalam UU Desa, maka jaminan itu perlu dituangkan ke dalam Perdes, dimana setelah ditanda tangani, maka harus disampaikan ke publik, ke Bupati/walikota sebagai bahan pembinaan dan pengawasan. Di dalam implementasi hukum adat maka komponen human rights harus sellau dipastikan menjadi dasar pertimbangan pencarian keadilan.
Keempat, bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif itu – UUD Negara RI 1945, Pasal 28I(2). Meskipun di dalam UU Desa dengan jelas disebutkan bahwa prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas diterapkan, tetapi tidak secara eksplisit menjelaskan tentang kriteria calon aparat desa dengan menyebutkan komponen anti korupsi dan kekerasan terhadap perempuan. Meski demikian pada pasal 29 UU DEsa disebutkan secara jelas bahwa kepala desa dilarang melakukan diskriminasi atas dasar apapun dan membuat keputusan sepihak yang merugikan masyarakat.
Kelima, bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya – UUD Negara RI 1945, Pasal 28C. Ada dua hal penting dalam UU Desa yang menjamin hak ini yaitu jaminan partisipasi masyarakat sipil di luar lembaga kemasyarakatan desa dan sebagai pihak ketiga dan juga tentang menghilangkan pengaturan berlebihan terhadap pemberdayaan masyarakat desa.
Tentu saja tantang terbesar kita adalah bagaimana segenap pihak menggunakan UU Desa sebagai media untuk mengoptimalkan potensi diri desa menuju kemandirian dimana kepemimpinan kolektif antara perangkat desa yaitu kepala desa dan BPD serta masyarakat secara sinergi dapat melakukan pembenahan pada kualitas pelayanan dan sumber daya manusia Desa, serta potensi-potensi bisnis di tingkat lokal. Tentu saja UU Desa ini juga bisa saja jadi ancaman bagi warga desa karena batuan Rp 1 M ini bisa menyulut keributan, apalagi sampai UU ini disahkan, belum ada begtu jelas bagaimana model asistensi pemerintah terhadap perangkat desa untuk mengimplementasikannya dalam bentuk teknis. ***
Tulisan ini diramu dari hasil diskusi Workshop dan Lokakarya Rancanan Peraturan Pemerintah dalam Penyelenggaraan DEsa di Hotel Akhmani pada tanggal 2-3 Mei 2014.
Sumber foto berasal dari link ini.
Apa yang sedang diperjuangkan oleh Warni, menemukan momentum yang tepat karena arah pembangunan ke depan berkiblat pada pengembangan desa dan segala potensi lokalnya. Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014 tentang Desa, memberikan harapan baru pada warga desa bukan saja pada penjaminan anggaran pembangunan Desa, tetapi kewenangan-kewenangan Desa belum pernah dipercayakan dengan penuh. Kewenangan pertama adalah kewenangan hak asal usul, yaitu hak yang dimiliki oleh desa sebelum terintegrasi dengan negara, tetapi masih relevan dalam kehidupan berbanga.
Kewenangan kedua adalah lokal berskala desa, yaitu potensi desa untuk mengayomi masyarakatnya sendiri sudah waktunya ditunjukkan. Ketiga adalah kewenangan penugasan, dimana desa mendapatkan tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Dan terakhir adalah kewenangan pelayanan sektor, dimana target nasionnal tentang wajib belajar 9 tahun, perlindungan ibu dan anak, penakanan angka HIV/AIDS yang selama ini banyak menjadi agenda nasional, diturunkan menjadi bagian dari pelayanan Desa.
Kedaulatan Desa dari Kedaulatan Perempuan
UU Desa No. 6 tahun 2014 tentu saja bisa menjadi ancaman ataupun peluang, tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Workshop dua hari yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 2-3 Mei 2014, menghadirkan feminis antar generasi untuk membedah isi UU Desa dan melihat peluang maksimalisasinya untuk pemenuhan hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuana. Ada lima hak konstitusi yang bersinggungan dengan UU Desa sebagai hasil diskusi sebagai berikut;
Pertama, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan seperti yang disebutkan pada UUD Negara RI 1945, Pasal 28D(3). Sesuai dengan peraturan tersebut, maka UU Desa juga mengamanatkan partisipasi perempuan minimal 30% pada seluruh jajaran pemerintah desa, termasuk Kades dan perangkat desa. Peluang partisipasi perempuan juga ada di dalam Musyawarah desa yang setiap tahunnya diadakan untuk menyaring aspirsi dari masyarakat.
Kedua, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan mafaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, seperti yang tercantum di dalam UUD 1945 pasal 28H. Ini termasuk mencakup anggaran responsif gender, dimana pada anggaran desa secara proporsional disarankan untuk memiliki variable responsive gender (RPP Psl 67) dan kejelasan pagu untuk belanja pubik seperti pendidikan, kesehatan, kependudukan dan pemberdayaan (RPP Psl 72). Sementara dalam konteks Pembangunan Desa mensyaratkan recognisi akses dan kontrol perempuan terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pembangunan desa, akses setara bagi perempuan, memfungsikan kader-kader lokal untuk membackup, sistem informasi desa yang responsif gender dan keterbukaan informasi dimana masyarakat bisa mengakses data dan menggunakan data yang ada untuk kepentingan bersama.
Ketiga, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (UUD Negara RI 1945, Pasal 28D). Di dalam UU Desa, maka jaminan itu perlu dituangkan ke dalam Perdes, dimana setelah ditanda tangani, maka harus disampaikan ke publik, ke Bupati/walikota sebagai bahan pembinaan dan pengawasan. Di dalam implementasi hukum adat maka komponen human rights harus sellau dipastikan menjadi dasar pertimbangan pencarian keadilan.
Keempat, bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif itu – UUD Negara RI 1945, Pasal 28I(2). Meskipun di dalam UU Desa dengan jelas disebutkan bahwa prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas diterapkan, tetapi tidak secara eksplisit menjelaskan tentang kriteria calon aparat desa dengan menyebutkan komponen anti korupsi dan kekerasan terhadap perempuan. Meski demikian pada pasal 29 UU DEsa disebutkan secara jelas bahwa kepala desa dilarang melakukan diskriminasi atas dasar apapun dan membuat keputusan sepihak yang merugikan masyarakat.
Kelima, bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya – UUD Negara RI 1945, Pasal 28C. Ada dua hal penting dalam UU Desa yang menjamin hak ini yaitu jaminan partisipasi masyarakat sipil di luar lembaga kemasyarakatan desa dan sebagai pihak ketiga dan juga tentang menghilangkan pengaturan berlebihan terhadap pemberdayaan masyarakat desa.
Tentu saja tantang terbesar kita adalah bagaimana segenap pihak menggunakan UU Desa sebagai media untuk mengoptimalkan potensi diri desa menuju kemandirian dimana kepemimpinan kolektif antara perangkat desa yaitu kepala desa dan BPD serta masyarakat secara sinergi dapat melakukan pembenahan pada kualitas pelayanan dan sumber daya manusia Desa, serta potensi-potensi bisnis di tingkat lokal. Tentu saja UU Desa ini juga bisa saja jadi ancaman bagi warga desa karena batuan Rp 1 M ini bisa menyulut keributan, apalagi sampai UU ini disahkan, belum ada begtu jelas bagaimana model asistensi pemerintah terhadap perangkat desa untuk mengimplementasikannya dalam bentuk teknis. ***
Tulisan ini diramu dari hasil diskusi Workshop dan Lokakarya Rancanan Peraturan Pemerintah dalam Penyelenggaraan DEsa di Hotel Akhmani pada tanggal 2-3 Mei 2014.
Sumber foto berasal dari link ini.
good work of empowering women........for more go to... http://w3empowerment.blogspot.in/
ReplyDelete