Watering the Leaves, Starving the Roots. Adalah kiasan yang
menyiratkan kondisi trend funding yang bergeser dari gerakan perempuan ke
individu perempuan dan anak perempuan. The
Association for Women’s Rights in Development (AWID) melakukan study trend
funding untuk pemberdayaan perempuan pada tahun 2013 memberikan gambaran peta
peredaran dan prosentase pendanaan di dunia untuk NGO, serta memetakan aktor
baru yang disebutnya sebagai the emerging
donor, yaitu sektor swasta yang memiliki passion dan mendukung pemberdayaan perempuan dan anak perempuan. Saya
jadi ingat konsep Public Private Partnership (PPP) yang masih diragukan dampak
positifnya bagi pemberdayaan masyarakat menuju kemandirian. Pasalnya,
kepentingan sektor swasta sangat dikendalikan oleh benefit material, dimana
setiap sen yang dikeluarkan oleh sektor swasta tentu akan kembali dalam bentuk
keuntungan. Dialog 3 jam dengan donor tentang trend pendanaan gerakan perempuan
menghadirkan Global Fund for Women (Peiyo Chen), MamaCash (Esther Vonk), Frida
(Ruby Johson, dan South Asia Women Fund (Anisha Chugh). Workshop diselenggarakan
oleh AWID bekerjasama dengan Asia Pacific Feminist Conference (APFF) di
Chiangmai.
Dari 740 organisasi yang berjuang untuk hak-hak perempuan di dunia yang diteliti oleh AWID pada tahun 2010, dana yang dihabiskan oleh mereka setelah digabung sebesar $106 juta per tahun. Sepertiganya dari dana yang diterima oleh Green Peace yaitu sejumlah $309 juta. Bandingkan pula dengan Save the Children yang setahun menghabiskan $1.442 milyar, sementara World Vision International memiliki dukungan keuangan terbesar dengan dana mencapai $2.611 milyar. Dari dana yang diterima oleh organisasi perempuan, trend donor lebih cenderung membiayai individu perempuan dan anak dan mengurangi dukungan untuk movement building, yang kalau dilihat dari sejarah justru menjadi inti dari perjuangan hak-hak perempuan.
Catatan Survey Global AWID 2011, dari 1000 organisasi perempuan yang dilibatkan dalam study ini menunjukkan income menengah hanyak mencapai rata-rata $20,000. Bisa dipastikan bahwa rata-rata organisasi ini tetap kecil dan sulit untuk bertahan. Bahkan 52% dari organsasi yang disurvey oleh AWID menunjukkan tidak pernah mendapatkan core fund karena dana yang diterima hanya per projek yang durasinya 1 tahun. Mereka tidak pernah menerima dana yang berdurasi 3-5 tahun.
Sementara trend Donor Bilateral dan Multilateral tidak menunjukkan kenaikan dukungan untuk gerakan perjuangan hak-hak perempuan. Official Development Assistance (ODA) dari Netherland, Norway, Spain, Sweden dan UK menaikkan dukungan pada organisasi yang mengusung kesetaraan gender. Tetapi tidak dari negara-negara lainnya. NGO Internasional juga mengalami krisis, dan income mereka turun signifikan dari 14% pada tahun 2005 menjadi hanya 7% pada 2010. Olehkarenanya mereka kemudian mengubah strategy intervensi dari yang tadinya bertindak sebagai “intermediary” sekarang bergeser menjadi implementator lapangan. Bahkan kita bisa melihat Oxfam dan Action Aids telah registrasi menjadi organisasi nasional, sehingga memungkinan mereka juga melakukan mobilisasi sumber daya di internal negara. NGO nasional dan lokal berkompetisi dengan mereka.
Private sektor diramalkan ke depan akan banyak melakukan peran-peran pemberdayaan. Tetapi mereka banyak memberikan bantuan pada individu perempuan dan anak perempuan atas nama pemberdayaan. Misalnya The UN Global Compact merilis projek berjudul “Women’s empowerment Principles – Equality Means Business” pada bulan Maret 2010. Dan Coca Cola perusahaan yang sangat komit untuk membumikan gagasan ini dengan menggandeng UN Women. Turunan programnya tentu saja berwajah enterpreneship dimana bisness menjadi sentral. Dari model programnya sangat jelas banyak memperkuat dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan, tetapi tidak untuk memperkuat gerakan perjuangan hak-hak perempuan. (Google+)*** (to be continued)
No comments:
Post a Comment