Sunday, March 15, 2015

CSW 59; Posisi Indonesia Disorot Dunia

Perlindungan HAM Perempuan dan Anak Perempuan menjadi topik utama sidang PBB pada Commission on the Status of Women sesi 59. Sekjend PBB, Ban Ki-moon mengatakan bahwa tidak ada satu negarapun yang mampu mencapai kesetaraan gender di dunia ini. Pesimisme ini sangat beralasan karena komitmen beberapa negara terhadap penegakan HAM perempuan dan anak mengalami kemunduran. Laporan ini ditujukan untuk memberikan update kepada Ibu Menteri Yohana terkait dengan perkembangan global tentang upaya dunia dalam menegakkan HAM Perempuan, membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 

General Review; Dimana Posisi Indonesia? 

Gender maintreaming memang sangat masif dilakukan disemua negara. Tidak ada satu negarapun yang tidak memiliki program gender, tetapi 20 tahun implementasi Deklarasi Beijing dan Kerangka Beijing yang mencakup isu gender, pembangunan dan perdamaian, tetap mendapatkan tantangan besar dari kulture dan struktur. Minggu pertama CSW 59 ini sangat terlihat bahwa negara-negara semakin sulit sampai pada agreed conclusion, karena fragmentasi ideologi, intevensi asing pada politik nasional, trans-nasional organisasi konservatif yang menggunakan agama untuk meraih kekuasaan, membuat negosiasi negara sulit disandarkan saja hanya pada “noble message” dalam belantara struktur yang dikendalikan oleh negosiasi berbasis kepentingan. Lantas dimana suara perempuan?

Dimana Posisi Indonesia? 

Political Declaration telah disetujui. Tidak seperti Review Beijing +20 di Asia Pacific dimana adopsi outcome document dilakukan setelah 3 hari pembahasan substansi dari dokumen outcome Review. Mengapa bentuknya political declaration? Mengapa diadopsi pada minggu pertama? Hasil tertinggi sebuah komitmen internasional harusnya agreed conclusion. Merefleksikan kondisi di Asia Pacific Review ditambah dengan bacaan kawan-kawan di Kaukus Perempuan, ada beberapa isu yang masih belum secara bulat diterima saat ini adalah bahasa various form of families, sexual reproductive health and rights (SRHR), sexual rights, LGBT/SOGIE, human’s rights of women and girls,feminist group, dimasukkannya agenda pembangunan Post 2015 di dalam Beijing +20. Tampaknya PBB kesulitan mendapatkan konsensus dari negara- negara sehingga yang memungkinkan adalah dokumen deklarasi politik bukan agreed conclusion. 

Adopsi dokumen pada hari pertama sungguh ganjil. Forum Caucus Perempuan yang menjadi salah satu sumbr update kami, menganalisis bahwa beberapa negara sedang berusaha untuk menutup ruang-ruang negosiasi dokumen politik, terutama pembatasan keterlibatan CSO, kelompok feminist dalam rumusan dokumen sangat dirasakan. Caucus Perempuan menganggap negara-negara seperti Rusia, Iran, Indonesia, Kenya, termasuk African Group yang mengatasnamakan G77 dibawah leading China, masih dianggap lemah dalam mendukung Human’s rights of women and girls,

Indonesia tidak pernah menolak Feminisme, tetapi by associate ditafsirkan begitu karena satu koalisi dengan Rusia, Iran. termasuk menolak sexual rigths and LGBT dan keberatan dengan kelompok feminist. Bahkan Indonesia dianggap bersekutu dengan Rusia dan Iran. Ini semakin meyakinkan jika melihat statemen Indonesia pada pembukaan CSW 59, yang kurang kaya mencerminkan capaian dan tantangan yang dihadapi oleh indonesia. Apalagi Indonesia merupakan negara besar di Asia, yang suaranya sangat ditunggu oleh dunia. 

Jika dibandingkan pada statemen pembuka di Asia Pacific Conference on Beijing Review pada 17-20 November 2014 di Bangkok, Ketua Delegasi Indonesia memberikan penekanan pada capaian isntitutional reform dimana national Machienaries diperkuat perannya dengan KOMNAS Perempuan dan lembaga kajian wanita/gender, untuk memperkuat kebijakan berkeadilan gender. Kemitraan dengan CSO juga dihighliht dalam pidato Ibu Menteri. Tingginya AKI, meluasnya penyebaran HIV/AIDS, kurangnya perlindungan buruh migran, tetapi penghentian perkawinan anak perempuan, SRHR, dan berbagai isu kritis lainnya belum mainstream. 

Indonesia juga tidak terlalu aktif dalam diskusi Rountable dan Panel yang diadakan di CSW 59. Jika diperhatikan statemen negara-negara yang terlibat dalam diskusi, Indonesia jauh telah melakukan inovasi pada gender equality and pemberdayan perempuan dengan berbagai pendekatan melalui struktur dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat. Ini seharusnya bisa dipromosikan di forum CSW 59 agar menjadi panutan, sebagai negara muslim paling demokratis. Penjelasan dari Kemlu, bahwa Indonesia hanya mendapatkan jatah bicara di General Panel 1 kali, dan operning statement. Tapi, apakah di rountable delegasi tidak bisa bicara? Buku guidelines yang disiapkan oleh PTRI dengan draft butir wicara pada setiap roundtable, diasumsikan bahwa Indonesia akan bicara? Mengapa tidak terjadi? Penjelasan perwakilan Kemlu terkait dengan keterbatasan slot, atau Delri bisa langsung bicara dengan menggunakan Flaggging sistem smeentara itu tidak dipakai di CSW 59, agak kurang sulit untuk diterima. Apalagi pada rapat kordinasi tidak difokuskan pada pembahasan prosedur konferensi dan juga subtansi secara detil tidak terjadi pada persiapan delegasi. 

People-Centered Diplomacy?

It is understood that Russia, the Holy See (which has a seat on the UN as a non-member permanent observer state), Indonesia, Nicaragua and the Africa group of countries have tried to limit references in the text to human rights and to remove mention of the role feminist groups play in advancing gender equality. (dikutip dari link berikut http://www.theguardian.com/global-development/2015/mar/09/un-declaration-step-backwards-for-womens-rights-csw )

Liputan media diatas cukup mengejutkan kami, apalagi arah diplomasi luar negeri Indonesia adalah people-centered diplomacy, dimana kepentingan negara harus disandarkan pada kepentingan masyarakat. Pada tanggal 11 Maret 2015, perwakilan CSO akhirnya berdialog dengan PTRI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak di kantor PTRI di New York.

Perwakilan CSO, Rita Kalibonso, Apresiasi pada statemen politik Menteri yang mengangkat keberhasilan Indonesia pada gender mainstreaming dan menggarisbawahi isu AKI, HIV, Kekerasan terhadap perempuan. Pentingnya partnership dengan organisasi perempuan. Namun sayang sekali isu krusial seperti perkawinan anak yang menggunakan bahasa “ending forced, early child marriage” padahal kasus banyak sekali. Statement Menteri juga tidak mengangkat perlindungan buruh migran meskipun Indonesia sudah ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan keluargnya tahun 2012. Isu lain yang juga tidak ada adalah Hak dan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (SRHR), padahal Indonesia memiliki UU kesehatan dan PP No. 61, 2014 yang cukup progresif tentang Kespro. Kekerasan seksual juga tidak muncul dalam dokumen. Indonesia juga dianggap tidak mendukung HAM dan adanya kelompok feminis, mohon diklarifikasi? Juga ingin tahu siapa yang bertanggungjawab dan hadir dalam negosiasi Political Declaration.

Ditambah penjelasan Ibu Sjamsiah Ahmad yang menyatakan bahwa Feminist group sudah lama ada. Semua organisasi perempuan saat ini banyak dilahirkan oleh kelompok feminis. Posisi Indonesia pada Beijing 1995 mengakui kelompok ini. feminist juga memperjuangkan CEDAW dan diratifikasi Indonesia. Indonesia pioneer dalam membentuk ACWC, yg juga dilahirkan oleh gagasan feminisme. Bahkan saat ini Indonesia memiliki ratusan program study gender atau wanita juga karena feminisme.Sehingga ini tidak perlu ditakutkan karena kontribusi yang sangat positif. Indonesia juga punya NHRI seperti KOMNAS. Feminist group sudah lama ada. Semua organisasi perempuan saat ini banyak dilahirkan oleh kelompok Feminis.Perempuan dan KPAI, yang tidak banyak dimiliki negara lain.

Dalam dialog tersebut, Ibu Menteri Yohana memberikan respon bahwa dirinya kurang terinformasikan secara detil tentang keterlibatan Indonesia dalam CSW 59 ini. Semua draft yang disodorkan pada beliau diasumsikan telah mengalami screening ketat dari kordiansi di Jakarta antara KPPPA dengan kementerian terkait dan masyarakat sipil. Menteri juga sangat menghargai penjelasan tentang sejarah keterlibatan Indonesia, dan ingin menjadikan sejarah sebagai basis yang tidak bisa ditinggalkan, tetapi tetap harus melihat kepentingan dalam negeri. Ke depan harus ada perbaikan pada proses persiapan CSW dan juga mekanisme yang jelas tentang pendelegasian. Ibu juga menekankan pentingnya bekerja dengan lembaga riset untuk memperkuat analisis “why”? 

PTRI yang diwakili oleh Pak Masni, memberikan penekanan pada dua hal yaitu (1) Nasional statement di GA dan (2) Political Declaration.

Pertama, statemen yang ada di buku panduan merupakan produk bersama dari rapat-rapat Delri di Jakarta. Disini hanya menyesuaikan bahasa. Natioanal statement wewenang dari Bu Menteri, jadi teserah Ibu Menteri. Asalkan bisa masuk ke dalam kerangka statemen yang dibatasi waktu. Agak sulit menyodorkan statemen baru mendadak, karena secara teknis final staemen harus diterima translator. Jika yang dibaca menteri beda dengan yang diterima translator, maka takut terjadi miss translation. .

Kedua, Terkait dengan Political Declaration. Tuduhan Indonesia tidak komit pada HAM menyakitkan buat saya Indonesia. Zero draft Poltiical Declaration sudah disiapkan oleh tim UN Women dimana Sinegal, Swis, dan Thailand, terlibat. Beijing menggunakan istilah “Gender Equality and WOmen’s Empowerment (GE &WE), ini dianggap universal dan dapat diterima semua negara. Pada first reading, dimana negosiasi belum dibuka, ada usulan dari beberapa negara untuk mengubah terminologi tersebut menjadi “GE, Human’s Rights and WE” . Ini menimbulkan banyak pertanyaan dari banyak negara. Mengapa kata Human’s Rights harus masuk disini? Alasan yang dibangun adalah karena Post 2015 Development Agenda menggunakan bahasa ini. Tetapi dokumen asli Beijing tidak ada bahasa “human’s rights”. Mengubah bahasa maka ada dampaknya. Di UN, apa yang menjadi bahasa di forum SDGs belum tentu sama dengan bahasa yang dipakai di Beijing. 

“Tidak benar kalau Indonesia menolak Feminisme. Istri saya S3 Matematika dan saya tidak pernah menghalangi” ungkap Masni dari PTRI. Indonesia tidak pernah menolak. tetapi krena pada negosiasi sebelumnya posisi Indonesia banyak dalam satu group dengan Iran, Malaysia, Rusia, maka kemudian “by associate” disamakan. 

Posisi Indonesia harus jadi mediator. Pada saat negosiasi dibuka, ada 10 paragraph yang dianggap baru dan ukuran forum international ini revolusioner. Africa Group bergabung China dalam G77 suaranya konservatif. Sementara ada posisi negara yang sangat maju. Politik luar negeri kita bebas aktif, sehingga tidak boleh berpihak ke salah satu. Maka Indonesia berusahan sebisa mungkin jadi mediator. Negosiasi Political DEclaration tertutup, hanya pemerintah yang hadir dan tidak ada rekaman verbatimnya. Sehingga sulit dicek kebenarannya.

Jika memang Indonesia menjadi mediator dalam perundingan, mengapa dalam konteks penyetujuan memasukkan kata human’s rights dalam judul poltical declaration “Gender Equality, Human Rigths and Women empowerment”, mengapa posisi Indonesia “oppose” terhadap pencantuman human rights? Penjelasan dari PTRI bahwa Indonesia oppose bukan pada human’s rights tetapi pada pencantuman human’s rights karena ingin menjaga languange yang asli yaitu Gender Equality and Women’s Empowerement. Lantas apa keberatannya mencantumkan human’s rights dalam dokumen, sementara semua negara setuju kecuali Rusia, Iran , INDONESIA,CARICOM, the Africa Group and the Holy See, pada negosiasi 24 Februari.

CSW 59: Inklusif Malu-Malu 

Minggu pertama sidang CSW 59 bukan saja shock terapy buat delegasi Indonesia, baik secara substansi maupun secara prosedur UN yang memerlukan perhatian khusus. Subtansi negosiasi adalah wewenang dari Kementerian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sehingga dengan kewenangan ini diharapkan KPPPA bisa membuka konsultasi seluas-luasnya untuk mendengar dari masyarakat sipil terkait dengan perkembangan isu. Ini bisa didasarkan pula pada laporan Pemerintah dan NGO untuk implementasi Beijing +20, Kertas posisi NGO dan bahan-bahan yang lain. KPPPA harus bisa membuat final draft bersama dengan KOMNAS Perempuan, KPAI dan organisasi Perempuan, feminist group dan human’s rights defenders. Bahwa kemudian Kemlu dan PTRI akan menyesuaikan bahasa, tetapi tidak berarti hilang subtansi. DIsinilah proses cross check final document harus dilakukan, sehingga dokumen yang disampaikan dalam forum CSW 59 memang dokumen yang sudah dikonsultasikan dengan sungguh-sungguh. 

Prosedur CSW yang selalu berganti sesuai dengan kesepakatan forum pada pembahasa Working Method, harus bisa ditransfer pada kementerian subtansial (KPPPA) oleh Kemlu, termasuk melibatkan Kementerian terkait dan juga CSO. Ini penting agar Delri sejak awal aware bahwa dengan working method tertentu maka strategi intervensi forum juga harus disesuaikan. Pengetahuan tentang working method masih dikuasai oleh Kemlu. Ini sangat terlihat bahwa perwakilan Kemlu lebih memahami pola kerja UN, tetapi bagaimana

KPPPA adalah kementerian substansial untuk Beijing Platform for Action, kewajiban kita memampukan mereka… pengetahuan ini bisa ditransfer pada sektor lain? Tentu harus dicarikan mekanismenya sehingga setiap siapapun yang diutus mewakili Indonesia akan mendapatkan pembekalan yang cukup baik secara substansi maupun secara pengetahuan working method forum-forum UN. 

CSO secara nature memang mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan akuntable terhadap setiap proses pengambilan keputusan. CSW 59 kali ini menjadi ajang pembelajaran bagi pemerintah dan masyarakat sipil. Meskipun proses kordinasi kurang detil, tetapi ruang dialog selalu ada bagi kawan-kawan CSO untuk bertanya lebih mendetil dengan PTRI terkait posisi Indonesia pada negosiasi substansi maupun working method. Ini penting diapresiasi, karena informasi yang keluar dari PTRI menjadi referensi kami, delegasi CSO untuk bisa dicross check dengan referensi lain dari masyarakat sipil atau sumber-sumber lainnya. 

Catatan saya untuk masyarakat sipil, pertama, dibutuhkan sebuah tim yang kuat yang benar2 menguasai substansi dan working meethod dari CSW sehingga kita tahu belantara UN dan sekaligus menguasai substansi. Tim memang harus dibagi jelas fungsinya baik sebagai drafter document, lobby, resource mobilizer, outreach dengan NGO regional dan global, sehingga sejak awal sudah familiar dengan ini. Kedua, donor harus mau mengeluarkan uang yang cukup untuk mendukung advokasi karena keberhasilan advokasi yang dilakukan oleh CSO juga akan dinikmati oleh donor. CSO harus jadi prioritas penyaluran dana oleh donor, karena sumber dana negara tidak bisa diakses oleh CSO. Bahkan status Delri yang disandang oleh CSO tidak serta merta berdampak pada dukungan financial, padahal secara substansi yang melakukan advokasi detil adalah CSO. Ketiga, Engagement dengna KPPPA dalam konteks kemitraan equal, sebagai kementerian substansi BeijingPlatform for Action, KPPPA harus banyak didampingi secara subtansi dan pemahaman terhadap working method UN, sehingga delegasi KPPPA juga akan confident terhadap keputusan. Contoh keputusan tidak menghadiri Gender Harmoni memberikan efek kuat bahwa pada peneguhan perspektif Pemerintah Indonesia yang kontra pada Gender Harmoni.

Dinamika 12 Isu Kritis

Economic Sustainabilty in the Perspective of Human’s Rights

Sudahkah pendekatan HAM dipakai dalam pembangunan ekonomi? Sebuah side even bertajuk Economic Sustainability in the Perspective of Human Rights diselenggarakan oleh PWESCR memberikan penekanan pada pentingnya human’s rights menjadi indikator pembangunan ekonomi dengan memperhatikan kelompok rentan seperti perempuan di

Islam and women human’s rights are compatible … Zainah Anwar (Musawah) sektor informal dan anak perempuan yang sering menjadi korban pembangunan ekonomi yang berorienasi pada pertumbuhan income saja, penguatan subsidi bagi perempuan kepala keluarga. Perjuangan special temporary measurement atau dikenal quota 30% tidak puas dengan mendapatkan kursi buat perempuan, tetapi memastikan visibilitas agenda perempuan di parlemen sangat penting. Di Panel ini ada Patricia Blankson Akakpe- NetRights Ghana, Shirley Pryce-Jamaica Household Worker Union, Priya Tangaradja-Women Action Network Srilangka, Monica Nevelle-De La Mujer, and Ruby Khalifah-AMAN Indonesia.

Female Genital Mutilation 

FGM/FGC/FC adalah salah satu bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Baik itu yg dilakukan secara simbolik maupun dengan memotong klitorisnya. Tanpa ada persetujuan korban FGM/FGC dilakukan pada anak mulai umur 0 tahun sampai 8 tahun. FGM/FGC/FC terjadi tidak hanya di negara-negara timur tengah, tetapi juga di negara asia seperti Indonesia,Iran dan Irak ini masih terjadi. Ajaran agama Islam dan tradisi menjadi alasan mereka tetap melakukan FGM/FGC, yang sebenarnya tidak ada manfaatnya bagi perempuan. 

Orchid project sebuah NGO international di London Inggris mempunyai fokus isu pada kampanye anti FGM/FGC/FC mengadakan sebuah panel side event di csw 59 ttg FGM/FGC/FC tanggal 9 maret 2015 dengan narasumber Listyowati/Rena Herdiyani (Kalyanamitra-Indonesia), Hannah Wettig (WADI- Stop FGM Middle East, Jerman) dan Rayehe Mozafarian (Reseachcer dari Iran). Panel ini cukup banyak dihadiri peserta sekitar 50 orang. (Dihadiri Listyowati dan Rena ) 

Economic Empowermet to Achieve sustainable Development Goals 

Workshop ini diselenggarakan oleh United Nations Office of Information and Communication Technology, Journalists and Writers Foundation, dengan mengangkat pentingya technologi untuk pemberdayaan perempuan, cara baru menghitung cost VAW dengan indikator peace, dan mendengarkan pengalaman dari Nigeria yang menggugat kecilnya kepemilikan rekening bank perempuan di Nigeria yaitu 15%. Teori agency dan structure juga menjadi titik analisis dimana aksi volunterism bisa dipakai untuk membuka ruang publik buat penguatan peran perempuan. 

Child, Early and Forced Marriage; Indicator for Progress 

Beberapa Panelis yang bicara dalam workshop ini adalah UNICEF, Europian Council (Sera), Zambia, International Care India (Archana Dwivedia), Yordania (Salan Kanaan), Kenya (Hope). Secara umum semua pembicara menjelaskan bahwa di negara mereka maslaah dengan perkawinan anak, prosentasinya bervariasi dari 15-40 persen, dan negara mereka memiliki kebijakan untuk menghentikan perkawinan anak, namun dengan tantangan masing-masing yang mereka hadapi seperti pendidikan, kemiskinan, konflik dan sebagainya yang berakar pada ketimpangan gender belum bias menghentikan perkawinan anak. Indikator pembangunan bisa dipakai untuk mengakhiri perwakinan anak dan menawarkan usi perkwainan minimal 20 tahun. Ada Call for Action di global untuk mengakhiri perwakinan anak. 

National Action Plan as a Tool to Address Sexual Violence 

Resolusi 1325 tentang Perempuan sudah ada di berbagai negara. di Asia, Afghanisan akan segera menjadi negara ke 49. Bisakah NAP dipakai sebagai Tool untuk merespon Sexual Violence? Tentu sangat bisa, tetapi tantangannya adalah konsep keamanan masih diasosiasikan dengan national defence. Jika sexual violence bisa jadi concern Kementerian 

Pertahanan, tentu akan membongkar semua perspektif. Di UN sendiri kordinasi antar badan susah. Gender Expert yang untuk isu security tidak menguasai gender based violence. Framework 1325 tidak harus dibaca kaku. Review penting tapi kerja lebih penting. Workship ini diorganisir oleh Inclusive Security. 

UN Women Breakfast Meeting 

Lokakarya Implementing the Beijing Platform for Action diorganisir oleh UN Women dengan pembicara DirekturUNESCO, Direktur UNFPA, Direktur UNICEF, Ketua CSW 59, Senior Director for Gender World Bank yangdifasilitasi Direktur UN Women. Direktur UN Women menekankan pentingya memasukkan gender equality dalam Post MDGs dan harus masuk dalam political declaration. 

Ibu Kanda dari Thailand sebagai Ketua CSW 59 menekankan pentingkan political will anggota PBB untuk melakukan apa yang mereka sepakati.Perlu adanya sinergi antara badan-badan PBB yang perlu diperkuat. Resolusi 1325 masih jauh dari tujuannya, penjaga perdamaian perempuan belum mendapat tempat yang semestinya dan perempuan masih dilihat victim. UNICEF menekankan pentingnya keterlibatan CSO dan perlindungan anak perempuan dengan menjamin pendidikan. UNESCO menekankan bahwa penting punya goal ambisius, tapi juga diimbangi dengan implementasi.Diharapkan generasi saat ini bisa menjadi generasi yang mengurangi kemiskinan secara drastis dengan sistematis. PBB harus menjalan mandat dengan benar. 

Financing for VAW

Lydia Apazer, AWID (Asociation of Women in Development) menegaskan bahwa ODA untuk VAW sangat rendah. Fund untuk gender equality banyak diberikan ke organisasi regional dan sedikit yang menetes ke organisasi perempuan. Ke depan alokasi budget untuk VAW harus dimainstreamkan pada alokasi yang lain karena persoalan VAW adalah universal. DOnor juga diminta flexible untuk kegiatan protection of HRDs. Kritis pada donor, jangan hanya peduli pada program, tapi orang yang menjalankan program perlu diperhatikan. Laskmi Puri dari UN Women mempertegas bahwa ke depan UN women akan memberikan banyak porsi budget untuk grass root organisasi. Dengan mekanisme dan standard proposal yang sama? 

Women and Health

Beberapa pakar dr Uni Eropa, Amerika, UNFPA dll memberikan pandangan ttg kondisi kesehatan perempuan yg lebih difokuskan pada anak perempuan. Dalam panel ini hadir juga beberapa anak remaja laki-laki dan perempuan yg kemudian mereka memberikan pernyataan. Isu FGM dan pernikahan anak menjadi 2 isu utama karena semua panelis bicara isu ini. Dimana FGM dan pernikahan anak masih terjado dan sangat merugikan kesehatan anak perempuan. Kurangnya infprmasi, pendidikan dan akses pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja menjadi evaluasi setiap panelist. Hak anak harus dipenuhi yaitu hak atas tubuhnya.

Nationalism

Dalam panel ini dipaparkan tentang hasil penelitian mereka ttg nationality/statelessness di beberapa negara yaitu Nepal, Madagaskar, Indonesia. Indonesia menjadi best practise bagi negara lain karena keberhasilan masyarakat sipil dalam melakukan advokasi revisi UU Kewarganegaraan tahun 2006 dimana sejak itu perempuan dapat menurunkan kewarganegaraannya kepada anak. Dalam panel ini yang menjadi narasumber Dimiirtri (ERT), Zahra(insititute statelessness), Noelle (coalition of constitutional equality), Jacqui Hunt(equality now) dan Rena (Kalyanamitra).

Discriminatory Law 

Panel ini diselenggarakan oleh Equality Now dan UN Women.2 artis dunia menjadi campaigner utk bicara discriminatory laws yaitu Jane Fonda dan Sarah John.Isu yang di angkat oleh 2 artis yang sudah terlibat dalam kegiatan masyarakat sipil ini adalah peraturan2 yang masih mendiskriminasikan perempuan yang masih menempatkan perempuan pada posisi dibawah laki-laki yaitu poligami, FGM, pernikahan anak, partisipasi perempuan di ruang publik, kebebasan perempuan memilih pekerjaan. Beberapa negara menjadi konsen dalam panel ini seperi Afrika, Middle East dan Southeast Asia.

Feminist and Resistance

Workshop yang diselengarakan oleh FRIDA dan RESURJ.Side mengambil tema Young Feminist Activists: Facing the Fire, Strategies of Resistance at the Local, Regional and Global Level”, berubah menjadi ajang pembantaian kelompok feminist. Isu kontroversial safe abortion yang sedang dibahas kemudian mendapatkan respon sinisme dari beberapa audien. Dalam waktu singkat Panelis diberondong pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan bahwa safe abortion tidak tepat. Berikut cuplikan statementnya;

"we shouldn't be rationally constructing these decisions [in the UN, about the right to safe abortion]," "if we discuss controversial subjects [like the right to safe abortion] at the UN we will lose respect for the system," and that Guttmacher and the WHO cannot be trusted, that the Declaration of Human Rights declares marriage is only between a man and woman…(quoted from audience named Stefano Gennarini, Rebecca Oas, and Ryan Bomberger.)

Gender Harmony

Pada workshop yang bertajuk “Gender Harmony and Women’s Empowerment Beyond Beijing +20, juga digelar CSW 59 dan diprakarsai oleh Dr. Erna Suryadi, dirktur Gender Harmoni Foundation Indonesia. Sejak ada Pressure dari CSO Indonesia, KPPA tidak merespon undangan mereka bahkan perwakilan dari KemenInfo yang dijadualkan bicara juga akhirnya membatalkan. WUNRN (WOmen UN Research) bukanlah badan UN, sehingga even mereka bukan bagian dari formal UN. Tapi karena menggunakan nama UN maka orang terkecoh. Panelis juga mendapatkan respon tegas dari audien krena dianggap menggunakan metodologi lemah. KPPPA sangat baik merespon cepat masalah ini dan segera menarik diri dari forum ini karena dianggap kontra produktif.

Islam and Women’s Rights 

Islam dan Human’s Rights sangat sejalan. Zainah Anwar membuka presentasinya dalam side event bertajuk Searching Common Ground: Islam and Women Human’s Rights yang digelar kerjasama PTRI, KOMNAS Perempuan dan Musawah, sebuah jaringan global Islam dan Hak Perempuan. Zainah yakin bahwa Islam and women human’s rights are compatible, adalah harga mati. Mengapa prakteknya berbeda? Ini karena yang diyakini adalah ideologi bukan prinsip besar Islam. Ruhaini memberikan contoh reform terjadi di Indonesia yang didukung oleh gerakan feminis progresif terkait dengan mekanisme di peradilan agama yang lebih progresif. Ziba sangat yakin bahwa Islam bukan ideologi, Islam adalah prinsip. 

Sesi serupa juga diselenggarakan pada hari Sabtu, 14 Maret 2015, dimana Ziba Mir Husaini, Marwan dan Nani Zulminarni membedah hasil penelitian Musawah tentang Qiwamah dan Wilayah, sebagai basis teori utuk melihat peluang perempuan reclaim hak-hak mereka. Penelitian ini menggunakan method story tellling dari pengalaman perempuan mengalami kekerasan dan bagaimana agama dipakai untuk menjastifikasi.

Women and Poverty : Economic Empowerment 

Even digelar oleh organisasi dari India yang memiliki sejarah panjang inovasi pemberdayaan ekonomi bagi kelompok perempuan miskin. Pembicara aktivis2 perempuan yang sudah sangat senior namun memiliki semangat yang tak pernah kendor. Untuk mengatasi kemiskinan dengan pemberdayaan ekonomi mereka menawarkan pendekatan yang holistik mulai dari akses kredit hingga konsep ekonomi kolektif, keterlibatan perempuan dalam pengambil keputusan dan politik serta menghitung biaya ekonomi aktivitas domestik perempuan; terasa sangat kontras dengan pembicaraan di dua sesi sebelumnya. India memang progresif dalam hal menggugat relasi kuasa gender dan kelas. Yang menarik sharing dari negara Karibia yang katanya paska Beijing telah menghitung dan memasukkan nilai kerja domestik perempuan dalam GDP negara, satu kebijakan makro luar biasa. Sebagai konsekwensinya kontribusi perempuan sangat diperhitungkan dan mengangkat posisi politik mereka. Selain itu disoroti juga siapa sesungguhnya kelompok perempuan yang paling rentan dalam hal ini yaitu perempuan tua yang hidup sendiri- perempuan kepala keluarga. Dan pendekatan khusus harus diberikan pada mereka.

Rekomendasi perbaikan

KPPPA harus mengambil kepemimpinan untuk delegasi Indonesia CSW 59 untuk mempersiapkan negosiasi working method pada minggu kedua 

KPPPA harus memfasilitasi dialog tentang proposal indonesia untuk perbaikan working method bersama dengan seluruh delegasi Indonesia dan PTRI dan memastikan konsesus tentang posisi Indonesia yang lebih baik dalam negosiasi Working method

KPPPA memastikan rapat kordinasi harian berjalan dan pembagian tugas Delri sesuai dengan kapasitas dan concern, sehingga dimungkinkan menyerap dan terlibat dalam diskusi 

KPPPA mendesak Kemlu dan PTRI untuk melakukan lobby kembali pada komite CSW jika delegasi Indonesia ingin berkontribusi pada diskusi pembahasa Working Method 


Disiapkan Oleh:

Gerakan Perempuan Peduli Indonesia untuk BPFA
Kordinator: Rita Kalibonso 
Kontak Media: dwiruby@amanindonesia.org

1 comment: